Friday, February 24, 2012

Caper Dieng (bagian tiga - tamat)

Alhamdulillah setelah bagian satu dan dua, akhirnya tiba juga di bagian terakhir. Ngga pake foto, soalnya lagi ngga mood buat milah milih foto.. maafkan :)


Hari kedua, petualangan dimulai sejak Subuh. Selepas sholat – tanpa mandi (soalnya airnya dingin sangat dan sore sebelum tidur kan sudah mandi ;p), kami menuju bukit Sikunir untuk menyaksikan golden sunrise. Jarak dari penginapan lumayan jauh, kami ke sana menggunakan beberapa mobil. Sampai di parkiran Telaga Kecebong (?), kami melanjutkan berjalan kaki mendaki bukit Sikunir. Namanya bukit, ya ngga begitu tinggi, mungkin sekitar 500 meter saja, trek yang dilalui cukup bersahabat, rute yang kami lalui sudah berupa tangga yang disusun dari batu.

Dari puncak Sikunir, sunrise-nya ngga begitu terlihat jelas karena langitnya sedang berawan. Justru warna keemasan lebih terlihat waktu menjelang terbit, saat kami masih di perjalanan. Ke arah timur, kita dapat melihat puncak-puncak gunung diantaranya Merbabu, Sumbing, dan Lawu. Di sini juga ada kuliah lagi, cerita soal Gunung Prahu (yang meletus dan menjadi dataran tinggi Dieng), soal mitigasi bencana di Indonesia, sampe soal Gunung Sadahurip yang diduga piramida itu (waktu itu belum seheboh sekarang, baru mulai rame). Kemudian, konsentrasi menyimak kuliah buyar karena godaan foto bersama :D

Berikutnya, kami mengunjungi Telaga Warna, telaga ini membiaskan warna yang berbeda-beda tergantung lokasi, cuaca, dan waktu saat melihat. Telaga ini sebelumnya adalah kawah, tapi sudah tidak begitu aktif, airnya tenang dan jernih, sehingga gelembung-gelembung udara dari dasar telaga yang naik ke permukaan dapat dilihat dengan jelas. Di kawasan ini ada juga beberapa gua yang sering digunakan untuk semedhi atau semacamnya di masa Orde Baru. Berbeda dengan gua di kawasan karst yang terbentuk karena proses pelarutan kapur, dst., gua di sini sepertinya lebih tepat dikatakan sebagai celah yang terbentuk dari tumpukan batu-batu vulkanik. Oh ya, di sini kami juga sempat bertemu dengan anak rambut gimbal.

Dari Telaga Warna, kami kembali ke penginapan, berkemas dan bersiap pulang. Setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih pada pemilik penginapan, kami memulai perjalanan menuju Bandung. Sebelumnya, kami mampir dulu di Candi Bima (sambil menunggu barang yang tertinggal di penginapan diantarkan), kuliah singkat, dan berfoto keluarga. Melanjutkan perjalanan, kemudian lewat tengah hari, mampir lagi di PLTA Mrica. Di sini kami disuguhi pemandangan waduk yang menyejukkan mata dan aneka penganan yang menentramkan lambung :)

Pihak pengelola PLTA bercerita tentang sejarah, kapasitas produksi, proses kerja, dan hambatan-hambatan dalam pengelolaan PLTA. Yang masih agak ingat adalah beberapa kendala yang disampaikan, diantaranya sampah dan sedimentasi. Sampah yang terbawa dari hulu membuat pengelola PLTA harus sering-sering melakukan pembersihan. Sama halnya dengan sedimentasi, dengan peningkatan laju erosi di daerah hulu (salah satunya akibat pemanfaatan hutan menjadi lahan pertanian), maka air yang menjadi input PLTA mengandung banyak sedimen. Akibatnya secara jangka panjang adalah mengurangi usia produktif PLTA itu. Jadi, misalkan usia produktif PLTA harusnya hingga 50 tahun, dengan adanya sedimentasi ini (kalo terus dibiarkan), produktivitasnya jadi hanya 30 tahun saja. Setelah mendengarkan paparan dan sesi diskusi, kami dibawa untuk menuju ruang kendali PLTA. Listrik yang dihasilkan dari sini sudah tersambung dengan jaringan listrik PLN, didistribusikan untuk pemakaian listrik di daerah Dieng dan Wonosobo (kalo ngga salah inget ;p).

Dari PLTA, kami melanjutkan perjalanan ke Bandung, berhenti makan malam di Rumah Makan Pring Sewu. Overall, perjalanan pulang cukup aman terkendali. Kami tiba kembali di titik keberangkatan, Balai Kota, senin pagi sekitar jam satu atau jam dua. Capek?? Iya, sedikit. Senang?? Banget!! :D

Oh ya, soal pemanfaatan wilayah bukit menjadi lahan pertanian, di Dieng, pertanian memang terlihat mencolok. Baris-baris tanaman kentang dapat kita lihat hingga ke puncak bukit. Hal ini menjadi bahasan di antara kami, betapa rawannya area ini terhadap ancaman longsor. Ternyata, tidak berapa lama sejak kunjungan kami ke Dieng, ada berita tentang longsor yang terjadi dan memakan korban jiwa. Yah, mestinya kita harus sudah lebih paham, semoga ke depan kita bisa semakin bijak mengelola limpahan kekayaan alam di negara kita ini. 

