Friday, February 19, 2016

Caper Ciletuh: I was there and back again..


Jam segini seminggu yang lalu, saya sudah dalam posisi terlelap. Agak cemas akan bangun kesiangan, tapi seperti yang sudah-sudah, alarm internal selalu berfungsi baik. Sudah siap sejak sebelum subuh, tapi baru berangkat pas adzan subuh pake Taksi P***a, setelah batal pake g***k karena drivernya yang PHP.

Perjalanan ke Ciletuh kali ini diselenggarakan oleh Matabumi, seperti geotrek-geotrek sebelumnya, kami memulai perjalanan dari Museum Geologi. Setengah enam pagi, lima elf meluncur menuju Sukabumi. Beberapa kali berhenti, untuk memberi kesempatan ke toilet, menjemput peserta yang bergabung di tengah perjalanan, atau sekedar buat jajan. Sekitar jam dua siang, kami tiba di Curug Awang, langsung makan siang.. Menunya: nasi putih atau nasi merah, ikan goreng atau ayam goreng, tahu goreng, tempe goreng, teri-kacang, sayur lodeh, lalapan, dan sambal terasi dan sambal honje. Rasanya lezat keterlaluan, terlebih mungkin karena lapar, sampai-sampai saya lupa memotret menunya :)

Curug Awang adalah satu diantara delapan Curug besar yang ada di kawasan Geopark Ciletuh. Kawasan ini baru beberapa bulan lalu dikukuhkan sebagai Geopark. Sekilas info, cmiiw, untuk diakui sebagai geopark, suatu kawasan harus memiliki geodiversity, biodiversity, dan cultural diversity.
Nah, Ciletuh ini tentu saja memiliki ketiganya, makanya jadi Geopark, kan. Keragamannya seperti apa sih? Berhubung judulnya geotrek, jadi mungkin pemaparan yang disampaikan di sini akan lebih banyak bercerita dari aspek geologinya, berdasarkan ingatan saya :p (yang sejujurnya tidak terlalu bisa dipercaya sih). 
Di Ciletuh, kita bisa menemukan batuan tertua di Pulau Jawa. Ciletuh menjadi laboratorium Geologi di mana kita bisa melihat fenomena subduksi lempeng benua. 
Pasti masih ingat kan kalo permukaan bumi ini sesungguhnya terdiri atas lempeng-lempeng yang 'terapung' di atas mantel bumi yang cair dan panas? Karena terapung, suatu ketika lempeng-lempeng tersebut bisa bergerak menjauh atau mendekat. Ketika mendekat, bertumbukan, lempeng yang lebih berat akan menghujam ke bawah lempeng yang lebih ringan (bahasa kerennya subduksi). Tumbukan ini menyebabkan berbagai macam batuan dari lempeng satu dan lempeng lainnya bercampur, berantakan, ukurannya bermacam-macam, sehingga disebutlah sebagai batuan bancuh (nama kerennya: melange). Fenomena subduksi ini sesungguhnya sedang terjadi, sekitar puluhan kilometer ke arah laut sana, terdapat palung tempat subduksi lempeng samudra ke bawah lempeng benua. 
Ciletuh, dahulu kala, sekitar 60 juta tahun yang lalu, adalah palung subduksi itu, kemudian terangkat ke permukaan dan berada di lokasinya saat ini, sehingga memungkinkan kita untuk mengamati fenomena subduksi. Hal ini yang menjadikan Ciletuh istimewa. Konon, di pulau Jawa ada tiga lokasi fosil subduksi, dua lokasi lainnya adalah Karangsambung, Kebumen dan Pegunungan Jiwo Bayat Yogyakarta.

Tahun 2014, kunjungan pertama saya ke Ciletuh, diselenggarakan oleh Geotrek Indonesia, jalur yang ditempuh adalah jalur darat hingga Pelabuhan Ratu, kemudian menuju Ciletuh melalui laut. Di pantainya, kita seakan mengikuti kronologis fenomena subduksi. Berjalan menyusuri pantai, berawal dari batuan dengan sedimentasi yang normal, terlihat dari lapisannya yang jelas, kemudian ada perubahan kemiringan sedimen, hingga di suatu titik, tampak batuan-batuan berbagai jenis dan ukuran bercampur tidak karuan.

Perjalanan yang sekarang, ditempuh seluruhnya lewat darat, jalur dan pemandangannya ekstrim, berkelok-kelok dan menakjubkan. Jalur darat melengkapi pengalaman jalur laut sebelumnya. Kali ini, tidak melihat fosil palung subduksi, tapi bisa menyaksikan megaamfiteater Ciletuh.
Nah, megaamfiteater ini akan diceritakan kemudian.. Bye!


No comments:

Post a Comment