Sunday, March 25, 2012

percakapan lainnya hari ini ;p

Hari ini ada ngobrol juga soal Lumpur Sidoarjo (LUSI) a.k.a Lumpur Lapindo, gara-gara memperlihatkan foto-foto di kamera waktu berkunjung ke lokasi LUSI akhir minggu lalu. Berdasarkan cerita narasumber waktu itu, saya mendapatkan informasi tentang fakta-fakta soal LUSI dan penyebabnya yang masih diperdebatkan sampai saat ini. Panjang sih ceritanya, dan banyak data-data teknis yang ngga semuanya bisa saya mengerti. Pemaparan narasumber diantaranya menjelaskan bahwa LUSI ini merupakan fenomena alam yang disebut dengan gunung lumpur (mud volcano), dari zaman dulu juga sudah ada, misalnya ada Ciuyah di Kuningan, atau Bledug Kuwu di Purwodadi, dsb., terus dibahas juga setiap penyebab-penyebab yang diajukan dan analisisnya. 

Mengutip dari materi yang dibagikan saat kunjungan, penyebab yang pernah diajukan diantaranya:

  1. kelalaian/kesalahan teknik pengeboran sumur Banjirpanji-1 yang dibor sekitar 200 meter dari pusat semburan,
  2. aktivitas tektonik yang berhubungan dengan kegiatan gempa yang berpusat di Yogyakarta yang terjadi dua hari (27 Mei 2006) sebelum semburan lumpur panas terjadi,
  3. aktivitas geothermal/panasbumi dari kompleks gunungapi Anjasmoro-Welirang-Arjuno di sebelah selatan semburan,
  4. kombinasi ketiga efek tersebut.
Opini-opini di atas dibahas dan data-data pendukungnya dipaparkan. Kesimpulan akhirnya sih, menurut beliau, dari data-data tersebut, pemicu yang paling mungkin adalah Gempa Yogya, LUSI tidak ada hubungannya dengan aktivitas pengeboran, tanpa pengeboran pun, fenomena LUSI tetap akan terjadi. Mereka (Lapindo) hanya sial melakukan pengeboran di tempat dan waktu yang salah.

Nah, temen saya berpikir kalo ini pasti politisasi, ditutupi dan dimanipulasi, karena menyangkut grup Bakrie. Jujur, awalnya saya juga cenderung berpikir begitu, saya pikir informasi-informasi yang selama ini ada di media (yang memang cenderung mengarahkan opini publik dan bukannya menyajikan data secara objektif) memang disajikan untuk mendukung kepentingan tertentu. Mungkin hal ini juga memang benar terjadi, tapi faktanya kan ngga mesti salah satunya, maksud saya, bisa aja apa yang diberitakan memang yang sebenarnya. Trus, gimana kita tau apa yang sebenarnya terjadi?? 

Ada kutipan yang bagus soal ini, masih dari materi kemarin (kutipan juga ;p):

Lihatlah di balik berita. Letakkan segala sesuatu dalam perspektif. Carilah korelasi-korelasi, enyahkan prasangka. Telitilah melalui opini untuk mencari dasar faktual. Ujilah asumsi-asumsi. Lontarkan pertanyaan. Dan tuntut jawaban. -Patrick Lindsay,"Now is the Time", 2009-

Buat melihat kenyataan, kita mesti terbuka dan menghilangkan prasangka. Pengalaman saya, saat kita sudah berprasangka, kita sudah menentukan apa yang kita percaya, dan informasi setelahnya menjadi ngga penting. Kita percaya apa yang mau kita percaya.

PS. Soal LUSI, terlepas apa penyebab dan pemicu yang sebenarnya, saya tau, hal itu ngga penting buat para korban. Kenyataannya, LUSI sudah terjadi, banyak orang kehilangan harta, tempat tinggal dan pekerjaan. Tapi.. mengetahuinya menjadi penting untuk pembelajaran kita di masa mendatang. BTW, LUSI ini ternyata menarik juga loh, banyak hal baru yang saya pelajari, tapi sebelum diceritain di sini, mesti dibaca lagi.. :)
  

    

percakapan hari ini

Obrolan ngga penting sama temen kerja saya hari ini adalah tentang perempuan dan kecenderungannya untuk merasa senang saat diperhatikan oleh orang lain. 

Begini ceritanya.. Temen saya ini laki-laki, trus dia cerita soal senam pagi yang diselenggarakan di tempat kerja saya tiap hari Jumat. Di bagian saya ada karyawan baru, gadis-gadis berwajah segar dan menyejukkan pandangan, mereka ini suka ikutan senam pagi. Nah, katanya, semenjak ada mereka, peserta senam pagi mengalami peningkatan yang cukup bermakna. Tentu saja, peningkatan ini kebanyakan berasal dari kaum adam.

Dari sini, ngga begitu jelas hubungannya apa sih, tapi dia jadi nanya, katanya.. 'Emang kalo perempuan gitu ya? Senang diperhatikan?' Jawaban saya saat itu.. 'Ya, kalo saya sih tergantung, kalo perhatian itu datang dari orang yang saya suka, ya seneng, tapi kalo sebaliknya, ya biasa aja.' Sekarang, jadi kepikiran, emang kalo laki-laki ngga seneng diperhatikan gitu? Kalo dipikir-pikir, kayanya sih kesenangan mendapatkan perhatian ngga ada hubungannya sama jenis kelamin. 

Berdasarkan analisis tak berdasar ala saya, seorang individu - tanpa mempedulikan jenis kelaminnya, saat mendapatkan perhatian dari individu lain (bisa positif atau negatif), berarti mendapatkan pengakuan akan keberadaannya. Apa lagi ya? Tadi sih rasanya banyak yang pengin dibahas soal ini, tapi kok sekarang ngga kepikiran lagi ya?! ;p

Wednesday, March 21, 2012

if it isn’t documented it didn’t happen


Menurut KBBI, perjalanan memiliki empat arti; perihal (cara, gerakan, dsb.) berjalan; kepergian (perihal bepergian) dari suatu tempat dsb. ke tempat dsb. yang lain; jarak (jauh) yang dicapai dengan berjalan dalam waktu tertentu; perbuatan, kelakuan, tingkah laku. Kalo menurut saya, hampir sama dengan pengertian yang kedua, perjalanan merupakan proses perpindahan dari satu titik ke titik lain, bisa lokasi, kondisi, dst., mungkin bisa disebut juga sebagai proses perubahan. Selanjutnya, perjalanan yang saya maksud di sini adalah proses perpindahan dari satu lokasi ke lokasi lain.

Pada dasarnya, saya senang jalan-jalan, tapi dulu ngga punya sumber daya (baca: dana, waktu, teman jalan) yang memadai. Baru beberapa tahun terakhir ini (setelah punya penghasilan sendiri ;p), saya agak sering melakukan perjalanan, terutama yang bernuansa petualangan di alam. Saya masih ingat, perjalanan pertama saya adalah arung jeram bersama Mahanagari di Sungai Cimanuk, Garut. Berikutnya (tidak tersusun secara kronologis), ada perjalanan ke Gua Pawon, keliling museum di Bandung, berkunjung ke perkebunan dan pabrik teh serta rumah dan makam Bosscha di Pangalengan, mendaki Gunung Manglayang, mendaki Gunung Puntang dan menelusuri sepenggal Sungai Cigeureuh, mengarungi jeram Sungai Palayangan dan Cicatih, mengunjungi Gedung Merdeka, bermain air di Curug Siliwangi, Curug Bubrug (atau Bugbrug?), dan Curug Malela, berkemah di tepi Kawah Ratu – Tangkuban Parahu, bermalam di tepi Ranukumbolo, trus mendaki Gunung Semeru, melongok situs megalitikum di Gunung Padang – Cianjur, menelusuri gua karst dan sungai bawah tanah di Buni Ayu – Sukabumi, merasakan dinginnya hujan di pelataran Candi Arjuna dan melihat bias mentari di Telaga Warna – Dieng, menjelajah tempat ibadah, pantai, kebun binatang dan Lawang Sewu di kota Semarang, menghabiskan waktu (dan kesabaran serta uang ;p) di Malioboro, menelusuri Pantai Krakal  dan Sungai Karst di Gunung Kidul – Jogja, dan yang terbaru, mengamati ekskavasi situs arkeologi Majapahait di Trowulan – Mojokerto, menyaksikan hamparan lumpur Sidoarjo sejauh mata memandang, dan terakhir, di Bromo, menanti fajar di antara kabut dan gemeletuk gigi, berkuda di hamparan pasir, dan menyaksikan Gunung Batok dan kawah Bromo di antara hembusan angin.

