Monday, June 25, 2012

Caper Lawu-Sangiran (bagian 3 - penultimate)

Lanjut lagi!! Sampe di mana ya? Liat dulu awalnya di sini dan tengahnya di sono :)

Habis Maghrib, makan nasi soto dan minum kopi sambil menyimak obrolan teman-teman yang lain di teras depan rumah, seru deh, hawa di Tawangmangu tuh mirip seperti di Lembang, jadinya enak, adem. Salah satu Bapak peserta bercerita soal absennya beliau di trip Bromo, waktu itu beliau sedang ada acara lain - menikahkan anaknya. Bapak ini adalah seorang pengusaha dengan berbagai macam usaha, ngga sekadar usaha, tapi beliau ini juga membantu orang lain dengan melakukan pembinaan kepada masyarakat. Soal ini, beliau mengatakan bahwa buat beliau rasanya sudah bukan saatnya lagi untuk mencari kenyamanan diri sendiri tanpa mengajak orang-orang di sekitarnya untuk sama-sama maju. Salah satu usaha beliau adalah mengembangkan usaha keripik pisang resep ibunya. Jadi, beberapa orang binaan diberikan pelatihan dan bantuan lainnya hingga mereka mampu memproduksi keripik pisang yang sesuai dengan standar rasa dan pemerian yang telah ditetapkan. Buat yang memenuhi syarat, mereka ngga usah repot mikir mau dijual kemana, nantinya keripik pisang ini akan dibantu dipasarkan oleh beliau. Keren ya?!

Trus cerita lagi soal nikahan anaknya, waktu itu katanya dia mengundang Didi Nini Thowok untuk menari, trus cerita soal gimana susahnya untuk menghubungi sang maestro ini, perjuangan beliau untuk membujuk, dst., sampe akhirnya Mas Didi ini bersedia untuk menari. Hal lain yang unik adalah inovasi beliau dalam memberikan suvenir kepada para undangan berupa foto diri masing-masing undangan. Bukan polaroid, tapi mirip teknologi photo-box dengan resolusi yang jauh lebih tinggi. Pasti undangannya terkesan sekali ya?!

Lepas ngobrol dan sholat Isya, sekitar jam delapan malam kami mulai ngumpul di ruang depan untuk mendengarkan kuliah malam. Materinya mengulas situs-situs yang kami kunjungi seharian tadi dan tujuan besok, Sangiran. Di sini, ada peserta dari suatu kelompok minat khusus yang mengkaji soal sejarah Indonesia, dari pertanyaan-pertanyaan mereka, sepertinya mereka ini termasuk kelompok yang meyakini bahwa kebudayaan di Indonesia jauh lebih tua dari kebudayaan lain di dunia. Misalnya, saat dijelaskan pola migrasi manusia (Ini gambaran kasar aja ya. Berdasarkan penelitian mutasi pada gen, diketahui bahwa manusia dengan materi genetik yang paling bervariasi dan mutasi-mutasi awal ada di Afrika, sementara di benua lain, ternyata variasinya ngga begitu banyak. Hal ini berarti manusia menyebar ke benua lain dari Afrika), pertanyaan mereka adalah, 'Jika dilihat dari kemiripan budaya dunia dengan yang ada di dunia, apakah mungkin jika sebenarnya orang Indonesia zaman dulu yang justru menyebar ke luar?' Kalo kata narasumber sih, bukti ilmiah dari materi genetik ini sepertinya lebih dapat dipercaya daripada asumsi-asumsi (yang sepertinya ngga meyakinkan ya?!). Kalo saya sih jadi penasaran, kenapa sih orang-orang kelompok ini (termasuk yang percaya Indonesia adalah Atlantis) sangat ingin sekali percaya jika orang-orang zaman dulu yang tinggal di kepulauan ini adalah masyarakat yang berbudaya tinggi dan menguasai teknologi? Terus kenapa memangnya? Kalau pun ternyata benar, bukannya justru malah ironis kalo dibandingkan dengan kondisi aktual?

Kuliah berlanjut ke materi hominid, Homo erectus, teori evolusi, dsb. dikaitkan juga dengan geologi. Selanjutnya, kita mengutip bebas saja ya :)

Tahun 1871, Charles Darwin dalam bukunya, The Descent of Man, menguraikan alasan untuk memercayai bahwa manusia dan kera memiliki leluhur jauh yang sama dan bahwa tak peduli bagaimana pun anehnya, telah berevolusi melalui serangkaian langkah yang bertahap. Darwin meyakini bahwa manusia adalah produk evolusi. Atribut-atribut manusia yang terhebat sekalipun, kecerdasan dan ungkapan emosional kita, bisa saja dihasilkan oleh seleksi alamiah sehingga memungkinkan kita berevolusi dari leluhur-leluhur hewan. Kecerdasan manusia dipercaya Darwin muncul sehubungan dengan perubahan gaya hidup. Leluhur nenek moyang manusia dan kera awalnya penghuni pepohonan, kemudian secara bertahap mulai hidup di darat. Di darat, mereka berjalan dengan dua kaki, sehingga membebaskan kedua tangan mereka untuk memanipulasi benda-benda, dan pada akhirnya, untuk menciptakan perkakas. Hal ini menyediakan batu loncatan bagi perkembangan kecerdasan karena seleksi alamiah selanjutnya akan memelihara ukuran otak yang terus mengalami peningkatan, yang diperlukan untuk ketangkasan tangan.

