Wednesday, March 21, 2012

if it isn’t documented it didn’t happen


Menurut KBBI, perjalanan memiliki empat arti; perihal (cara, gerakan, dsb.) berjalan; kepergian (perihal bepergian) dari suatu tempat dsb. ke tempat dsb. yang lain; jarak (jauh) yang dicapai dengan berjalan dalam waktu tertentu; perbuatan, kelakuan, tingkah laku. Kalo menurut saya, hampir sama dengan pengertian yang kedua, perjalanan merupakan proses perpindahan dari satu titik ke titik lain, bisa lokasi, kondisi, dst., mungkin bisa disebut juga sebagai proses perubahan. Selanjutnya, perjalanan yang saya maksud di sini adalah proses perpindahan dari satu lokasi ke lokasi lain.

Pada dasarnya, saya senang jalan-jalan, tapi dulu ngga punya sumber daya (baca: dana, waktu, teman jalan) yang memadai. Baru beberapa tahun terakhir ini (setelah punya penghasilan sendiri ;p), saya agak sering melakukan perjalanan, terutama yang bernuansa petualangan di alam. Saya masih ingat, perjalanan pertama saya adalah arung jeram bersama Mahanagari di Sungai Cimanuk, Garut. Berikutnya (tidak tersusun secara kronologis), ada perjalanan ke Gua Pawon, keliling museum di Bandung, berkunjung ke perkebunan dan pabrik teh serta rumah dan makam Bosscha di Pangalengan, mendaki Gunung Manglayang, mendaki Gunung Puntang dan menelusuri sepenggal Sungai Cigeureuh, mengarungi jeram Sungai Palayangan dan Cicatih, mengunjungi Gedung Merdeka, bermain air di Curug Siliwangi, Curug Bubrug (atau Bugbrug?), dan Curug Malela, berkemah di tepi Kawah Ratu – Tangkuban Parahu, bermalam di tepi Ranukumbolo, trus mendaki Gunung Semeru, melongok situs megalitikum di Gunung Padang – Cianjur, menelusuri gua karst dan sungai bawah tanah di Buni Ayu – Sukabumi, merasakan dinginnya hujan di pelataran Candi Arjuna dan melihat bias mentari di Telaga Warna – Dieng, menjelajah tempat ibadah, pantai, kebun binatang dan Lawang Sewu di kota Semarang, menghabiskan waktu (dan kesabaran serta uang ;p) di Malioboro, menelusuri Pantai Krakal  dan Sungai Karst di Gunung Kidul – Jogja, dan yang terbaru, mengamati ekskavasi situs arkeologi Majapahait di Trowulan – Mojokerto, menyaksikan hamparan lumpur Sidoarjo sejauh mata memandang, dan terakhir, di Bromo, menanti fajar di antara kabut dan gemeletuk gigi, berkuda di hamparan pasir, dan menyaksikan Gunung Batok dan kawah Bromo di antara hembusan angin.

Mengapa melakukan perjalanan? Untuk apa? Iya, buat apa ya? Buat saya, tujuan perjalanan bukan satu-satunya hal yang penting, perjalanannya sendiri juga penting. Misalkan tujuannya adalah Semeru, maka pengalaman menumpang kereta Bandung-Kediri-Malang, naik Land Rover Tumpang-Ranupani, melangkah dari Ranupani-Puncak adalah hal yang sama penting, bahkan lebih penting dibandingkan pada saat saya akhirnya menjejakkan kaki di Puncak Semeru. Sederhananya, orientasi saya adalah proses, bukan hasil. Trus, apa sih yang didapat setelah melakukan perjalanan? Mestinya sih, bukan sekadar kelelahan dan tambahan tumpukan cucian kotor. Pasti ada hal-hal baru yang meninggalkan kesan mendalam, belajar tentang alam, tentang diri sendiri dan orang lain, interaksi antarpersonal, mengenal budaya dan kuliner, mengasah kepekaan dan kesabaran, menguji kemampuan diri, belajar mengamati, berusaha menjadi pendengar yang baik, dan mendapat pengalaman baru yang bisa diceritakan.

Nah, sebenarnya perlu ngga sih perjalanan diceritakan? Kayanya perlu deh, bukan buat orang lain (yang mungkin berminat baca), tapi demi kepentingan pribadi ;p Menurut Cara Dokumentasi yang Baik, if it isn’t documented, it didn’t happen. Jadi, untuk membuktikan suatu peristiwa sungguh-sungguh terjadi, kita mesti mendokumentasikannya. Apakah bercerita sama dengan mendokumentasikan? Kalo kata saya sih, beda. Cerita bisa jadi dokumentasi jika didukung oleh bukti visual. Ibarat hadits, mungkin kalo cerita aja tanpa ada dukungan bukti visual, statusnya dhaif (lemah) ;p Buat saya, bercerita (melalui tulisan) adalah metode untuk memelihara detail suatu peristiwa. Biasanya, kalo udah lama, saya akan lupa detail suatu kejadian, makanya selagi masih ingat, harus ditulis. Selain itu, tulisan juga membantu memahami hal-hal yang mungkin sebelumnya luput dari pengamatan kita, mungkin.. ;p Kalo gitu, mari kita tuliskan perjalanan yang kita alami.. untuk mengawetkan ingatan, atau sekadar membuktikan kalo kita pernah ada, menambah populasi, dan berpetualang singkat di dunia ini. b^_^d

2 comments:

  1. Neng, sepakat soal perjalanan adalah proses, bukan (sekadar) hasil. Soal didokumentasikan juga. Hanya saja, ngerasa nggak sih kalo kadang orang-orang (barangkali termasuk kita juga) lebih fokus ke hasilnya, atau lebih tepatnya ke "citra" akan hasilnya? Misalnya: wajar andaikan kita ingin ambil foto untuk "mengabadikan" momen, tapi rasanya kadang berlebihan, gitu--kesannya kita cuma pingin foto di tempat tujuan (untuk kemudian "dipamerkan" di FB dsb), bukan pengalamannya. Singkat kata, terkadang saya ragu ama diri sendiri. Pada saat saya memublikasikan catatan/foto perjalanan (atau bahkan saat menjepret si foto itu sendiri), sebenernya saya ingin merekam kenangan, belajar dari pengalaman, sekadar berbagi, atau narsis? Pernah ngerasa gitu nggak, Neng? Hehehe, maaf, jadi aja meracau. Mohon dimaklumi . . . .

    ReplyDelete
    Replies
    1. hehe, iya, kadang suka merasa gitu juga sih, kesannya cuma pengin foto aja dengan berbagai latar belakang ;p
      Makanya saya lebih seneng foto obyek tanpa orang atau klo pun ada orangnya, mendingan foto rame2 :D
      terima kasih sudah berkomentar, neng :)

      Delete