Friday, February 24, 2012

Caper Dieng (bagian dua)

Ini adalah kelanjutan dari bagian pertama...

Setelah beberapa siklus bangun-tidur-bangun-tidur, sekitar jam lima pagi kami baru sampai di Banyumas, di sini kami mencari masjid buat sholat Shubuh. Awalnya ketemu masjid yang cukup besar, tapi parkirnya susah berhubung halaman masjidnya ngga begitu luas, akhirnya kami sholat Shubuh di mushola SPBU. 

Pengemudi bis yang kurang kooperatif (baca: nyebelin ;p) membuat perjalanan jadi terganggu. Rencana awal, kami akan menyaksikan nuansa perunggu matahari terbit (silver sunrise) dari gardu pandang Tieng, kenyataannya, gara-gara faktor nonteknis (baca: pengemudi yang nyebelin itu), sampe sekitar jam delapan pagi kami masih di perjalanan. Setelah mendengar cerita peserta lain, emang pengemudinya nyebelin sih (saya ngga tau, soalnya sibuk memejamkan mata), ada kejadian di mana pengemudinya ngantuk dan nyaris tabrakan, trus bawa bisnya juga ngga nyaman, dan yang paling parah – saat diingatkan, dia cuek aja (kalo yang ini saya melihat langsung ;p). 

Akhirnya, dalam keadaan nyaris kelaparan (lebay ;p), kami tiba di Dieng sekitar jam sembilan lebih. Tempat pertama yang dituju adalah rumah makan yang menyajikan mi ongklok, tapi kami ngga langsung ke lokasinya, kan ngga seru kalo ngga ada intronya :) Bis membawa kami ke tempat parkir di area Candi Arjuna, dari sana kami turun dan berjalan melewati jalan raya beraspal dan melintasi kebun kentang, cuaca cukup cerah, tapi udaranya masih lumayan dingin, ngga dingin banget sih, tapi membuat badan lumayan segar. Di rumah makan, kami langsung disuguhi mi ongklok dan teh manis. Mi ongklok ini kuahnya agak manis, konsistensinya seperti kuah lomie – kental. Selain mi, ada potongan sayur sawi putih dan bawang daun, trus dilengkapi dengan sate dendeng daging sapi. Porsinya ngga terlalu besar, jadi ngga akan kenyang kalo lagi laper berat :D – tapi lumayan bisa dikompensasi dengan segelas besar teh manis hangat :) 

Beres makan, kami mampir ke penginapan untuk menyimpan barang bawaan, kemudian langsung memulai petualangan dengan beranjak ke kompleks Candi Arjuna. Saat tiba di lokasi, kabut mulai turun, dan tidak berapa lama, hujan pun turun. Alhasil, kami mendengarkan penjelasan tentang kompleks candi ini di tengah-tengah hujan. Asiiik, seru deh bisa hujan-hujanan!! :D Katanya waktu ditemukan di masa penjajahan Belanda dulu, candi di kawasan Dieng ini jumlahnya sekitar 400-an candi, dalam keadaan terendam. Candi-candi ini keadaannya kebanyakan sudah rusak berat, makanya hanya sekitar delapan candi yang berhasil diselamatkan dan kemudian direkonstruksi. Candi-candi ini diperkirakan dibangun pada abad 8-9 Masehi, dilihat dari arsitekturnya yang menyerupai candi-candi di India Utara, candi ini didirikan oleh para penganut Hindu Syiwa. Hindu Syiwa ini sama dengan penganut Hindu lainnya, memiliki tiga dewa utama, yaitu Brahma, Wishnu, dan Syiwa, tapi lebih menonjolkan pemujaan terhadap Dewa Syiwa – dewa perusak. 

Candi-candi di sini dinamai dengan nama tokoh Pandawa bersaudara dan tokoh pewayangan lainnya, ada Candi Arjuna, Candi Bima, Candi Nakula, Candi Sadewa, Candi Semar, dsb. Awalnya saya pikir nama ini diberikan oleh para pendirinya, eh, ternyata nama ini adalah ‘pemberian’ dari orang-orang ‘masa kini’ yang menemukannya. Ornamen atau relief yang ditemukan di sini relatif lebih sederhana daripada relief yang ada di candi lain seperti Prambanan atau Borobudur. Bentuk khas yang tidak ditemukan pada Candi di daerah lain adalah ornamen yang disebut dengan ‘Kudu’ – contoh terbaik yang bisa dilihat ada di Candi Bima, tapi baru kami kunjungi di hari kedua. Bentuk khas candi Hindu Syiwa adalah adanya lingga (tongkat/tiang tegak) dan yoni (seperti lumpang) – perumpamaan laki-laki dan perempuan (?). Lingga dan yoni dapat berada di satu tempat bersama-sama atau pun berbeda tempat. 