Jane Eyre - cinta dan integritas ;p


Horeeee, sudah selesai baca Jane Eyre!! Overall, sebetulnya ceritanya biasa aja, tapi kenapa kok novel ini tampak penting sih?! Oh, mungkin karena karakter tokoh Jane Eyre-nya ngga biasa buat ukuran perempuan di masa novel ini ditulis. Novel ini diceritakan dengan sudut pandang orang pertama. Jane menceritakan kisah hidupnya sejak berusia sekitar delapan tahun hingga tigapuluh tahun. Lama banget ya?!

Kalo diliat-liat, ceritanya rada mirip cerita sinetron atau telenovela. Anak yatim piatu yang diurus setengah hati dan ‘terbuang’, menghadapi kerasnya hidup (dalam arti sebenarnya – mulai dari terancam kelaparan, menjalani pendidikan dengan metode pengajaran yang ‘kasar’, dan intaian maut melalui wabah penyakit), mandiri dengan mendapatkan pekerjaan sebagai pengajar di sekolahnya, trus pindah jadi pengajar rumahan – governess (kalo sekarang mungkin istilahnya pengajar home-schooling ;p).

Nah, sejak jadi governess inilah drama percintaannya dimulai. Berhubung latar belakangnya abad 18-an, jadinya dinamika percintaannya tampak alot dan berbelit-belit (buat saya ;p). Jane (delapanbelas tahun) dan majikannya, Mr. Rochester (tigapuluh delapan tahun) saling jatuh cinta. Ini nih, gambaran betapa jatuh cintanya Jane sama Mr. Rochester:

Most true is it that ‘beauty is in the eye of the gazer.’ My master’s colourless, olive face, square, massive brow, broad and jetty eyebrows, deep eyes, strong features, firm, grim mouth,—all energy, decision, will,—were not beautiful, according to rule; but they were more than beautiful to me; they were full of an interest, an influence that quite mastered me,—that took my feelings from my own power and fettered them in his. I had not intended to love him; the reader knows I had wrought hard to extirpate from my soul the germs of love there detected; and now, at the first renewed view of him, they spontaneously arrived, green and strong! He made me love him without looking at me.

Kalo yang ini ungkapan perasaan Mr. Rochester terhadap Jane:

Every atom of your flesh is as dear to me as my own: in pain and sickness it would still be dear. Your mind is my treasure, and if it were broken, it would be my treasure still: if you raved, my arms should confine you, and not a strait waistcoat—your grasp, even in fury, would have a charm for me: if you flew at me as wildly as that woman did this morning, I should receive you in an embrace, at least as fond as it would be restrictive. I should not shrink from you with disgust as I did from her: in your quiet moments you should have no watcher and no nurse but me; and I could hang over you with untiring tenderness, though you gave me no smile in return; and never weary of gazing into your eyes, though they had no longer a ray of recognition for me.—But why do I follow that train of ideas? I was talking of removing you from Thornfield. All, you know, is prepared for prompt departure: to-morrow you shall go. I only ask you to endure one more night under this roof, Jane; and then, farewell to its miseries and terrors for ever! I have a place to repair to, which will be a secure sanctuary from hateful reminiscences, from unwelcome intrusion—even from falsehood and slander.

Saat mereka akan menikah, pas hari-H, jam-J, di gereja, Jane dihadapkan dengan fakta yang baru dia ketahui, ternyata Mr. Rochester sudah beristri – meskipun istrinya tidak waras, tapi masih hidup, jadi ya tetap saja beristri. Sinetron banget ya???!! Dari sini, sang majikan menceritakan kenapa dia bisa berakhir dengan seorang istri yang sakit jiwa. Waktu dia muda dan masih hijau dalam pengalaman, dia terjebak dalam skenario ayah dan kakaknya untuk menikahkan dia dengan seorang perempuan dari keluarga kaya – yang ternyata punya riwayat kegilaan di keluarganya. Tuh kan sinetron?!

Bagusnya novel ini, tidak seperti sinetron, tokoh-tokohnya ngga ada yang jahat. Padahal kan kalo mau, Mr. Rochester bisa aja melenyapkan si istri, toh ngga ada yang tau juga kalo dia sudah punya istri. Jane juga sama, bisa aja dia ngga peduli dan tetap menikah atau ngga peduli dan mau dijadikan gundik (yang sepertinya lumayan lazim di masa itu), tapi dia memilih untuk meninggalkan Mr. Rochester, begini katanya saat dia berdialog dengan dirinya sendiri soal pilihannya untuk pergi:

Still indomitable was the reply—‘I care for myself. The more solitary, the more friendless, the more unsustained I am, the more I will respect myself. I will keep the law given by God; sanctioned by man. I will hold to the principles received by me when I was sane, and not mad—as I am now. Laws and principles are not for the times when there is no temptation: they are for such moments as this, when body and soul rise in mutiny against their rigour; stringent are they; inviolate they shall be. If at my individual convenience I might break them, what would be their worth? They have a worth—so I have always believed; and if I cannot believe it now, it is because I am insane—quite insane: with my veins running fire, and my heart beating faster than I can count its throbs. Preconceived opinions, foregone determinations, are all I have at this hour to stand by: there I plant my foot.

