Wednesday, June 6, 2012

Caper Lawu-Sangiran (bagian 1)

Jumat malam saya bergegas ke Stasiun Bandung buat ketemuan sama rombongan Geotrek Indonesia. Kali ini kami menumpang kereta Lodaya Malam menuju Stasiun Solo Balapan. Dari Bandung jam delapan malam, kami sampai di Solo sekitar jam lima lewat. Setelah sholat subuh, ketemu dengan anggota rombongan lain yang pergi duluan dan nunggu rombongan yang dari Jakarta, terus cari sarapan. Menu sarapan kami adalah nasi gudeg di 'Gudeg Ayu', Jalan Gajah Mada 152, ngga jauh dari stasiun. Beda dengan gudeg Jogja, gudeg yang di sini kreceknya pedas, enak deh! Selesai sarapan, kami langsung menuju destinasi pertama, Candi Sukuh.

Stasiun Solo Balapan
Menu Sarapan: Gudeg Ayu
Candi Sukuh ini merupakan tempat menyepi terbesar dan paling kompleks di lereng Gunung Lawu di ketinggian 910 mdpl. Candi Sukuh terletak di Kabupaten Karanganyar, untuk mencapainya bisa melalui jalan ke arah Tawangmangu, kemudian berbelok ke kiri/utara di area Karangpandan. Dari inskripsi yang ditemukan, diketahui bahwa candi ini dibangun antara tahun 1416 - 1459. Candi ini dikategorikan sebagai candi Hindu karena banyak ditemukan objek pujaan lingga dan yoni - simbolisasi laki-laki dan perempuan. Tapi, tidak seperti di candi Hindu pada umumnya, di sini simbolisasinya lebih vulgar, makanya candi ini cukup kontroversial. 

Beberapa relief di sini memvisualisasikan genitalia laki-laki dan perempuan secara gamblang. Selain pada relief, genitalia perempuan juga disimbolisasi dengan celah-celah yang dibuat sempit pada setiap tangga. Mungkin ini juga yang menyebabkan candi ini menjadi salah satu situs yang dipercaya dapat membawa berkah kesuburan bagi pengunjungnya. Di samping itu, konon candi ini juga dipergunakan untuk uji keperawanan. Katanya, perempuan yang menaiki tangga candi ini, jika masih perawan, maka selaput daranya akan robek dan berdarah, tapi jika sudah tidak perawan, maka kain yang dipakainya akan robek dan terlepas. Soal ini, saya beri gambaran, desain anak tangga di candi induk dibuat dengan jarak antaranak tangga cukup jauh, sehingga kita yang naik cenderung akan membuka kaki lebih lebar, di masa lalu, saat perempuan umumnya memakai kain, ya hampir pasti kainnya akan robek, jika metode menaiki tangganya biasa aja. 

Selain reliefnya yang kontroversial, bentuknya yang tidak biasa juga membuat candi ini berbeda. Candi ini bentuknya seperti piramid beratap datar, makanya ada yang menghubungkannya dengan bangunan pada masa Maya di Amerika Tengah sana (ada yang membandingkan dengan Piramida Kukulkan). Saat di sana, narasumber kami, Pak Awang, menjelaskan bahwa menurut beliau, melihat candi dan reliefnya, candi ini dibangun berdasarkan cerita Adiparwa, bagian pertama dari kisah Mahabharata. Bentuk piramida beratap datar ini merupakan penggambaran untuk Gunung Mandaragiri yang puncaknya diambil untuk mengaduk laut dalam rangka mencari Tirta Amerta. Teori ini juga didukung dengan keberadaan tiga kura-kura di depan candi. Dalam kisah Adiparwa tadi, kura-kura ini adalah para penyangga gunung tersebut. Relief lain menceritakan legenda Garudeya tentang perjalanan Garuda mencari Tirta Amerta demi membebaskan ibunya dari perbudakan.

Relief yang vulgar dan relatif kasar - berbeda dengan relief di Candi Borobudur atau Prambanan - membuat orang-orang berspekulasi tentang keberadaan candi ini. Teori yang muncul diantaranya, candi ini dibuat oleh para penganut agama Saba (pemuja matahari dan bintang). Teori lain yang lebih masuk akal adalah kemungkinan bahwa candi ini dibuat terburu-buru (secara waktu itu adalah akhir masa pemerintahan Majapahit), atau pembuatnya adalah rakyat biasa dengan kemampuan artistik yang kurang begitu baik.

Candi Sukuh

Gerbang Candi Sukuh menghadap ke barat, ke arah Gunung Lawu

Kura-kura penyangga Gunung Mandaragiri

Salah satu arca dilengkapi genitalia laki-laki

Tangga ujian

Dari Sukuh, perjalanan kami lanjutkan ke Candi Cetho (cetho = bahasa jawa untuk jelas), berada di ketinggian 1470 mdpl. Menurut penelitian, candi ini dibangun pada akhir masa pemerintahan Majapahit, usianya tidak jauh dari usia Candi Sukuh. Candi ini terdiri atas banyak teras. Saat ditemukan, ada 14 teras, saat ini ada 13 teras, tapi yang dipugar hanya 9 teras. Tidak jauh berbeda dengan Sukuh, candi ini juga banyak mereliefkan Bima. Candi ini masih digunakan sebagai tempat pemujaan oleh penduduk setempat yang beragama Hindu dan populer sebagai tempat pertapaan untuk penganut Kejawen. Sejak masa Orde Baru, bahkan hingga sekarang, katanya masih ada banyak politisi dan pejabat yang berkunjung ke sini (untuk mencari kekuatan adikodrati demi menunjang karir politik mereka). 

Sayangnya, struktur candi ini sudah tidak asli lagi. Gara-garanya, sekitar akhir 1970-an, seorang asisten pribadi (alm.) Soeharto yang bernama Humardani melakukan pemugaran berupa gapura megah di setiap teras (mirip gapura di pura), bangunan-bangunan kayu tempat pertapaan, patung Sabdapalon, Nayagenggong, Brawijaya V, phallus, dan bangunan kubus pada puncak punden. Satu-satunya artefak yang asli (termasuk posisinya) adalah gambaran kompleks terbuat dari batu yang diletakkan mendatar di atas tanah. Di ujung sebelah barat terdapat sebuah phallus/lingga besar terletak mendatar dan menunjuk ke arah barat. Pada dasarnya, terdapat penggambaran seekor penyu pada punggung seekor kelelawar besar. Pada punggung penyu terdapat sejumlah hewan laut dengan orientasi menuju berbagai arah mata angin.

Karena penampakkan arca yang dianggap tidak biasa, beberapa kelompok berkeyakinan bahwa candi ini memperlihatkan superioritas orang-orang zaman dahulu, itu loh, penganut aliran yang meyakini bahwa Kepulauan Indonesia ini dulunya adalah Atlantis. Beberapa kelompok meyakini arca ini menggambarkan orang timur tengah dalam keadaan ketakutan karena ditaklukkan. Kemungkinan lain, sebetulnya arca ini menggambarkan tokoh pewayangan.

Arca yang dipercaya menggambarkan orang timur tengah
Struktur puncak punden
Peninggalan yang paling menarik, berupa phallus, hewan laut di atas kura-kura di atas kelelawar 

Di samping kiri depan Candi Cetho, kami makan siang dengan menu lontong disertai sate ayam dan atau sate kelinci berbumbu kacang. Di sini satenya enak, daging semua :D

Menu makan siang: Lontong dan sate bumbu kacang

Setelah makan siang, kami menuju ke situs Watu Kandang. Lokasinya di Dukuh Ngasinan Lor, Desa Karangbangun, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Situs ini adalah peninggalan masa prasejarah berupa tatanan batu-batu alam yang teratur dan diduga merupakan tinggalan zaman megalitikum. Berdasarkan orientasinya yang menghadap ke arah barat dan timur - Gunung Lawu, Bangun, dan Ganoman - maka disimpulkan bahwa batu-batu ini dimaksudkan sebagai tempat pemujaan kepada alam semesta (dalam hal ini, gunung).

Orientasi yang lebih jelas terlihat pada batu-batu di depan pos yang berada di pinggir jalan, sementara lebih jauh ke dalam, di antara lahan pertanian ubi, ditemukan lebih banyak batu berukuran besar yang berserakan, namun orientasinya relatif jelas. Di suatu titik, terdapat bekas penggalian yang konon baru-baru ini di dalamnya telah ditemukan peninggalan berupa manik-manik.

Salah satu batu besar yang diorientasikan menghadap Gunung Lawu
Batu-batu dengan orientasi yang lebih jelas
Sementara sampai sini dulu ya laporannya, to be continued...

Next: Grojogan Sewu dan Sangiran :D 

ps. materi yang saya cantumkan di sini berasal dari materi yang dibagikan pada peserta, bukan berdasarkan ingatan saya saja :D

4 comments:

  1. keren teh...Kapan2 jadi pengan kesana..
    candinya beda bgt sama candi pd umumnya di jawa

    ReplyDelete
  2. iya emang keren, pik.. karena beda jadinya misterius.. udah gitu lokasinya ngga lazim..

    ReplyDelete
    Replies
    1. candinya kaya yg ada di suku maya..
      maksud ga lazim gimana teh ?

      Delete
    2. dibangunnya di lereng gunung, pik.. bukan di dataran, biasanya kan kalo di gunung juga di dataran, ini dibangunnya di lereng curam, gitu katanya

      Delete