Friday, February 24, 2012

Caper Dieng (bagian tiga - tamat)

Alhamdulillah setelah bagian satu dan dua, akhirnya tiba juga di bagian terakhir. Ngga pake foto, soalnya lagi ngga mood buat milah milih foto.. maafkan :)


Hari kedua, petualangan dimulai sejak Subuh. Selepas sholat – tanpa mandi (soalnya airnya dingin sangat dan sore sebelum tidur kan sudah mandi ;p), kami menuju bukit Sikunir untuk menyaksikan golden sunrise. Jarak dari penginapan lumayan jauh, kami ke sana menggunakan beberapa mobil. Sampai di parkiran Telaga Kecebong (?), kami melanjutkan berjalan kaki mendaki bukit Sikunir. Namanya bukit, ya ngga begitu tinggi, mungkin sekitar 500 meter saja, trek yang dilalui cukup bersahabat, rute yang kami lalui sudah berupa tangga yang disusun dari batu.

Dari puncak Sikunir, sunrise-nya ngga begitu terlihat jelas karena langitnya sedang berawan. Justru warna keemasan lebih terlihat waktu menjelang terbit, saat kami masih di perjalanan. Ke arah timur, kita dapat melihat puncak-puncak gunung diantaranya Merbabu, Sumbing, dan Lawu. Di sini juga ada kuliah lagi, cerita soal Gunung Prahu (yang meletus dan menjadi dataran tinggi Dieng), soal mitigasi bencana di Indonesia, sampe soal Gunung Sadahurip yang diduga piramida itu (waktu itu belum seheboh sekarang, baru mulai rame). Kemudian, konsentrasi menyimak kuliah buyar karena godaan foto bersama :D

Berikutnya, kami mengunjungi Telaga Warna, telaga ini membiaskan warna yang berbeda-beda tergantung lokasi, cuaca, dan waktu saat melihat. Telaga ini sebelumnya adalah kawah, tapi sudah tidak begitu aktif, airnya tenang dan jernih, sehingga gelembung-gelembung udara dari dasar telaga yang naik ke permukaan dapat dilihat dengan jelas. Di kawasan ini ada juga beberapa gua yang sering digunakan untuk semedhi atau semacamnya di masa Orde Baru. Berbeda dengan gua di kawasan karst yang terbentuk karena proses pelarutan kapur, dst., gua di sini sepertinya lebih tepat dikatakan sebagai celah yang terbentuk dari tumpukan batu-batu vulkanik. Oh ya, di sini kami juga sempat bertemu dengan anak rambut gimbal.

Dari Telaga Warna, kami kembali ke penginapan, berkemas dan bersiap pulang. Setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih pada pemilik penginapan, kami memulai perjalanan menuju Bandung. Sebelumnya, kami mampir dulu di Candi Bima (sambil menunggu barang yang tertinggal di penginapan diantarkan), kuliah singkat, dan berfoto keluarga. Melanjutkan perjalanan, kemudian lewat tengah hari, mampir lagi di PLTA Mrica. Di sini kami disuguhi pemandangan waduk yang menyejukkan mata dan aneka penganan yang menentramkan lambung :)

Pihak pengelola PLTA bercerita tentang sejarah, kapasitas produksi, proses kerja, dan hambatan-hambatan dalam pengelolaan PLTA. Yang masih agak ingat adalah beberapa kendala yang disampaikan, diantaranya sampah dan sedimentasi. Sampah yang terbawa dari hulu membuat pengelola PLTA harus sering-sering melakukan pembersihan. Sama halnya dengan sedimentasi, dengan peningkatan laju erosi di daerah hulu (salah satunya akibat pemanfaatan hutan menjadi lahan pertanian), maka air yang menjadi input PLTA mengandung banyak sedimen. Akibatnya secara jangka panjang adalah mengurangi usia produktif PLTA itu. Jadi, misalkan usia produktif PLTA harusnya hingga 50 tahun, dengan adanya sedimentasi ini (kalo terus dibiarkan), produktivitasnya jadi hanya 30 tahun saja. Setelah mendengarkan paparan dan sesi diskusi, kami dibawa untuk menuju ruang kendali PLTA. Listrik yang dihasilkan dari sini sudah tersambung dengan jaringan listrik PLN, didistribusikan untuk pemakaian listrik di daerah Dieng dan Wonosobo (kalo ngga salah inget ;p).

Dari PLTA, kami melanjutkan perjalanan ke Bandung, berhenti makan malam di Rumah Makan Pring Sewu. Overall, perjalanan pulang cukup aman terkendali. Kami tiba kembali di titik keberangkatan, Balai Kota, senin pagi sekitar jam satu atau jam dua. Capek?? Iya, sedikit. Senang?? Banget!! :D

Oh ya, soal pemanfaatan wilayah bukit menjadi lahan pertanian, di Dieng, pertanian memang terlihat mencolok. Baris-baris tanaman kentang dapat kita lihat hingga ke puncak bukit. Hal ini menjadi bahasan di antara kami, betapa rawannya area ini terhadap ancaman longsor. Ternyata, tidak berapa lama sejak kunjungan kami ke Dieng, ada berita tentang longsor yang terjadi dan memakan korban jiwa. Yah, mestinya kita harus sudah lebih paham, semoga ke depan kita bisa semakin bijak mengelola limpahan kekayaan alam di negara kita ini. 

1 comment: