Maut menjemput tanpa pemberitahuan, rasanya konyol sekali saat mendengar berita kematian, lantas ada yang berkomentar betapa mendadak seseorang meninggalkan dunia. Yah, ngerti sih maksudnya, tapi tetap saja rasanya terdengar konyol.
Minggu lalu, sepupu saya meninggal dalam usia yang relatif muda, saya duga mungkin akibat aneurisme yang berlanjut hingga pembuluh darahnya pecah. Silent killer.. Secara kasat mata seseorang bisa tampak bugar dan sehat, sementara jauh di dalam tubuh, sang pembunuh-sunyi mengintai dengan sabar, menunggu, hingga dalam sepersekian detik, terpisahlah raga dan jiwa.
Betapa rapuh hidup ini.. Dalam sekejap saja, dari ada menjadi tiada..
Secara tidak sadar, ingatan saya terbawa ke awal tahun ini, saat Bapak saya meninggal. Saat kembali bekerja dan menceritakan kronologis kepergian Bapak saya (kayanya orang Indonesia tuh kepo banget ya?! Mungkin maksudnya biar bisa lebih berempati, tapi menurut saya ada beberapa hal yang terkadang justru lebih baik tidak diceritakan kembali ;p) - anyway, saat itu, suatu pernyataan dari seseorang membuat saya bertanya-tanya, seandainya saja.. Misalnya, kami ke rumah sakit lebih awal, pengobatannya berbeda, keputusan lain yang dipilih, dst.. apakah kenyataan akan berbeda? Entahlah..
Kadang, kita (well, saya) berusaha meyakini bahwa itulah jalan yang terbaik. Tapi, benarkah? Tidakkah itu hanya justifikasi untuk kita, yang ditinggalkan, untuk mengatasi rasa bersalah dan kehilangan? Untuk memungkinkan kita terus menjalani hidup tanpa dibayangi rasa bersalah atau penyesalan.. Entahlah..
Absence of evidence does not equal evidence of absence - dr. David Hussong (of FDA and the USP Microbiology and Sterility Assurance Expert Committe)
Thursday, December 13, 2012
Sungguh suatu misteri (buat saya)
Published with Blogger-droid v2.0.9
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment