Manusia modern adalah spesies yang langka kalau bukan satu-satunya. Hanya manusia yang dapat berbahasa, menciptakan teknologi, berkarya seni, memiliki ilmu pengetahuan, dan belajar dari masa lampau. Dengan kata lain, spesies satu-satunya yang menghasilkan budaya. Sejarah evolusi manusia mengajarkan pada kita, bahwa semua keunggulan itu adalah hasil suatu proses panjang yang terjalin oleh keberuntungan, kecerdasan, dan keberhasilan manusia menjalin hubungan sosial. Karena itu, hakekat manusia tidak terletak pada keberhasilannya memenuhi kebutuhan ragawi, tetapi justru pada kemampuan manusia untuk terus memelihara kepedulian sosial, saling menghormati, tenggang rasa, dan memiliki cinta kasih. Itulah yang membedakan manusia dari makhluk lain. - Salah Satu Plakat di Museum Sangiran
Liat dulu bagian satu, dua, dan tiga biar nyambung :)
Hari kedua, 3 Juni 2012. Kami meninggalkan penginapan sekitar jam setengah sembilan pagi menuju kawasan Situs Sangiran, Desa Krikilan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah (sekitar 17 km utara kota Solo). Sekitar dua jam kemudian, mobil kami berhenti di lokasi bangunan permanen yang digunakan sebagai gardu pandang. Di sini kami bertemu dengan rombongan mahasiswa geologi UGM. Naik ke tingkat atas, kita bisa mengamati kawasan Sangiran sejauh mata memandang. Tampak di kejauhan bangunan Museum Sangiran yang menjadi tujuan kami setelah penjelasan di sini, masih seputar kondisi geologi situs ini, penjelasan bentukan Sangiran Dome yang terlipat karena terdesak oleh batuan yang berasal dari Gunung Lawu.
Jam sebelas, kami sampai di Museum, disambut dulu oleh salah satu petugas di ruang khusus, trus dibagi buku Pengetahuan Prasejarah Sangiran: Situs Prasejarah Dunia yang ditulis oleh Harry Widianto dan Iwan Setiawan Bimas, diterbitkan oleh Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran pada 2011. Buku ini kami dapatkan cuma-cuma, berkat kebaikan penulisnya, Dr. Harry Widianto (salah satu ahli di museum ini dengan bidang manusia purba), beliau juga yang memungkinkan kami untuk melihat secara langsung ke laboratorim dan tempat penyimpanan fosil-fosil (selain yang dipamerkan), dan bahkan mengunjungi situs ekskavasi yang terbaru.
Museum Sangiran memiliki sekitar 32.000 fosil (dan masih bertambah), tapi tentu saja tidak semua fosil dipamerkan. Museum ini baru diresmikan pertengahan Desember 2011 oleh Mendikbud, terdiri atas tiga ruang pamer. Ruang Pamer 1 - Kekayaan Sangiran; menceritakan evolusi dan fosil binatang dan tengkorak manusia purba yang ditempatkan dalam diorama. Ruang Pamer 2 - Langkah-Langkah Kemanusiaan; diawali dengan ruang audio visual, evolusi menuju manusia, sejarah dan tokoh teori evolusi, proses migrasi manusia, dsb. Ruang pamer 3 diberi judul Masa Keemasan Homo erectus 500.000 tahun yang lalu, di sini ada diorama raksasa dan manekin rekonstruksi Homo erectus S17 dan Homo floresiensis karya Elisabeth Daynes.
Saat kami ke sini, pengunjungnya lumayan rame, mungkin karena hari libur, jadinya ngga begitu nyaman untuk berlama-lama mengamati setiap display - gerah, terlalu banyak hawa manusia, selain terlalu berisik juga. Padahal banyak banget informasi yang menarik. Jadi, sepertinya, kalo mau santai dan bener-bener mendapatkan informasi yang memuaskan, butuh waktu seharian untuk berkeliling dan melihat serta membaca setiap informasi yang ditampilkan. Museum ini buka setiap Senin - Minggu dan hari libur nasional dari jam delapan pagi sampai jam empat sore. Tiket masuknya asli murah (bahkan menurut saya terlalu murah), tiga ribu rupiah untuk wisatawan domestik, dan 7.500 ribu rupiah untuk wisatawan asing. Murah kan? Kalo begini, saya suka curiga dengan keberlangsungan museum, apakah tarif ini cukup untuk memelihara museum ini agar tetap layak-kunjung? Kalo ngga salah, ternyata, status Situs Warisan Budaya Dunia tidak berarti situs ini sudah terjamin pendanaannya. UNESCO hanya memberikan sekitar 30% pendanaan, dan sisanya ya pemerintah Indonesia sendiri yang mesti mengusahakan.
Ke depan, Situs ini akan diperluas menjadi beberapa kluster. Salah satunya, katanya, akan memungkinkan pengunjung untuk melihat secara langsung lapisan batuan di dalam tanah. Jadi, nantinya, pengunjung akan menumpang elevator transparan dan masuk ke dalam tanah sedalam kurang lebih 30 meter, kemudian naik secara perlahan sambil melihat lapisan-lapisan batuan/tanah yang menunjukkan masa geologi tertentu. Keren ya? Sekarang belum jadi, masih dalam proses tender pengadaan elevator tersebut.
Dari museum, kami beranjak menuju lapangan, cuacanya asli panas. Pertama, kami menengok bekas aliran mudvolcano, di beberapa tempat, masih ada kubangan air laut purba yang dulunya adalah tempat semburan. Di tempat lain, kami dibawa melihat petak-petak ekskavasi, katanya di sini baru saja ditemukan fosil gigi dan dua jenis fosil lainnya. Lapisan tanah di sini keren sekali, banyak sekali informasi yang bisa disampaikan. Di antaranya, arah aliran sungai yang berubah, terlihat dari kemiringan sedimentasinya berubah, jalur-jalur cacing purba, dll.
Sekitar jam tiga sore, kami mulai beranjak menuju Solo. Jam tiga lewat, nyampe di Laweyan, cuci mata di toko batik, tapi ngga beli batik, soalnya masih inget di rumah juga masih ada yang belum dijahit. Lanjut ke toko makanan, trus makan malam di Gudeg Ayu lagi. Jam tujuh malem sudah nunggu kereta di stasiun. Satu jam kemudian, kami meluncur menuju Bandung dan tiba dengan selamat di Stasiun Bandung sekitar jam setengah enam pagi. Sejauh ini, Geotrek kali ini adalah geotrek dengan komposisi rute, materi, peserta, dan waktu yang paling pas. Puasss deh pokoknya!!
Sampe ketemu di Caper berikutnya! Semoga ngga bosen ya!! ^_^
kapan jalan2 lagi teh, ajak2 ya.
ReplyDelete