Kalo ngga salah, la dolce vita artinya hidup yang manis atau manisnya hidup. Kalo buat saya, hidup pas-pasan bisa jadi salah satu hal yang manis dalam hidup. Pas-pasan dalam artian kaya iklan itu loh, pas lagi butuh uang pas dapet arisan, pas libur panjang pas ada agenda jalan, pas laper pas waktunya makan dan ditraktir, dan peristiwa-peristiwa pas-pasan lainnya :D Libur panjang kemarin, pas banget temen saya ngajak bertualang lagi, di saat saya sudah mulai merindu udara bersih dan kesenyapan di ketinggian, ditambah butuh pelarian dari kepadatan dan kemacetan Bandung.
Jumat pagi (ngga pagi-pagi banget sih, sekitar jam setengah sembilan), saya dan kelima rekan petualang meluncur dari Mesjid Salman ke Cicaheum untuk menuju Garut, tepatnya Cisurupan. Dari Cicaheum kami menggunakan elf Bandung – Garut yang ke Cikajang, bayarnya 17ribu sampe Cisurupan. Kalo mau pake bis bisa juga sih, nanti dari terminal Guntur ya nyambung lagi pake angkot yang ke Cisurupan. Durasi perjalanan Cicaheum – Garut menurut saya lebih lama dari pada Leuwipanjang – Garut, jadi kalo pengin cepet sebenernya mendingan pergi dari Leuwipanjang.
Lewat tengah hari, sekitar jam satu atau setengah satu, setelah satu kali transfer elf di daerah kota, kami sampai di Cisurupan, langsung cari tempat makan dan sholat. Beres makan, kami meneruskan perjalanan menuju Papandayan, kali ini kami menggunakan mobil pick-up, ongkosnya 12.500 rupiah per orang, tarif yang wajar, soalnya rutenya lumayan jauh sih (kata temen saya, jauhnya kaya dari Cikole ke Tangkuban Parahu), menanjak dan berkelok-kelok, agak mengingatkan dengan perjalanan Tumpang – Ranupani sebetulnya, tapi minus jurang di kanan-kiri. Pemandangan selama perjalanan juga keren, kalo kita melihat ke belakang, Gunung Cikuray yang mistis itu tampak mengesankan, megah, seram sekaligus mengundang :D Bentuknya cantik banget, puncaknya terlihat kerucut, simetris seperti gambar gunung yang dulu biasa dibuat waktu SD.
Gunung Cikuray terlihat dari jalan menuju Papandayan
Sekitar jam dua atau setengah tiga, kami tiba di parkiran, lapor ke petugas dan relawan di sana (ngga pake bayar sepeser pun), trus langsung trekking menuju Pondok Saladah. Rute trekkingnya mirip rute di Tangkuban Parahu, ya iyalah, kan sama-sama kawah, tapi di sini kawahnya lebih besar (kata artikel yang saya baca, Papandayan ini adalah salah satu kawah terluas di Asia Tenggara loh!), asapnya heboh, apalagi aroma belerangnya, bikin mata perih dan berair. Tambahan, kalo mau ke sini, perhiasan perak sebaiknya disimpan, soalnya nanti bisa menghitam teroksidasi kalo kena asapnya. Melintasi kawah yang luas mengingatkan kami pada perjalanan Frodo ke Mordor. Di sini, berhubung treknya relatif berbatu, mendingan pake sepatu, bisa aja sih pake sandal gunung, tapi menurut saya, risiko cederanya bakal lebih besar, lumayan sakit loh kesandung batu, yah paling ringan, lecet-lecet.
Pemandangan kawah yang kami lewati (jadi berasa Hobbits ;p)
Lepas dari kawah yang tandus, perjalanan kemudian melewati jalan berbatu dengan lembah hijau di sisi kanannya. Jalan ini memutar sisi gunung, kemudian terputus longsor di satu titik (sejak 2010), sehingga kita terpaksa harus mengambil jalur menuruni lembah, melintasi sebuah sungai kecil, kemudian menanjak lagi memasuki hutan cantigi, melandai, menanjak, menurun sedikit, menanjak sedikit, hingga sampai ke suatu bukaan dengan padang rumput dan beberapa semak Edelweis, dengan pemandangan punggung gunung di sekelilingnya – Pondok Saladah. Saya ngga tau kenapa namanya Pondok Saladah, mungkin dulu di sini banyak Saladah (Bahasa Indonesia: selada) yang tumbuh. Senangnya sampe di sini, meskipun treknya ngga terlalu berat, tapi lumayan cape juga, terutama bahu yang udah lumayan ngga terlatih membawa beban – meskipun sebenernya ngga berat-berat amat sih, kan cuma bawa perbekalan pribadi.
Pondok Saladah ini merupakan area perkemahan yang cukup ramai, apalagi di musim liburan. Saat kami tiba, sudah ada banyak tenda didirikan, teman-teman saya yang cowok berkeliling sebentar untuk memilih area buat mendirikan tenda kami. Area yang kami pilih berada di dekat pepohonan, maksudnya biar tenda kami cukup terlindung dari terpaan angin, ditambah kami butuh dahan pohon untuk mendirikan bivak buat para cowok tidur.
Setelah bivak dan tenda rapi, kami makan sore, kabut mulai turun, dan malam pun datang berselimut gelap. Selepas sholat, meskipun ngga begitu ngantuk, saya bergegas tidur – soalnya udara sudah mulai dingin (padahal baru jam 7 malam). Meskipun di dalam kantong tidur, kerasnya tanah alas tidur kami lumayan berasa, alhasil, setiap beberapa waktu, saya terbangun dan mengubah posisi tidur.
Pagi pun datang, selesai sholat, makan pagi, dan akhirnya merasa ngga begitu kedinginan, sekitar jam delapan kami bersiap menuju Tegal Alun. Barang-barang kami tinggal di tenda, kami hanya membekal beberapa botol minum dan camilan. Seperti rute ke Pondok Saladah, ada banyak trek yang bisa diambil untuk menuju Tegal Alun. Jalur kali ini lumayan menanjak, kemiringannya mungkin sampe 60 derajat, tapi secara umum ngga begitu sulit sih, soalnya di jalur ini terdapat batu-batu besar yang dapat membantu kita mendaki, sepertinya jalur ini juga jalur air, di beberapa tempat batunya berlumut, jadi mesti hati-hati juga. Untuk trek seperti ini, rasanya ngga begitu susah buat naik, yang jadi masalah (buat saya), biasanya justru waktu turun. Kombinasi kekhawatiran jatuh dan lelah biasanya membuat saya jadi lebih lambat dan ragu-ragu mengambil langkah, makanya metode turun yang paling aman buat saya biasanya ngesot – posisikan titik berat tubuh sedekat mungkin dengan permukaan tanah, biar ngga jatuh dan kalau pun harus jatuh, rasanya ngga akan terlalu sakit :D
Pemandangan dari lereng menuju Tegal Alun: trek menuju Pondok Saladah |
Rumpun Edelweis (Anaphalis javanica) di Tegal Alun |
(masih) Edelweis, bunganya kebanyakan masih kuncup |
Awalnya kami hendak menuju puncak tertinggi di Papandayan ini, tapi di sini ada banyak puncak, dan ngga begitu jelas juga mana yang paling tinggi. Cerita orang yang pernah ke sini juga rasanya ngga ada yang menyinggung soal puncak sih, yang ada pasti cerita soal padang Edelweis - Tegal Alun. Sekitar jam sembilan kami tiba di Tegal Alun, bunga Edelweisnya ada banyak, tapi rata-rata masih kuncup. Kombinasi kabut dan warna daun Edelweis yang berkilauan membuat suasananya keren banget, saya ngga tau kata-kata yang tepat buat menggambarkannya, breathtaking mungkin?! Oh ya, kata bapak yang nganter kami pulang, Edelweis ini musim berbunganya sekitar Mei-Juni sampe Agustus, jadi kalo mau liat Edelweis pas lagi mekar, datengnya sekitar bulan itu.
