Alhamdulillah setelah bagian satu dan dua, akhirnya tiba juga di bagian terakhir. Ngga pake foto, soalnya lagi ngga mood buat milah milih foto.. maafkan :)
Hari kedua, petualangan dimulai sejak Subuh. Selepas sholat – tanpa mandi (soalnya
airnya dingin sangat dan sore sebelum tidur kan sudah mandi ;p), kami menuju
bukit Sikunir untuk menyaksikan golden sunrise. Jarak dari penginapan lumayan
jauh, kami ke sana menggunakan beberapa mobil. Sampai di parkiran Telaga
Kecebong (?), kami melanjutkan berjalan kaki mendaki bukit Sikunir. Namanya
bukit, ya ngga begitu tinggi, mungkin sekitar 500 meter saja, trek yang dilalui
cukup bersahabat, rute yang kami lalui sudah berupa tangga yang disusun dari batu.
Dari puncak Sikunir, sunrise-nya ngga begitu terlihat jelas karena
langitnya sedang berawan. Justru warna keemasan lebih terlihat waktu menjelang
terbit, saat kami masih di perjalanan. Ke arah timur, kita dapat melihat
puncak-puncak gunung diantaranya Merbabu, Sumbing, dan Lawu. Di sini juga ada
kuliah lagi, cerita soal Gunung Prahu (yang meletus dan menjadi dataran tinggi
Dieng), soal mitigasi bencana di Indonesia, sampe soal Gunung Sadahurip yang
diduga piramida itu (waktu itu belum seheboh sekarang, baru mulai rame). Kemudian,
konsentrasi menyimak kuliah buyar karena godaan foto bersama :D
Berikutnya, kami mengunjungi Telaga Warna, telaga ini membiaskan warna yang
berbeda-beda tergantung lokasi, cuaca, dan waktu saat melihat. Telaga ini sebelumnya
adalah kawah, tapi sudah tidak begitu aktif, airnya tenang dan jernih, sehingga
gelembung-gelembung udara dari dasar telaga yang naik ke permukaan dapat
dilihat dengan jelas. Di kawasan ini ada juga beberapa gua yang sering
digunakan untuk semedhi atau semacamnya di masa Orde Baru. Berbeda dengan gua
di kawasan karst yang terbentuk karena proses pelarutan kapur, dst., gua di
sini sepertinya lebih tepat dikatakan sebagai celah yang terbentuk dari
tumpukan batu-batu vulkanik. Oh ya, di sini kami juga sempat bertemu dengan
anak rambut gimbal.
Dari Telaga Warna, kami kembali
ke penginapan, berkemas dan bersiap pulang. Setelah berpamitan dan mengucapkan
terima kasih pada pemilik penginapan, kami memulai perjalanan menuju Bandung. Sebelumnya,
kami mampir dulu di Candi Bima (sambil menunggu barang yang tertinggal di
penginapan diantarkan), kuliah singkat, dan berfoto keluarga. Melanjutkan perjalanan, kemudian lewat tengah
hari, mampir lagi di PLTA Mrica. Di sini kami disuguhi pemandangan waduk yang
menyejukkan mata dan aneka penganan yang menentramkan lambung :)
Pihak pengelola PLTA bercerita tentang sejarah, kapasitas produksi, proses
kerja, dan hambatan-hambatan dalam pengelolaan PLTA. Yang masih agak ingat
adalah beberapa kendala yang disampaikan, diantaranya sampah dan sedimentasi. Sampah
yang terbawa dari hulu membuat pengelola PLTA harus sering-sering melakukan
pembersihan. Sama halnya dengan sedimentasi, dengan peningkatan laju erosi di
daerah hulu (salah satunya akibat pemanfaatan hutan menjadi lahan pertanian),
maka air yang menjadi input PLTA mengandung banyak sedimen. Akibatnya secara
jangka panjang adalah mengurangi usia produktif PLTA itu. Jadi, misalkan usia produktif
PLTA harusnya hingga 50 tahun, dengan adanya sedimentasi ini (kalo terus dibiarkan),
produktivitasnya jadi hanya 30 tahun saja. Setelah mendengarkan paparan dan sesi diskusi, kami dibawa untuk menuju
ruang kendali PLTA. Listrik yang dihasilkan dari sini sudah tersambung dengan
jaringan listrik PLN, didistribusikan untuk pemakaian listrik di daerah Dieng
dan Wonosobo (kalo ngga salah inget ;p).
Dari PLTA, kami melanjutkan perjalanan ke Bandung, berhenti makan malam di
Rumah Makan Pring Sewu. Overall, perjalanan pulang cukup aman
terkendali. Kami tiba kembali di titik keberangkatan, Balai Kota, senin pagi
sekitar jam satu atau jam dua. Capek?? Iya, sedikit. Senang?? Banget!! :D
Oh ya, soal pemanfaatan wilayah
bukit menjadi lahan pertanian, di Dieng, pertanian memang terlihat mencolok.
Baris-baris tanaman kentang dapat kita lihat hingga ke puncak bukit. Hal ini menjadi bahasan di antara kami,
betapa rawannya area ini terhadap ancaman longsor. Ternyata, tidak berapa lama
sejak kunjungan kami ke Dieng, ada berita tentang longsor yang terjadi dan
memakan korban jiwa. Yah, mestinya kita harus sudah lebih paham, semoga ke depan kita bisa
semakin bijak mengelola limpahan kekayaan alam di negara kita ini.
perjalanan yang meyenangkan :)
ReplyDelete