Dan ini juga:

Meantime, let me ask myself one question—Which is better?—To have surrendered to temptation; listened to passion; made no painful effort—no struggle;—but to have sunk down in the silken snare; fallen asleep on the flowers covering it; wakened in a southern clime, amongst the luxuries of a pleasure villa: to have been now living in France, Mr. Rochester’s mistress; delirious with his love half my time—for he would—oh, yes, he would have loved me well for a while. He DID love me—no one will ever love me so again. I shall never more know the sweet homage given to beauty, youth, and grace—for never to any one else shall I seem to possess these charms. He was fond and proud of me—it is what no man besides will ever be.—But where am I wandering, and what am I saying, and above all, feeling? Whether is it better, I ask, to be a slave in a fool’s paradise at Marseilles—fevered with delusive bliss one hour suffocating with the bitterest tears of remorse and shame the next or to be a village-schoolmistress, free and honest, in a breezy mountain nook in the healthy heart of England?
Yes; I feel now that I was right when I adhered to principle and law, and scorned and crushed the insane promptings of a frenzied moment. God directed me to a correct choice: I thank His providence for the guidance!

Setelah meninggalkan kekasihnya, Jane terlunta hingga kelaparan sampai akhirnya dia bertemu dengan tiga bersaudara – St. John, Diana, dan Mary Rivers, yang ternyata saudara sepupunya dari pihak ibu. Sinetron lagi ya?! Udah gitu, ternyata dia punya paman kaya yang baru meninggal, dan mewariskan seluruh hartanya buat dia, Jane mendadak kaya (meskipun hartanya sudah dibagi empat dengan ketiga sepupunya, Jane masih tetap kaya). Setelah menolak diajak menikah oleh St. John, Jane akhirnya kembali mencari Mr. Rochester. Ternyata, setelah kepergiannya, sang istri membakar rumah Mr. Rochester dan kemudian menjatuhkan diri dari atap rumah. Sementara, pada kebakaran itu Mr. Rochester kehilangan tangan kirinya (yang diamputasi) dan penglihatannya, trus dia juga jatuh miskin dan tinggal di rumahnya yang terpencil.

Apa yang dilakukan Jane? Yah, berhubung tokoh-tokoh di novel ini karakternya baik, Jane akhirnya menikah dengan Mr. Rochester, mengabaikan kenyataan kalo mereka beda usia duapuluh tahun, sang suami hampir buta sekaligus kehilangan tangan kiri. Begitukah jika sudah cinta?!

Caper Dieng (bagian dua)

Ini adalah kelanjutan dari bagian pertama...

Setelah beberapa siklus bangun-tidur-bangun-tidur, sekitar jam lima pagi kami baru sampai di Banyumas, di sini kami mencari masjid buat sholat Shubuh. Awalnya ketemu masjid yang cukup besar, tapi parkirnya susah berhubung halaman masjidnya ngga begitu luas, akhirnya kami sholat Shubuh di mushola SPBU. 

Pengemudi bis yang kurang kooperatif (baca: nyebelin ;p) membuat perjalanan jadi terganggu. Rencana awal, kami akan menyaksikan nuansa perunggu matahari terbit (silver sunrise) dari gardu pandang Tieng, kenyataannya, gara-gara faktor nonteknis (baca: pengemudi yang nyebelin itu), sampe sekitar jam delapan pagi kami masih di perjalanan. Setelah mendengar cerita peserta lain, emang pengemudinya nyebelin sih (saya ngga tau, soalnya sibuk memejamkan mata), ada kejadian di mana pengemudinya ngantuk dan nyaris tabrakan, trus bawa bisnya juga ngga nyaman, dan yang paling parah – saat diingatkan, dia cuek aja (kalo yang ini saya melihat langsung ;p). 

Akhirnya, dalam keadaan nyaris kelaparan (lebay ;p), kami tiba di Dieng sekitar jam sembilan lebih. Tempat pertama yang dituju adalah rumah makan yang menyajikan mi ongklok, tapi kami ngga langsung ke lokasinya, kan ngga seru kalo ngga ada intronya :) Bis membawa kami ke tempat parkir di area Candi Arjuna, dari sana kami turun dan berjalan melewati jalan raya beraspal dan melintasi kebun kentang, cuaca cukup cerah, tapi udaranya masih lumayan dingin, ngga dingin banget sih, tapi membuat badan lumayan segar. Di rumah makan, kami langsung disuguhi mi ongklok dan teh manis. Mi ongklok ini kuahnya agak manis, konsistensinya seperti kuah lomie – kental. Selain mi, ada potongan sayur sawi putih dan bawang daun, trus dilengkapi dengan sate dendeng daging sapi. Porsinya ngga terlalu besar, jadi ngga akan kenyang kalo lagi laper berat :D – tapi lumayan bisa dikompensasi dengan segelas besar teh manis hangat :) 

Beres makan, kami mampir ke penginapan untuk menyimpan barang bawaan, kemudian langsung memulai petualangan dengan beranjak ke kompleks Candi Arjuna. Saat tiba di lokasi, kabut mulai turun, dan tidak berapa lama, hujan pun turun. Alhasil, kami mendengarkan penjelasan tentang kompleks candi ini di tengah-tengah hujan. Asiiik, seru deh bisa hujan-hujanan!! :D Katanya waktu ditemukan di masa penjajahan Belanda dulu, candi di kawasan Dieng ini jumlahnya sekitar 400-an candi, dalam keadaan terendam. Candi-candi ini keadaannya kebanyakan sudah rusak berat, makanya hanya sekitar delapan candi yang berhasil diselamatkan dan kemudian direkonstruksi. Candi-candi ini diperkirakan dibangun pada abad 8-9 Masehi, dilihat dari arsitekturnya yang menyerupai candi-candi di India Utara, candi ini didirikan oleh para penganut Hindu Syiwa. Hindu Syiwa ini sama dengan penganut Hindu lainnya, memiliki tiga dewa utama, yaitu Brahma, Wishnu, dan Syiwa, tapi lebih menonjolkan pemujaan terhadap Dewa Syiwa – dewa perusak. 