Mengapa melakukan perjalanan? Untuk apa? Iya, buat apa ya? Buat saya, tujuan perjalanan bukan satu-satunya hal yang penting, perjalanannya sendiri juga penting. Misalkan tujuannya adalah Semeru, maka pengalaman menumpang kereta Bandung-Kediri-Malang, naik Land Rover Tumpang-Ranupani, melangkah dari Ranupani-Puncak adalah hal yang sama penting, bahkan lebih penting dibandingkan pada saat saya akhirnya menjejakkan kaki di Puncak Semeru. Sederhananya, orientasi saya adalah proses, bukan hasil. Trus, apa sih yang didapat setelah melakukan perjalanan? Mestinya sih, bukan sekadar kelelahan dan tambahan tumpukan cucian kotor. Pasti ada hal-hal baru yang meninggalkan kesan mendalam, belajar tentang alam, tentang diri sendiri dan orang lain, interaksi antarpersonal, mengenal budaya dan kuliner, mengasah kepekaan dan kesabaran, menguji kemampuan diri, belajar mengamati, berusaha menjadi pendengar yang baik, dan mendapat pengalaman baru yang bisa diceritakan.

Nah, sebenarnya perlu ngga sih perjalanan diceritakan? Kayanya perlu deh, bukan buat orang lain (yang mungkin berminat baca), tapi demi kepentingan pribadi ;p Menurut Cara Dokumentasi yang Baik, if it isn’t documented, it didn’t happen. Jadi, untuk membuktikan suatu peristiwa sungguh-sungguh terjadi, kita mesti mendokumentasikannya. Apakah bercerita sama dengan mendokumentasikan? Kalo kata saya sih, beda. Cerita bisa jadi dokumentasi jika didukung oleh bukti visual. Ibarat hadits, mungkin kalo cerita aja tanpa ada dukungan bukti visual, statusnya dhaif (lemah) ;p Buat saya, bercerita (melalui tulisan) adalah metode untuk memelihara detail suatu peristiwa. Biasanya, kalo udah lama, saya akan lupa detail suatu kejadian, makanya selagi masih ingat, harus ditulis. Selain itu, tulisan juga membantu memahami hal-hal yang mungkin sebelumnya luput dari pengamatan kita, mungkin.. ;p Kalo gitu, mari kita tuliskan perjalanan yang kita alami.. untuk mengawetkan ingatan, atau sekadar membuktikan kalo kita pernah ada, menambah populasi, dan berpetualang singkat di dunia ini. b^_^d

Tuesday, March 13, 2012

gapenting of the day :D

Ini fotonya Sinead O'Connor yang saya perlihatkan ke teteh pemilik salon wanita yang saya datangi akhir minggu kemaren.. Udah lama saya pengin punya model rambut begini, tapi belum nemu keberanian buat ngomong minta dipotongin begini, ditambah dulu kan belum pake kerudung, jadi ngga berani juga, ntar jadi mencolok dong.. atau yang lebih parah, dikira stress. Btw, emang orang stress biasanya potong rambut ya?! Kenapa analoginya begitu ya?!

Kembali ke topik soal potong rambut, akhir minggu kemaren nekat juga deh, minta rambutnya dipptong kaya foto di atas.. Eh, tetehnya ngga mau, katanya kasian klo plontos begitu ntar masuk angin (pengalaman pribadi beliau). Alhasil, saya mendapat potongan rambut lain, cukup mendekati sih dengan keinginan semula..cukup ekstrim, tapi ngga terlalu.. Bayangkan model rambut seperti di foto setelah beberapa minggu, tumbuh sekitar satu sentimeter. Nah, begitulah rambut saya sekarang.. :D

Gimana rasanya? Menyenangkan!! Kepala terasa lebih enteng, ngga perlu ribet buat nyisir, lebih irit shampoo dan air, waktu mandi juga bisa dipersingkat.. Efisien deh pokoknya!! Keringetan juga jadi lebih nyaman, meskipun karena rambutnya berkurang, keringat yang terserap di kerudung jadi lebih banyak..ngga terlalu mengganggu kok. :D

Klo begini, jadi kepikiran, sederhana banget ya buat saya untuk merasa bahagia?! Alhamdulillah :)


Published with Blogger-droid v2.0.4

pagi tadi..

