Bepergian ke daerah
WITA seakan-akan melakukan perjalanan ke masa depan. Saat tiba di tujuan,
tau-tau kita kehilangan waktu satu jam. Ke manakah satu jam itu terbang? ;p
Berangkat dari
Bandung menjelang tengah hari, satu jam empat puluh menit kemudian, kami
mendarat di Denpasar, masuk ke bandara, celingak-celinguk melihat tanda atau
semacamnya buat memberi petunjuk buat penumpang transit. Seorang petugas
akhirnya datang dan mengarahkan kami ke pintu keluar, menunggu bus yang akan
mengantarkan ke pesawat menuju Praya.
Cerita aja, kedua
temen jalan saya pada punya Garuda Frequent Flyer, gaya ya? ;p Kalo saya sih
jarang pergi-pergi pake pesawat, apalagi Garuda. Baru tau juga kebijakan makan,
entah di maskapai penerbangan lain sama juga atau ngga. Durasi menentukan jenis
makanan yang akan kita dapet, ngga tau persis hitung-hitungannya gimana,
kemarin Bandung-Denpasar = makan berat dan minum, Denpasar-Praya = Fruitea,
Praya-Juanda = Juanda-Bandung = kotak cemilan roti, kue, dan AMDK 120 mL.
Mengikuti tips
jalan-jalan yang pernah saya baca, kan katanya pejalan-jalan yang baik pantang
membanding-bandingkan apa pun antara tempat jalan-jalan dan daerah asalnya atau
dengan tempat mana pun yang pernah dikunjungi. Nah, sekalinya inget dan niat
untuk menerima pengalaman apa pun dengan senang hati, langsung deh diuji.
Nyampe di Praya sore-sore menjelang Maghrib, setelah bertemu sopir dan mobil rental yang akan membawa kami ke Sembalun, kami langsung cari tempat sholat.
Agak jauh dari bandara, tapi masih di dalam kawasan, terlihat bangunan masjid
yang cukup besar, jadi kami ke sana.
Masjidnya besar,
mungkin masih belum selesai, agak kumuh karena keberadaan para pedagang.
Sedihnya.. orang-orang ini, yang menghabiskan banyak waktu di area masjid,
tampaknya - saya duga - memanfaatkan fasilitas masjid tanpa memelihara
kenyamanan dan kebersihannya. Ngga usah buat pengunjung lah, setidaknya buat
mereka sendiri, yang sehari-hari ada di sana. Waktu mau numpang pipis, saya
menemukan toiletnya jorok banget, airnya menggenang di lantai, trus di
klosetnya, ada sisa-sisa mukus yang melekat, jadi agak mual-mual ;p Keluar dari
toilet, saat hendak wudhu, terkaget dengan pemandangan ibu-ibu yang lagi
jongkok di tempat wudhu, lagi bilas habis pipis. Saya baru liat loh, pantesan
aja suka ada tulisan peringatan buat ngga pipis di tempat wudhu, ternyata
praktiknya beneran ada..
Selesai sholat,
langsung deh dianterin ke Sembalun. Kalo di peta, Praya ini lokasinya
agak di Selatan barat daya (antara Selatan dan Barat Daya), sementara Sembalun
ada di utara timur laut (antara Utara dan Timur Laut), kayanya ngga begitu
jauh. Tapi, ternyata rutenya mesti muter ke pesisir Lombok Barat, lewat
Senggigi, jauuuh, dan berkelok-kelok, kaya di Cadas Pangeran atau di Toba,
sampe-sampe kedua temen saya agak mual dan terpaksa mengeluarkan minyak
aromaterapi dan minum jamu orang pintar :D Saya? Agak pusing sih, curiga
sedikit masuk angin juga, tapi ngga sampe butuh bantuan eksternal apa-apa.
Sekitar jam sebelas
malam, akhirnya kami sampe di rumah calon porter kami, sebut saja Mas U, di
desa Sembalun. Di rumahnya, istri Mas U (sebut saja Ny. U) sudah menyiapkan
makan malam buat kami, menunya nasi dengan lauk goreng ikan tongkol, goreng
tempe, dan sayur nangka pedas. Semakin lengkap dengan minum kopi tubruk panas.
Setelah kalap makan, piring-piring dibereskan, dan ngobrol sebentar soal
rencana pendakian dan logistik, tanpa menyikat gigi, cuci muka, apalagi ganti
baju, kami pun akhirnya tidur. Petualangan hari itu sudah selesai.
Rute perjalanan Praya - Sembalun (dari Google Maps) |
Subuh keesokan
harinya, bangun tidur, mau sholat subuh, tapi takut keluar rumah buat ke WC pas
masih agak gelap, soalnya di pekarangan rumah ada banyak anjing hilir-mudik.
Akhirnya sholatnya pas udah agak terang ;p Kamar mandi di rumah Mas U ada di
belakang rumah, topless (alias tanpa
atap), tinggi dindingnya sekitar satu meter, keliatannya sih masih dalam proses
pembuatan. Pagi ini juga jadi kesempatan terakhir ketemu WC yang representatif
selama setidaknya empat hari berikutnya. Jadi.. Puas-puasin dulu deh unloading
muatan pencernaan :) tapi ngga mandi, soalnya airnya terbatas, mesti ngambil
dari sumur, dan ngga nyaman juga mandi di alam terbuka, apalagi ada
anjing-anjing berkeliaran.
Menu makan malam dan sarapan |
Habis sarapan, Ny. U
belanja logistik buat bekal kami, mencakup beras, daging ayam, sayur-sayuran
semacam kol, kentang dan buncis, trus ada pasta, telur, tahu, tempe, dan
bumbu-bumbu masak standar. Sementara itu, R berangkat ke pos ???? untuk
mengurus perizinan. Tau ngga berapa biayanya? Cukup dua ribu lima ratus rupiah
saja, saudara-saudara! Murah banget! Miris juga sih, gimana bisa ada dana yang
cukup buat pemeliharaan Taman Nasional ini.. :(
Setelah logistik
terkumpul, semuanya dikemas di keranjang yang akan dibawa oleh Mas U dan
keponakannya.
Beres-beres logistik |
Logistik siap angkut |
Sekitar jam setengah sembilan, perjalanan pun dimulai..
Pemandangan mewah dari halaman rumah Mas U |
No comments:
Post a Comment