Candi-candi di sini dinamai dengan nama tokoh Pandawa bersaudara dan tokoh pewayangan lainnya, ada Candi Arjuna, Candi Bima, Candi Nakula, Candi Sadewa, Candi Semar, dsb. Awalnya saya pikir nama ini diberikan oleh para pendirinya, eh, ternyata nama ini adalah ‘pemberian’ dari orang-orang ‘masa kini’ yang menemukannya. Ornamen atau relief yang ditemukan di sini relatif lebih sederhana daripada relief yang ada di candi lain seperti Prambanan atau Borobudur. Bentuk khas yang tidak ditemukan pada Candi di daerah lain adalah ornamen yang disebut dengan ‘Kudu’ – contoh terbaik yang bisa dilihat ada di Candi Bima, tapi baru kami kunjungi di hari kedua. Bentuk khas candi Hindu Syiwa adalah adanya lingga (tongkat/tiang tegak) dan yoni (seperti lumpang) – perumpamaan laki-laki dan perempuan (?). Lingga dan yoni dapat berada di satu tempat bersama-sama atau pun berbeda tempat. 

Tengah hari – masih hujan – kami melanjutkan perjalanan dengan berkunjung ke Museum Kaliasa. Di sini disimpan berbagai artefak asli atau pun replika dari candi yang ada di Dieng, ada juga informasi-informasi lain tentang dataran tinggi Dieng dan kehidupan masyarakatnya. Salah satu kisah magis di Dieng adalah keberadaan anak rambut gimbal yang dipercaya merupakan ‘titisan’ dari dewa-dewa atau leluhur masyarakat Dieng. Konon, anak-anak rambut gimbal ini awalnya ngga gimbal, pada suatu waktu mereka mengalami demam, kemudian rambutnya jadi gimbal. Sang anak akan tetap berambut gimbal hingga dia sendiri meminta atau mengizinkan rambutnya untuk dipotong dengan persyaratan tertentu. Nah, potong rambutnya juga ngga sembarangan, harus ada semacam upacara khusus dan persyaratan yang diajukan oleh sang anak harus dipenuhi. Katanya sih kalo ngga begini, setelah dipotong, rambutnya akan tetap gimbal. Jadi pengin tau, ada ngga ya yang penasaran dan melakukan penelitian soal ini?! Saya yakin mestinya ada penjelasan logis atas keberadaan anak rambut gimbal. 

Dari Museum, kami mangkal sebentar di warung-warung yang ada di depannya, makan gorengan, mi rebus, dan kentang Dieng yang digoreng. Setelah kenyang, kami melanjutkan perjalanan ke Kawah Sikidang. Kawah ini merupakan salah satu sumber energi panas bumi, diberi nama Sikidang, karena kawahnya berpindah-pindah, seperti kidang a.k.a kijang. Menurut penjelasan narasumber – Pak Kepala Sekolah, energi panas bumi di Dieng baru 20% saja yang dimanfaatkan, katanya dalam waktu dekat ini akan ditingkatkan menjadi 60%. Hari semakin sore dan hujan masih deras – tidak ada tanda-tanda akan berhenti. Kawah Sikidang menjadi tempat terakhir yang kami kunjungi di hari pertama. Dari sini, kami kembali ke penginapan dengan menggunakan angkutan berupa odong-odong yang terdiri atas dua rangkaian kereta. Perjalanan dengan odong-odong ini adalah salah satu momen yang cukup berkesan. Rute berkelok dan menanjak membuat perjalanan jadi menegangkan. Beberapa kali sebagian penumpang harus turun untuk meringankan beban agar odong-odong dapat mendaki tanjakan. Seru!!! :D 

Tiba di penginapan, setelah mandi dan bersih-bersih, kami menyantap makan sore. Malam hari, ada kuliah geohistori dari Pak Kepala Sekolah dan teaser tujuan geotrek berikutnya. Kuliah geohistori-nya seru, mendengar dan melihat antusiasme narasumber saat menjelaskan, secara ngga sadar saya jadi terbawa antusias. Sayangnya, efek perut penuh yang bersinergi dengan udara dingin malam hari membuat kami, para peserta, jatuh ke dalam buaian Morpheus. Sesekali, saat agak hening, dapat terdengar dengkur halus dari beberapa peserta yang sudah terlelap. Pak Kepala Sekolah bercerita tentang proses pembentukan dataran tinggi Dieng, energi geothermal, proses pembentukan gunung api, sabuk gunung api di Indonesia, jajaran gunung api di pulau Jawa, kemudian soal supervolcano. Ada juga komparasi letusan Gunung Tambora, Krakatau, dan Gunung Toba. Seru deh, tau kan gimana dahsyatnya letusan Krakatau tahun 1883 (katanya ;p) yang efeknya terasa hingga Eropa sana. Nah, letusan Toba dan Tambora bahkan lebih dahsyat lagi loh. Letusan Tambora katanya memusnahkan tiga kerajaan di Nusa Tenggara sana. Sementara, letusan Toba, menurut teori katastrofi, memberikan efek pada evolusi manusia modern. Tolong dikoreksi dan lihat sumber yang lebih terpercaya, kalo saya ngga salah, maka saya benar, proyek pemetaan gen manusia (human genom project) menemukan bahwa seluruh manusia yang ada sekarang memiliki 99.9% DNA yang identik, trus katanya kalo dirunut hingga ke sekitar 70.000-an tahun yang lalu, DNA itu hanya berasal dari sekitar 10.000 manusia. Diperkirakan, pada waktu itulah erupsi Toba terjadi. Nah, erupsi supervolcano ini menyebabkan volcanic winter yang membutuhkan sekitar seribu tahun untuk kembali normal (Volcanic winter adalah keadaan dimana pada satu tahun tidak ada musim panas). Volcanic winter inilah yang menurunkan populasi dunia hingga sekitar 10.000 saja, menciptakan bottleneck pada evolusi manusia. Teori ini namanya Toba Catastrophe Theory. Oh ya, rencananya (waktu itu) Toba inilah yang menjadi tujuan geotrek berikutnya! :D 

Lepas kuliah malam, kami segera terlelap di kamar masing-masing, masih berusaha menghangatkan diri. Diang malam hari: dingiiiin!!!! 

Thursday, February 23, 2012

apa kabar dunia...

Setelah lama, baru posting lagi, kemana aja?? Ngga kemana-mana sih, memang lagi ngga ada ide aja – seperti biasa, padahal tadinya saya meniatkan akan mencanangkan program setidaknya satu posting satu hari. Susah ternyata... dulu kata pengajar saya di klabnulis, jadikan menulis itu kebutuhan, seperti bernafas.. tapi kan beda ya?! Saya ngga akan mati kalau saya ngga nulis. Oh, mungkin maksudnya kemampuan menulisnya yang mati, kiasan, bukan harfiah – silly me :D 

Soal program atau rencana atau resolusi atau apapun sebutannya, saya ngga begitu senang menerapkannya. Kebalikan dengan kalimat bijak yang mengatakan ‘gagal berencana berarti merencanakan kegagalan’ (yang menurut saya sebenernya itu kan udah terhitung berencana juga, kan?), saat saya berencana, biasanya justru saya sendiri yang akan menggagalkan rencana itu, istilah kerennya ‘self-fulfilling prophecy’. Tau kan, contoh sederhananya (versi saya), dulu pas zaman kuliah ngga begitu suka dengan statistik, eh, ternyata pas kerja tetap mesti berurusan sama statistik, atau kalo mau pergi dan perencanaannya lama, biasanya malah ngga jadi pergi sama sekali. Jadi, kata-kata bijak di atas, kalo buat saya kayanya ngga berlaku, versi yang saya banget adalah ‘merencanakan berarti (akan) gagal melaksanakan’. 

Eh, tapi kalo dipikir-pikir, saya juga masih tercakup dalam kata-kata bijak yang pertama, karena gagal berencana berarti merencanakan kegagalan, sedangkan saya cenderung menggagalkan rencana. Berarti saat saya tidak berencana, maka saya merencanakan kegagalan, yang artinya saya akan gagal merencanakan kegagalan. Pertanyaannya, apakah gagal untuk gagal itu sama dengan berhasil?! Atau apakah gagal itu sama dengan tidak berhasil?! Kalo rencananya gagal, berarti berhasil juga kan?! Berhasil untuk gagal :D 

Jadi…. seberapa pentingkah berencana itu?! Kalo di pelatihan kemarin, dalam manajemen mutu ada yang namanya siklus PDCA (plan-do-check-action). Overall, jika semua bagian itu sama pentingnya, maka itu berarti perencanaan hanya menyumbang 25% dari keberhasilan yang akan dicapai. 

Well, sebelum celoteh yang menyesatkan ini bertambah sesat, saya mau cerita hal lain. Waktu pelatihan kemarin, instrukturnya banyak pengalaman bekerja di perusahaan Jepang, jadi sepertinya beliau ini sangat menghayati nilai-nilai yang diterapkan di perusahaan Jepang, yang saya setuju, memang bagus dan logis, dengan kata lain, keren. Yah, saya tau, Indonesia memang banyak celanya, saya juga sering kok mencela, tapi kalo mendengar orang lain yang mencela, kok saya jadi sebel ya?! Mungkin orang lain juga gitu ya kalo menyimak celaan saya tentang negara dan masyarakat kita ini?! Kalo orang lain yang mencela, saya jadi defensif, saya akui kita ini memang banyak sifat nyebelinnya, tapi masa sih ngga ada bagus-bagusnya sama sekali?! Apakah itu artinya celaan dapat membangkitkan rasa kebangsaan (saya)?! 

Oh ya, setelah mikir lagi, sepertinya ‘self-fulfilling prophecy’ itu sama aja prinsipnya dengan ‘laws of attraction’, semua datang dari pikiran kita sendiri, saat kita memikirkan sesuatu, maka seluruh alam semesta akan berpadu mewujudkan apa yang kita pikirkan. Dahsyat sekali, ya??!! Kalo gitu, mesti hati-hati dengan apa yang kita pikir kita inginkan. 

Ada satu cerita sang instruktur yang keren menurut saya, masih soal orang Jepang. Beliau bilang, orang Jepang tidak menciptakan sesuatu (mobil, motor, ponsel, kamera, dsb., bukan ciptaan orang Jepang), tetapi mereka memperbaiki, dan kemudian pada akhirnya menguasai. Wah, kok mirip slogan Julius Caesar: veni, vidi, vici (dibaca: weni-widi-wici) – I came, I saw, I conquered. 

Baiklah, semakin ngga jelas nih.. 
Burung irian burung cendrawasih, cukup sekian dan terima kasih :D

Tuesday, February 14, 2012

anak-anak - sang guru kehidupan

Ini cerita tentang keponakan saya yang pertama..jadi inget gara-gara pembicaraan akhir minggu kemarin soal hari valentine..

