Lagi-lagi tentang menggunung...
Di penghujung bulan ini setahun yang lalu, temen saya membagi link tentang 'hobby climbers' yang menyesaki Everest, artikelnya bisa dilihat di sini. Jujur, saat itu saya terperangah, betapa mudahnya seseorang diizinkan untuk mendaki Everest, bahkan tanpa pengalaman atau latihan yang cukup, asalkan mampu bayar perizinan, bisa melenggang aja gitu.
Everest climbers form a long snaking line up the mountain as they strive to reach the summit this spring. Photograph: Ralf Dujmovits - dari www.guardian.co.uk |
Bulan ini, berasa de ja vu, NGI bulan Juni yang saya terima beberapa hari lalu memasang foto cover yang senada dengan foto di atas. Edisi ini mengangkat keriuhan di Puncak Dunia ini sebagai salah satu artikel utama.
Menurut artikel ini, sejak 1990, tingkat keberhasilan pendaki naik menjadi tiga kali lipat. Tahun 1990 ada 72 orang yang mencapai puncak (18%), tahun 2000 ada 145 orang (24%), berikutnya, di tahun 2012, ada 547 orang yang mencapai puncak (56%). Mencengangkan!
Mau ngga mau saya jadi berpikir, kok kayanya gampang ya? Semudah itukah mendaki Everest? Ternyata.. ada beberapa alasan, selain prakiraan cuaca yang lebih jitu, juga karena jumlah pemandu yang lebih banyak dan peralatan yang lebih baik. Konon sekarang-sekarang, sekitar 90% pendaki Everest adalah klien berpemandu, yang umumnya tidak memiliki keterampilan mendaki. Cukup bayar aja, antara Rp 300 juta hingga Rp 1,2 miliar (buat yang mampu).
Dua jalur utama yang digunakan adalah South Col/Southeast Ridge (Nepal) dan North Col/Northeast Ridge (Cina), jalur dari Nepal adalah jalur yang lebih populer, tapi ya sama aja katanya, karena terlalu banyak pengunjung, hasilnya adalah kotor dan jorok, banyak pencemaran sampah dan sampah biologis.
Di artikel ini, ada enam cara yang dipaparkan untuk memperbaiki Everest. Misalnya dengan mengurangi izin, membatasi total pendaki dan Sherpa, dan memperkecil tim ekspedisi, sehingga mengurangi kemacetan lalu lintas di jalur pendakian. Tapi, katanya... dengan keadaan negara Nepal yang sarat masalah, sepertinya intervensi pemerintah tidak bisa diandalkan, cara yang paling mungkin adalah koordinasi antarsesama operator ekspedisi.
Untuk menurunkan risiko kecelakaan, perlu juga sertifikasi operator untuk memastikan standar keselamatan dan pengetahuan gunung dipenuhi, kemudian memastikan pendaki dan Sherpa memiliki pengalaman dan siap menghadapi tantangan ketinggian gunung.
Selain itu, memastikan bahwa setiap perjalanan tidak meninggalkan jejak dengan menyingkirkan kotoran dan sampah manusia dari gunung, dengan sanksi bagi yang tidak patuh; dan menyingkirkan jasad, karena penghormatan tidak hanya bagi yang sudah meninggal, tapi juga bagi yang masih hidup, yaitu yang bertemu dengan jasad di jalur utama.
Oh ya, ada juga Conrad Anker disebut-sebut di sini, ternyata beliau dan istrinya memiliki pusat pelatihan untuk para Sherpa pemandu di Tibet sana. Masih inget kan?!
Aah..jadi kangen menggunung :D tapi.. sekarang-sekarang, entah kenapa, kayanya saya ngga senekat dulu dan ngga yakin masih mampu melakukan perjalanan menggunung..
Entahlah, kenapa naik gunung menjadi seperti gaya hidup anak kota di jaman sekarang.
ReplyDeleteContoh kecilnya liat aja gunung2 populer di indonesia, setiap weekend atau hari libur rame banget kaya di pasar. Tapi sebenarnya itu bukan masalahnya sih, tapi "gaya" kita mendaki dan memperlakukan gunung yg jai masalah. :D
kalo menurut saya sih ini efek kombinasi dari akses yang semakin mudah, biaya perjalanan yang semakin terjangkau (atau bisa jadi kemampuan ekonomi yang semakin baik - untuk beberapa golongan), keberadaan media sosial dan penemuan kamera digital ;p
Deleteyang pada akhirnya memperparah kecenderungan manusia untuk mengukuhkan eksistensi diri :D
bisa juga dan yg terakhir saya cukup setuju, eksitensi diri :P
Delete