Di sini, kami beristirahat dan membuka bekal kami. Cokelat panas yang kami bawa rasanya mantap sangat deh diminum di sini, di tengah kabut yang kian menipis, di antara kumpulan Edelweis. Setelah ngobrol soal ini-itu, foto-foto, berkeliling, kami memutuskan untuk segera kembali ke Pondok Saladah, supaya perjalanan pulang bisa segera dimulai dan kami secepatnya tiba di Bandung demi Final Liga Champion.
Pemandangan saat pulang menuju Pondok Saladah |
The Fellowship of Edelweis :D |
Perjalanan pulang |
Di perjalanan turun, kami sempat bertemu dengan rombongan lain yang menuju Tegal Alun, sepertinya mereka akan menginap di sana. Seperti biasa, perjalanan pulang terasa lebih cepat dari perjalanan pergi. Tiba di tenda, kami langsung beres-beres dan segera melewati kawah Mordor lagi menuju parkiran. Di tempat parkir, kami bersih-bersih dan sholat, lapor ke petugas, kemudian menumpang pick-up menuju Cisurupan, kali ini tarifnya sepuluhribu rupiah. Dari Cisurupan kami menumpang angkot hingga ke terminal Guntur, ongkosnya limaribu rupiah. Dari terminal, kami menumpang bis Mios menuju Cicaheum dengan membayar sepuluhribu rupiah. Perjalanan dari Garut ke Rancaekek relatif cepat, yang lama itu justru dari Rancaekek ke Cicaheum, jalanannya rame. Tapi cukup menyenangkan juga sih, soalnya dikompensasi dengan pemandangan istimewa: Gunung Manglayang. Menjelang Maghrib kami tiba di Cicaheum, saling mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal, kemudian meneruskan perjalanan menuju rumah masing-masing – buat saya, pake Damri menuju Leuwipanjang. Saya naik bis yang ber-AC, bayarnya tigaribu. Berhubung sudah lama ngga naik Damri, kali ini entah kenapa perjalanannya berasa lebih menyenangkan :D Nah, gitu deh, overall, trip kali ini hemat banget dan sejalan dengan prinsip ekonomi ^_^
ps. Edelweis itu tumbuhan langka, bahkan katanya di Bromo sekarang sudah punah, makanya jangan dipetik yaa, cukup dinikmati secara visual saja, ambil foto sepuas-puasnya. Temen saya bilang, Edelweis itu berarti karena perjalanan panjang yang harus kita tempuh untuk menjumpainya, dan saat kita bawa turun, maka bunga itu jadi ngga ada artinya lagi, gitu deh kira-kira. Papandayan ini adalah salah satu tempat yang direkomendasikan selain Alun-alun Surya Kencana dan Mandalawangi (di TN. Gede-Pangrango) dan Rinjani untuk menikmati padang Edelweis.
ps. Edelweis itu tumbuhan langka, bahkan katanya di Bromo sekarang sudah punah, makanya jangan dipetik yaa, cukup dinikmati secara visual saja, ambil foto sepuas-puasnya. Temen saya bilang, Edelweis itu berarti karena perjalanan panjang yang harus kita tempuh untuk menjumpainya, dan saat kita bawa turun, maka bunga itu jadi ngga ada artinya lagi, gitu deh kira-kira. Papandayan ini adalah salah satu tempat yang direkomendasikan selain Alun-alun Surya Kencana dan Mandalawangi (di TN. Gede-Pangrango) dan Rinjani untuk menikmati padang Edelweis.
No comments:
Post a Comment