Berhubung udah lama meninggalkan dunia akademis dan ngga pernah lagi mentoring, saya udah lupa sejarah hari valentine, trus gimana biasanya anak-anak rohis atau DKM atau sejenisnya akan heboh untuk menyebarluaskan segala hal tentang hari valentine yang ngga sesuai dengan ajaran Islam. Informasi bisa diberikan lewat buletin kecil bahkan bisa juga ada semacam ta'lim atau pengajian pada hari-H, 14 februari..

Setelah bercerita, keponakan saya bilang begini.. 'aneh juga ya memperingatkan supaya ngga memperingati hari valentine di hari valentine, berarti kan sama aja memperingati juga, memperingati dengan cara mengingatkan supaya tidak merayakan?!?!'

Iya kan?! Klo ga salah ini namanya psikologi terbalik (?), sama kasusnya kaya kita disuruh supaya jangan ingat gajah, maka yang kita ingat justru gajah, atau sama kaya kasus rhoma irama yang menghujat goyangan inul yang justru malah membuat inul makin merajalela, atau sama kaya MUI yang memboikot atau melarang peredaran film-film kontroversial, yang ada justru orang-orang malah jadi pengin nonton karena penasaran. (jadi penasaran, apakah yang terlihat memang yang sebenarnya?! Mungkin ngga sih MUI justru bekerjasama dengan produser film untuk mendongkrak penjualan tiket?!) :p

Oh ya, soal keponakan saya, ngga hanya dia sih, tapi secara umum saya sering terkagum-kagum dan terheran-heran dengan anak-anak. Dulu, waktu dia masih sd, pernah nanya begini: 'kata guru agama, miskin itu ujian, kaya juga ujian, musibah itu ujian, rezeki juga ujian.. Jadi, kapan dong kita ngga diuji?!' Nah lo?! Pertanyaannya berat sih klo kata saya, tapi mesti dijawab. Saya percaya, menjawab pertanyaan anak-anak ngga boleh sembarangan, mereka bertanya karena pengin tau dan percaya kalo kita bisa ngasi jawaban. Klo ngga tau, ya bilang aja ngga tau, jangan ngarang... Karena jawaban kita mungkin akan berpengaruh besar pada kehidupannya.. (lebay ;p)

Kadang-kadang, pertanyaan mereka justru pertanyaan kita juga, tapi kita ngga pernah terpikir untuk mempertanyakan atau ya gitu deh.. Kadang-kadang kita udah ngga punya atau ngga sempet memelihara rasa ingin tau..

Makanya, klo nonton Oprah, saya suka deh klo dia udah nanya sama tamunya soal anak sang tamu, biasanya dia nanya: 'Jadi, pelajaran apa yang kamu dapat dari anakmu?' dan bukannya pertanyaan umum soal kebisaan anak, misalnya udah bisa ngomong, baca, dsb. :)


Published with Blogger-droid v2.0.4

Sunday, February 12, 2012

STIFF - Kehidupan Ganjil Mayat Manusia

Buku yang ditulis Mary Roach ini diterbitkan tahun 2003 dengan judul Stiff: The Curious Lives of Human Cadavers. Mengutip deskripsi di sampul belakangnya, buku ini 'adalah eksplorasi mengagumkan sekaligus menggelikan tentang kehidupan aneh yang dialami tubuh pascakematian'. Mary Roach ini memang jurnalis keren dengan tulisan khas yang informatif sekaligus jenaka, beliau inilah yang menulis soal simpanse di National Geographic yang pernah saya ceritain.

Buku ini terdiri atas dua belas bab yang membahas mulai dari praktik bedah pada mayat, kisah awal pembedahan manusia, proses pembusukan, uji-hantam manusia tentang toleransi tabrakan, cerita mayat tentang kecelakaan pesawat, studi tentang peluru dan bom, eksperimen penyaliban, definisi kematian, pencarian jiwa, cangkok kepala, kanibalisme, dan pilihan-pilihan yang dapat kita ambil saat kita menjadi mayat.

Buku ini juga lumayan provokatif, kalo kata saya. Saya lumayan terpengaruh dengan bagaimana kita dapat memberikan kontribusi ilmiah setelah mati. Seperti kata-kata penulis, '.. ada banyak cara lain untuk menghabiskan waktu Anda sebagai mayat. Terlibatlah dalam ilmu pengetahuan. Ikutlah ambil bagian dalam pameran seni. Jadilah bagian dari pohon. Itu beberapa pilihan untuk Anda pertimbangkan. Kematian tidak harus membosankan.'

Friday, February 10, 2012

Kisah Pi

Judul asli buku yang ditulis Yann Martel ini adalah Life of Pi, versi bahasa Indonesia-nya diterjemahkan oleh Tanti Lesmana dan diterbitkan oleh Gramedia di bulan November 2004, salah satu cetakannya saya jadikan hak milik tanggal 11 Desember 2004 (keterangan terakhir sebenernya fakta yang ngga penting ;p). Alasan saya beli buku ini karena saya suka melihat gambar sampulnya - perahu putih berisi seorang manusia yang meringkuk  di ujung perahu dan seekor harimau besar di ujung lainnya, berlatar laut biru dengan ikan berbagai ukuran dan penyu. Alasan lainnya, tulisan di sampul belakangnya yang berbunyi begini:

Pada tanggal 21 Juni 1977, kapal barang Tsimtsum berlayar dari Madras menuju Canada. Pada tanggal 2 Juli, kapal itu tenggelam di Samudra Pasifik. Hanya satu sekoci berhasil diturunkan, membawa seekor hyena, seekor zebra yang kakinya patah, seekor orang-utan betina, seekor harimau Royal Bengal seberat 225 kg, dan Pi - anak lelaki India berusia 16 tahun. Selama lebih dari tujuh bulan sekoci itu terombang-ambing di Samudra Pasifik yang biru dan ganas. Di Samudra inilah sebagian Kisah Pi berlangsung. Kisah yang luar biasa, penuh keajaiban, dan seperti ucapan salah satu tokoh di dalamnya, kisah ini akan membuat orang percaya pada Tuhan. 