Tadi pagi menyimak siaran percikan iman pak aam amiruddin sambil siap-siap mau berangkat.. Tadi ada yang nanya soal baca tahlil keras-keras setelah solat.. Jawabannya, praktek seperti itu ngga pernah dicontohkan Rasulullah, ada referensinya juga sih, lupa ayatnya, yang jelas, Allah berfirman kepada Rasulullah bahwa Allah itu dekat. Jadi, mestinya ngga perlu wirid keras-keras apalagi sampe pake loudspeaker dan kedengeran sekelurahan.. Nah, jadi nyambung deh ke anjuran untuk pengurus mesjid supaya ngga usah pake loudspeaker saat wirid, ceramah, belajar ngaji, dsb. Loudspeaker itu fungsinya buat mengeraskan suara adzan dan iqomah, dan pengumuman2 menyangkut hal-hal kemasyarakatan, misal buat berita duka cita, jadwal kerja bakti, dst.

Saya sepakat banget deh soal ini, klo udah begini kan jadinya malah ganggu, kasian kan buat yang lagi sakit atau misalkan ada yang lagi butuh konsentrasi belajar buat ujian.. Yang ada, biasanya (seperti yang saya sendiri alami), klo mesjidnya berisik gini, jadinya malah menggerutu.. Nah loh, jadinya yang dikeluhkan jadi mesjidnya, padahal kan yang salah pengurus mesjidnya... ;p

Ngomong soal loudspeaker mesjid yang terlanjur populer dengan sebutan toa (padahal kyanya toa itu nama merek ya?!), jadi inget guyonan sindiran alm. Gusdur.. Cerita soal pemeluk berbagai agama, begini nih... Orang beragama Budha mengaku sangat dekat dengan Tuhan, sampe-sampe panggilannya aja Oom.. Trus orang Kristen lebih dekat lagi dong, manggilnya aja Bapa.. Nah, klo muslim? Kata gusdur, klo muslim sih boro-boro deket, manggilnya aja pake toa :D


Published with Blogger-droid v2.0.4

Thursday, March 8, 2012

macaca nigra

National Geographic Indonesia (NGI) bulan maret menjadikan Macaca nigra (kera hitam Sulawesi) sebagai salah satu sajian utama, sampul depannya menampilkan wajah seekor yaki pemimpin kelompok. Selain bercerita tentang habitat dan populasinya yang semakin mengkhawatirkan, ada satu cerita lain yang menarik. Jadi, sama seperti kawanan hewan pada umumnya, yaki yang hidup berkelompok ini juga memiliki struktur sosial yang rumit, ada peringkat status yang dimiliki oleh setiap individu. Biasa lah, ada jantan alfa, beta, gamma, dst., betina juga sama, ada yang alfa, beta, dst. Posisi alfa berarti posisi yang paling tinggi, pemimpin kelompok. Trus ada juga drama perebutan kekuasaan yang katanya mirip dengan yang terjadi di dunia manusia..ada kolaborasi antaryaki, perhitungan untung-rugi, dsb. Selain itu, ternyata - saya baru ngeh - di dunia primata juga ada yang gay.. Ini nih kutipan artikelnya (dari hal. 26):


Yaki jantan yang tertekan karena tak pernah bisa memenangkan persaingan dengan jantan lain bisa mengubah perilaku seksualnya. "Daripada dikalahkan terus oleh jantan lain, perilakunya jadi seperti betina. Itu disebut dengan gay, dan memang ada dalam dunia primata," ungkapnya (Jatna Supriatna, ahli primata Indonesia). Ia akan berbaur dengan para betina dan ikut mengasuh anak-anak.


Jadi penasaran, apakah gay pada manusia juga terjadi karena alasan yang sama?! Tapi kok cuma diceritain yang jantannya ya, klo betina yang jadi berperilaku jantan ada ngga ya?!


Published with Blogger-droid v2.0.4