Saturday, July 7, 2012

curhat: rekonsiliasi emosi

rekonsiliasi n 1 perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula; perbuatan menyelesaikan perbedaan; 2 penetapan pos-pos yang diperlukan untuk mencocokkan saldo masing-masing dari dua akun atau lebih yang mempunyai hubungan satu dengan yang lain; 3 ikhtisar yang memuat rincian perbedaan antara dua akun atau lebih

emosi n 1  luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat; 2 keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis (seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan); keberanian yang bersifat subjektif; 3 cak marah;
-- keagamaan getaran jiwa yang menyebabkan manusia berlaku religius;
keemosian n perihal emosi: kalau pendekatan ini yang dipakai, kita akan dapat menggambarkan derajat -- seseorang


Peringatan: Racauan berikut ini adalah suatu hal yang cukup personal untuk saya, jadi alangkah lebih baik jika Anda tidak perlu membacanya. Jika Anda bersikeras untuk melanjutkan membaca dan memuaskan rasa ingin tahu Anda, setidaknya siapkan diri Anda dan semoga hal ini tidak menjadikan pandangan Anda terhadap saya menjadi buruk. Yah, kalau pun itu yang terjadi, ngga apa-apa juga sih, perasaanmu untukmu, dan perasaanku untukku, ngga masalah :D 


Tadi siang di undangan pernikahan salah satu teman muda di tempat kerja yang dulu, saya mengalami pertemuan yang tak terduga (yah, mungkin sudah bisa diperkirakan sih, tapi saya tidak mempersiapkan antisipasi apa pun ;p). Masih ingat cerita tentang teman kerja saya yang pernah saya singgung di sini? Nah, saya ketemu dia tadi siang. Reaksi pertama waktu liat: bingung, karena jujur, saat saya pindah dari tempat kerja yang dulu, kami tidak berpisah dengan baik-baik. Sejak beberapa bulan sebelum kepindahan saya, kami sudah tidak saling bicara, hubungan kami menjadi buruk dan kian memburuk seiring berjalannya waktu. Saat itu, rasanya saya sudah muak dan letih dengan segala perubahan suasana hatinya yang sulit ditebak, ditambah lagi kadang-kadang perkataannya suka menyakitkan - saat itu. Jadi, tindakan saya saat itu adalah mengabaikannya, mungkin salah sih, tapi saya ngga suka jika saya harus berhadapan dengan konflik atau mengkonfrontasi dia dengan langsung. Yah, boleh sebut saya pengecut kalo mau, mungkin memang begitu. Yang jelas, untuk saya, konfrontasi langsung rasanya hanya akan menambah ketidaknyamanan hubungan kami - secara personal atau pun profesional - sementara saya juga ngga mungkin buat keluar kerja sementara belum ada pekerjaan lain sebagai pengganti. Logika saya - dan mungkin emosi saya juga - mengatakan bahwa tindakan menghindar adalah reaksi yang paling masuk akal. (Meskipun mungkin sebenarnya pengabaian adalah suatu perbuatan yang lebih kejam daripada permusuhan. Pengabaian berarti menganggap seseorang yang ada menjadi tidak ada, sementara permusuhan, setidaknya masih mengakui keberadaan orang tersebut.) Jahat ya, saya?!

Kembali ke tadi siang, karena saya datang duluan dan sudah siap buat makan, ya jadi saya ada alesan buat ngeles dan menunda pertemuan kami - saya pergi cari kursi dan makan. Kemudian, setelah makan, hal yang tak terhindarkan pun terjadi, kami berhadapan, di tengah-tengah teman-teman lainnya - yang sudah saya sapa dan menyapa saya, maka kami pun saling sapa, mengulurkan lengan, mencondongkan tubuh untuk saling mendekat dan saling menempelkan pipi sambil mengucapkan salam. Saat saling mendekat, dia memeluk saya dengan erat dan mengatakan: 'maaf'. Saya tidak terbiasa mengumbar emosi dan saya bingung bagaimana harus bereaksi. Setelah ragu sejenak, saya balas memeluknya dan mengatakan hal yang sama. Rasanya? Ngga tau ya, disebut lega - rasanya sih bukan, apa ya kata-kata yang pas untuk menggambarkannya? Mungkin, permintaan maaf itu sebenernya ngga perlu, karena ternyata emosi itu sudah berlalu. Setelah dipikir-pikir, sejak saya pindah, saya ngga pernah ketemu atau melihat dia secara langsung. Sekarang, pas ketemu, setelah lebih dari dua tahun, kemarahan dan kekecewaan saya saat ini ternyata tidak senyata dulu. Saya masih ingat peristiwa-peristiwa yang dulu terjadi, tapi saya sudah ngga bisa mengalami kembali emosi-emosi yang saya rasakan saat itu. Masuk akal ngga sih?! Mungkin ada benarnya jika ada yang mengatakan bahwa waktu adalah penyembuh yang paling baik. Tadi siang.. setelah lebih dari dua tahun.. saya berekonsiliasi :)

No comments:

Post a Comment