Buku ini terdiri dari tiga bagian yang didasarkan pada lokasi kejadiannya. Bagian satu - Toronto dan Pondicherry, bagian kedua - Samudra Pasifik, dan bagian ketiga - Rumah Sakit Benito Juárez, Tomatlán, Meksiko. Rasanya mesti baca lagi nih buat lebih menghayati makna ceritanya :D

Waa.. baru liat ternyata udah ada versi filmnya juga!!! Tapi baru akan rilis akhir taun ini!! Liat aja di sini! :) 

Seriously, i’m (not) having fun!!

Kemarin pagi jadi juga mengurus perpanjangan KTP. Biar ngga bolak-balik, sebelumnya saya cari dulu info soal prosedurnya, ke mana? Ke mbah google, tentu saja :) Ternyata info soal hal-hal begini ngga banyak tersedia. Beberapa sumber yang menurut saya lumayan informatif ada di website kota Bandung dan satu blog milik RT. Jadi mikir, keren ih, ada RT yang mau buat blog sendiri!! Seandainya semua RT kreatif begini :D 

Sebetulnya jam kerja kelurahan mulai jam berapa sih?! Saya awalnya datang sekitar jam 7.40, pintunya masih tertutup, jadi aja saya mesti pulang lagi. Percobaan kedua, saya datang jam 8.15-an, udah buka, tapi petugasnya lagi keluar (beli rokok ;p). Ngga berapa lama, petugasnya datang, trus ya gitu deh, petualangan dimulai. 

Jadi, buat perpanjangan KTP, pertama kita pergi ke kelurahan dengan membawa KTP terakhir (yang ngga diliat sama sekali ;p), pengantar RT dan atau RW, fotokopi Kartu Keluarga, dan dua lembar pas foto (2 x 3) cm. Trus di kelurahan ngisi formulir permohonan pembuatan KTP, di-registrasi (baca: disalin ke semacam buku besar dan dinomori) sama petugasnya, selesai! (di kelurahan). Kemudian, berkas yang diatas kita bawa ke kecamatan, di sana disalin lagi ke buku besar yang lain, diberi nomor registrasi lagi, trus kita dikasi resi (semacam pengganti) untuk pengambilan KTP nanti. Resinya berlaku 14 hari sejak penerbitan, jadi mestinya KTP itu harus sudah selesai setelah 14 hari. 

Sederhana kan?! Iya sih, tapi.. gimana yaaa?! Mungkin karena dasarnya saya ngga sabaran, saya jadi sering sebel dan kesel dengan pelayanan petugas kelurahan dan kecamatan yang lambat. Udah lambat, masih juga minta biaya administrasi di akhir. Yang lebih ganggu lagi, waktu ditanya, berapa, jawabnya terserah. Maksud saya, ya berarti kalo saya ngga ngasi juga boleh dong?! Bukan masalah jumlah rupiah, hanya saja, please deeeh.. dia cuma nyalin data ke buku, trus ngasi cap dan tanda tangan, dalam waktu yang relatif lama (kata saya). Parahnya, pelayanan yang lambat ini dianggap biasa dan waktu saya nanya, kesannya malah saya yang ngga sabaran (yang bisa jadi emang bener juga sih ;p). 

Hal yang lucu buat saya adalah keterangan yang ditempel di front desk-nya yang berbunyi: HARAP MENUNGGU DENGAN TENANG. Sepertinya, mereka udah tau, kalo pelayanan yang diberikan akan cenderung mengusik ketenangan, makanya kami yang datang untuk mendapatkan pelayanan ini butuh untuk diingatkan :D 

Cerita soal pelayanan publik oleh kantor pemerintah, kayanya saya punya banyak komentar soal ini. Salah satu komentar, menurut saya, mestinya kantor pemerintah itu pengelolaannya udah harus menerapkan sistem manajemen tertentu, misalnya ISO 9001 dsb., seperti di perusahaan-perusahaan. Tiap kantor mesti ada sertifikasinya, keren kan?! Sekolahan aja udah banyak yang tersertifikasi ISO, padahal urusannya mungkin ‘hanya’ terkait seribu orang murid, jauh lebih sedikit kalo dibandingkan dengan kantor kelurahan. Hasil kunjungan kemarin, di kelurahan tempat tinggal saya, ada 13.890 penduduk; 7.042 laki-laki dan 6.748 perempuan. Jumlah yang jauh lebih besar dari pada jumlah siswa di satu sekolah, kan?! Berkali-kali lipat dari jumlah karyawan suatu perusahaan, kan?! Jadi, kalo perusahaan dan sekolah yang urusannya ngga sebanyak kelurahan aja mesti menerapkan sistem manajemen mutu, apalagi kelurahan kan?! Ribet?! Ngga juga ah, jumlah penduduk bisa jadi banyak, tapi ngga akan semuanya serentak butuh KTP, Kartu Keluarga, dll. dalam waktu yang sama, kan?! Dan kayanya urusan kelurahan kan udah jelas jenisnya, ngga kaya perusahaan yang mungkin melakukan diversifikasi usaha, kalo kelurahan kan urusannya gitu-gitu aja, jadi mestinya lebih gampang untuk menerapkan sistem manajemen mutu yang berkualitas. 

