Satu lantai di bawah mesjid kantor ada kafetaria yang dikelola koperasi, para penjaja makanan di sini adalah karyawan atau keluarga karyawan atau kenalan karyawan (kayanya) yang lagi belajar berwirausaha. Biar adil, beberapa waktu yang lalu ada semacam pergantian atau rotasi pengelola, jadi stand makanannya ada yang berganti. Sekarang jadi lebih variatif. Salah satu stand yang baru menyajikan hidangan laut.
Suatu siang, temen saya mencoba menu Kerapu Woku dari stand ini. Saat itu saya jadi teringat kembali dengan kisah hidangan bahari di NGI. Trus, jadi cerita deh gimana susahnya kehidupan para ikan di perairan Indonesia, bagaimana kita memiliki tanggung jawab untuk ikut berperan serta dalam pelestarian spesies-spesies ikan laut yang semakin terancam keberlangsungan hidupnya.
Lebih jauh lagi.. cerita juga bagaimana dengan pola konsumsi manusia yang kurang efisien. Misalnya nih.. Kalo dihitung energinya, makan sayur lebih ramah lingkungan dan hemat energi dibandingkan dengan makan daging sapi, dihitung dari berapa banyak lahan yang diperlukan untuk memelihara sapi dibandingkan menanam sayur, jumlah air yang digunakan, dst. Yang jelas sih, semakin panjang rantai produksi bahan konsumsi, maka semakin banyak energi yang dibutuhkan, dan itu artinya efisiensi energinya menjadi semakin kecil.
Semakin jauh lagi, bahkan konsumsi sayuran pun memiliki konsekuensi bagi lingkungan. Kata kunci: pupuk. Tapi ini lain cerita sih. Konon, pemakaian pupuk yang berlebihan menyebabkan perubahan pada kesetimbangan ekologi dunia. Pupuk organik adalah yang terbaik, meskipun tetap saja, ada hitung-hitungan yang harus ditaati untuk meminimalkan dampak lingkungan.
Hmfh...semakin bercerita, semakin mengerikan dan mencemaskan saja yaa..
Lantas, teman saya kemudian bertanya: jadi makanan apa yang sebaiknya kita konsumsi? Entahlah.. Yang jelas, halal saja tidak cukup, harus baik (thoyyib) juga - bukan hanya baik untuk diri sendiri (maksudnya bermanfaat atau setidaknya tidak merugikan untuk kesehatan), tapi juga baik untuk lingkungan kita :)
Atau..mungkin, berhenti saja baca NG (yang tentu saja TIDAK akan saya lakukan ;p)
Absence of evidence does not equal evidence of absence - dr. David Hussong (of FDA and the USP Microbiology and Sterility Assurance Expert Committe)
Saturday, May 25, 2013
(tidak) berhenti baca NGI!!
Published with Blogger-droid v2.0.10
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
minjem dong teh koleksi ngi nya..hehe..
ReplyDeleteboleh, tapi syarat dan ketentuan berlaku, hehe
Deleteapa tapi syarat dan ketentuannya gitu, sebenarnya sih sering baca cuman sekilas doang numpang di toko buku atau beli yg bekas ;D
Deletewah, maaf.. persyaratannya mirip seperti syarat-syarat dayang sumbi atau roro jongrang.. ;p
Deletekarena pada dasarnya saya agak obsesif sama barang-barang pribadi, jadi untuk sekarang saya agak enggan buat meminjamkan apa pun, punten yaa..
hahaha.. gapapa teh
DeleteNeng, terkait persoalan "mending tahu atau nggak tahu; tapi kalo tahu, harus ngapain; apakah pengetahuan punya implikasi etis", saya jadi inget kuis ini. Silakan dijajal kalau berminat :)
ReplyDeleteudah dicobain, hasilnya 100% Obligation Imperative ;p
Deletekayanya contoh kasusnya kurang membingungkan, ya ngga sih, neng?