Tengah hari – masih hujan – kami melanjutkan perjalanan dengan berkunjung ke Museum Kaliasa. Di sini disimpan berbagai artefak asli atau pun replika dari candi yang ada di Dieng, ada juga informasi-informasi lain tentang dataran tinggi Dieng dan kehidupan masyarakatnya. Salah satu kisah magis di Dieng adalah keberadaan anak rambut gimbal yang dipercaya merupakan ‘titisan’ dari dewa-dewa atau leluhur masyarakat Dieng. Konon, anak-anak rambut gimbal ini awalnya ngga gimbal, pada suatu waktu mereka mengalami demam, kemudian rambutnya jadi gimbal. Sang anak akan tetap berambut gimbal hingga dia sendiri meminta atau mengizinkan rambutnya untuk dipotong dengan persyaratan tertentu. Nah, potong rambutnya juga ngga sembarangan, harus ada semacam upacara khusus dan persyaratan yang diajukan oleh sang anak harus dipenuhi. Katanya sih kalo ngga begini, setelah dipotong, rambutnya akan tetap gimbal. Jadi pengin tau, ada ngga ya yang penasaran dan melakukan penelitian soal ini?! Saya yakin mestinya ada penjelasan logis atas keberadaan anak rambut gimbal. 

Dari Museum, kami mangkal sebentar di warung-warung yang ada di depannya, makan gorengan, mi rebus, dan kentang Dieng yang digoreng. Setelah kenyang, kami melanjutkan perjalanan ke Kawah Sikidang. Kawah ini merupakan salah satu sumber energi panas bumi, diberi nama Sikidang, karena kawahnya berpindah-pindah, seperti kidang a.k.a kijang. Menurut penjelasan narasumber – Pak Kepala Sekolah, energi panas bumi di Dieng baru 20% saja yang dimanfaatkan, katanya dalam waktu dekat ini akan ditingkatkan menjadi 60%. Hari semakin sore dan hujan masih deras – tidak ada tanda-tanda akan berhenti. Kawah Sikidang menjadi tempat terakhir yang kami kunjungi di hari pertama. Dari sini, kami kembali ke penginapan dengan menggunakan angkutan berupa odong-odong yang terdiri atas dua rangkaian kereta. Perjalanan dengan odong-odong ini adalah salah satu momen yang cukup berkesan. Rute berkelok dan menanjak membuat perjalanan jadi menegangkan. Beberapa kali sebagian penumpang harus turun untuk meringankan beban agar odong-odong dapat mendaki tanjakan. Seru!!! :D 

Tiba di penginapan, setelah mandi dan bersih-bersih, kami menyantap makan sore. Malam hari, ada kuliah geohistori dari Pak Kepala Sekolah dan teaser tujuan geotrek berikutnya. Kuliah geohistori-nya seru, mendengar dan melihat antusiasme narasumber saat menjelaskan, secara ngga sadar saya jadi terbawa antusias. Sayangnya, efek perut penuh yang bersinergi dengan udara dingin malam hari membuat kami, para peserta, jatuh ke dalam buaian Morpheus. Sesekali, saat agak hening, dapat terdengar dengkur halus dari beberapa peserta yang sudah terlelap. Pak Kepala Sekolah bercerita tentang proses pembentukan dataran tinggi Dieng, energi geothermal, proses pembentukan gunung api, sabuk gunung api di Indonesia, jajaran gunung api di pulau Jawa, kemudian soal supervolcano. Ada juga komparasi letusan Gunung Tambora, Krakatau, dan Gunung Toba. Seru deh, tau kan gimana dahsyatnya letusan Krakatau tahun 1883 (katanya ;p) yang efeknya terasa hingga Eropa sana. Nah, letusan Toba dan Tambora bahkan lebih dahsyat lagi loh. Letusan Tambora katanya memusnahkan tiga kerajaan di Nusa Tenggara sana. Sementara, letusan Toba, menurut teori katastrofi, memberikan efek pada evolusi manusia modern. Tolong dikoreksi dan lihat sumber yang lebih terpercaya, kalo saya ngga salah, maka saya benar, proyek pemetaan gen manusia (human genom project) menemukan bahwa seluruh manusia yang ada sekarang memiliki 99.9% DNA yang identik, trus katanya kalo dirunut hingga ke sekitar 70.000-an tahun yang lalu, DNA itu hanya berasal dari sekitar 10.000 manusia. Diperkirakan, pada waktu itulah erupsi Toba terjadi. Nah, erupsi supervolcano ini menyebabkan volcanic winter yang membutuhkan sekitar seribu tahun untuk kembali normal (Volcanic winter adalah keadaan dimana pada satu tahun tidak ada musim panas). Volcanic winter inilah yang menurunkan populasi dunia hingga sekitar 10.000 saja, menciptakan bottleneck pada evolusi manusia. Teori ini namanya Toba Catastrophe Theory. Oh ya, rencananya (waktu itu) Toba inilah yang menjadi tujuan geotrek berikutnya! :D 

Lepas kuliah malam, kami segera terlelap di kamar masing-masing, masih berusaha menghangatkan diri. Diang malam hari: dingiiiin!!!! 

No comments:

Post a Comment