Wah, jadi kepikiran ide buat mengurus kelurahan, nih, mari berkhayal!! :D

Wednesday, February 8, 2012

having a serious fun and having fun seriously

Kalimat di atas adalah salah satu kata mutiara yang saya dengar dari Mario Teguh, ngga begitu nyambung dengan yang saya ceritain di bawah, ngga apa-apa kan??!!

Skenario indah tahun ini, katanya sih tahun ini ngga akan ada kunjungan audit dari WHO, jadi, kemungkinan tahun ini akan ada kesempatan buat menambah kompetensi melalui pelatihan eksternal, yang bisa jadi, akan berlangsung di luar negeri. Asiiik!! Jadi?? Ya, biar ngga ribet, mesti siap ke luar negeri dari sekarang (Ge-eR mode :D), biar nanti pas ada kesempatan, udah tinggal berangkat, ngga banyak yang mesti diurus. Jadi, gimana kalo bikin paspor dari sekarang?! Yah, mesti ngurus perpanjangan KTP dulu berarti!! Sudah sebulan lebih KTP saya kadaluarsa, inget sih, tapi males buat ngurus perpanjangannya. Udah kebayang aja birokrasi ala pemerintahan yang ribet dan membuat frustrasi. Jadi, kayanya kalo ngga kepepet, saya ngga mau berurusan sama kantor pemerintahan, apa pun fungsi dan tingkatannya. Nah, sekarang kayanya sudah akan kepepet nih. Tadinya sih saya mau nungguin program e-KTP yang katanya bakal diselenggarakan di bulan Maret, tapi jadi was-was juga kalo menunda lebih lama. Dalam waktu dekat, kalo jadi, saya mau ke luar kota, ngga lucu yah kalo ntar terjaring operasi gara-gara ngga punya KTP yang masih berlaku (baru sadar sekarang, padahal dari kemaren ke Jogja cuek aja ;p).

Masalahnya, saya ngga percaya sama pemerintah!! Perasaan ngga ada manfaatnya deh (*ssst!! jangan bilang-bilang ya?! ^_^v) Terakhir kali saya berurusan (langsung) dengan pemerintahan, di pertengahan 2010 ke kelurahan, waktu mau minta surat pengantar untuk pembuatan SKCK (terakhir saya buat SKCK tahun 2001, waktu mau kuliah, back-up plan siapa tau ngga lulus UMPTN, bakal masuk STAN – untung juga ngga jadi sekolah di STAN, ntar ketularan jadi kaya Gayus, iiih!! OOT ;p). Saya datang sekitar jam delapan (atau jam sembilan ya?!), trus bingung, ada beberapa orang pegawai, tapi pada asik sendiri, yang satu lagi baca tabloid (atau koran – lupa ;p), lainnya ngobrol, ada juga yang ngerokok, yang jelas, semuanya tampak santai dan ngga ada kerjaan. Waktu saya menjelaskan maksud kedatangan saya, saya disuruh bawa dulu surat pengantar dari RT, jadi aja mesti balik lagi ke pak RT (ngga pengalaman, soalnya dulu waktu pertama buat SKCK dianter kakak, langsung ke kepolisian). Setelah dapet surat pengantar RT, ngantri sama Bapak yang ngurusin surat-menyurat, beliau lagi buat surat keterangan buat seorang ibu yang suaminya sedang dirawat di rumah sakit. Ngetiknya pake mesin tik, lamaaaa banget, udah gitu nanya-nanya dulu sama si Ibu, nama dan usia anaknya (yang dibawa sama si Ibu), saya pikir, kok si Bapak sempet-sempetnya nanya-nanya soal anaknya sih, kan ngga relevan. Setelah lama, suratnya selesai, giliran saya dibuatkan surat. Sekejap kemudian, waktu si Bapak baru mau ngisi nomor surat, si Ibu yang tadi kembali, ternyata surat keterangan yang dibuat sekian lama itu salah isi, mestinya buat suaminya, tapi si Bapak nulis buat anaknya! (pantesan tadi nanya soal anaknya..:P) Nah, ntar kalo saya ngurus perpanjangan KTP bakal ribet lagi ngga ya?!! 

Meskipun saya males berurusan sama birokrasi pemerintah, tapi bukan berarti saya lebih suka untuk memanfaatkan ‘jalur-cepat-berbayar-lebih’ atau mendelegasikan urusan ini sama oknum yang namanya calo. Ngga gimana-gimana sih, tapi rasanya curang dan jadinya saya seakan-akan menyetujui, bahkan membenarkan praktik ini, yang artinya secara tidak langsung (atau langsung?!) saya mendorong keberadaannya. Selama ada penggunanya, ntar ujung-ujungnya ngga akan ada perubahan, praktik semacam ini akan menjadi sesuatu yang diterima sebagai hal yang wajar, padahal tetep aja ngga bener, kan?! Jadi??? Ngga tau deh, tapi rasanya lebih nyaman kalo mengikuti jalan yang benar dan berliku dari pada mengikuti jalan cepat yang tidak benar. Masalahnya, kadang-kadang (bahkan seringkali), waktu adalah kemewahan :D