Terobsesi dengan tulisan Darwin bahwa manusia purba 'missing link' antara kera dan manusia modern harus dicari di benua-benua selatan, maka Eugene Dubois - seorang dokter Belanda ahli anatomi - datang ke Indonesia untuk menemukan rantai evolusi yang hilang itu. Awalnya beliau ini menjelajah ke Sumatera (atau Sumatra? saat cari tau mana yang benar, ternyata.. kata KBBI, yang sesuai EYD adalah Sumatra, tapi di dokumen-dokumen resmi pemerintahan, justru digunakan Sumatera ;p), trus ke Jawa hingga pada 1891-1892 Dubois menemukan fosil yang dia yakini sebagai missing link di Trinil. Di sini, dia menemukan fosil batok kepala, gigi, dan tulang paha kiri - ketiganya membawa dia pada kesimpulan bahwa ketiga ex fragmen tersebut adalah milik suatu makhluk bukan kera bukan manusia (kaya tebak-tebakan ya? bukan kera bukan manusia, berarti... hominid!! :p) Kenapa bukan kera? Karena volume otaknya lebih besar dari kera. Bukan manusia karena volumenya masih lebih kecil dari volume otak manusia. Catatan: volume otak kera paling maju (simpanse) adalah 600 cc, volume otak manusia adalah 1200 cc, dan otak sang fosil volumenya diantara, yaitu 900 cc. Selain itu, tulang pahanya menunjukkan bahwa saat masih hidup, sang pemilik fosil berjalan dengan tegak. Atas dasar inilah Dubois memberi nama Phitecanthropus erectus - manusia seperti kera yang berjalan tegak (kenapa bukan kera seperti manusia ya?). Pada tahun 1980-an, genus Phitecanthropus diubah menjadi Homo, satu genus dengan manusia modern.

Bersambung ke Sangiran. Lokasi ini pertama kali diketahui pernah menjadi tempat terbaik yang dipilih para Homo erectus untuk berkembang oleh paleontolog Jerman yang bekerja untuk Belanda di Indonesia - Dr. Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald yang melakukan penelitian lapangan di Sangiran pada 1936 - 1938 (kayanya sih, sebenernya kebanyakan ahli zaman dulu 'cuma' duduk manis aja di bawah tenda, sementara yang bener-bener mencari dan menggali ya orang-orang pribumi - pekerja kasar yang dibayar murah - bahkan mungkin ngga dibayar sama sekali, dan dieksploitasi tenaga fisiknya). Tahun 1934, von Koenigswald menemukan alat-alat serpih di Desa Ngebung, dua tahun kemudian ditemukan fosil Homo erectus.

Sangiran adalah area berbukit-bukit dengan ketinggian maksimum 56 m. Kawasan ini merupakan hasil perlipatan geologi berbentuk kubah - makanya namanya Sangiran Dome. Puncak Kubah Sangiran dierosi oleh anak-anak sungai Bengawan Solo - Sungai Cemoro, Brangkal, dan Pohjajar, serta beberapa sungai kecil lainnya (yang ngga ditulis namanya di materi ;p) Akibat erosi ini, beberapa lapisan batuan Kubah Sangiran tersingkap dan diketahui mengandung fosil-fosil hominid. Fosil Homo erectus ditemukan di antara lapisan batuan lempung dan pasir vulkanik bernama Pucangan bagian atas (1,8 juta - 900 ribu tahun silam) dan lapisan Kabuh bagian bawah (700 ribu - 250 ribu tahun silam).

Sadarkah dengan skala waktu geologi? Jadi kepikiran ngga sih, betapa ngga ada artinya hidup kita yang sebentar ini? Aku... (nano)debu!!

Mengapakah Sangiran ini istimewa sekali? Sampe-sampe pada 6 Desember 1996 ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Dunia dengan nama The Sangiran Early Man Site? Jadi.. manusia purba jenis Homo erectus yang ditemukan di Sangiran terdiri atas sekitar lebih dari 100 individu yang mengalami masa evolusi tidak kurang dari satu juta tahun. Jumlah ini mewakili 75% fosil manusia purba yang ditemukan di Indonesia atau 50% fosil sejenis yang ditemukan di dunia. Selain itu, temuan perkakas batu yang pernah digunakan oleh manusia purba ini juga sangat banyak, sehingga kehidupan dan budaya yang berkembang saat itu dapat kita ketahui dengan jelas. Tidak hanya itu, tapi kita bisa mendapatkan juga informasi lengkap mengenai habitat, pola kehidupan, binatang-binatang yang hidup saat itu, hingga proses terjadinya bentang alam dalam kurun waktu tidak kurang dari dua juta tahun yang lalu.

Lebih jauh lagi, penghunian Kawasan Sangiran dimulai dengan Homo erectus paleojavanicus (Meganthropus paleojavanicus) pada sekitar 1.6 juta tahun yang lalu, fosil subspesies ini menunjukkan bentuk tengkorak yang lebih tua (arkaik). Kemudian, pada 1 - 0.5 juta tahun yang lalu terdapat subspesies Homo erectus erectus (memang ditulis dua kali, bukan salah tulis ;p) dengan bentuk tengkorak yang khas (tipikal). Setelah 0.5 juta tahun yang lalu, Sangiran tidak lagi menjadi wilayah hunian hominid, mereka bermigrasi ke wilayah aliran hilir Bengawan Solo dan berevolusi menjadi subspesies bertengkorak progresif, Homo erectus soloensis/ngandongensis yang fosilnya ditemukan di Kedung Brubus, Ngandong, dan Sambung Macan. Kenapa? Menurut narasumber kami, Sangiran dihindari akibat terjadinya serangkaian erupsi gununglumpur (mudvolcano) di area Sangiran mulai 0.5 juta tahun lalu hingga 0.12 juta tahun silam, sehingga subspesies progresif berkembang di aliran hilir Bengawan Solo untuk menghindari bencana ini. Hipotesis ini juga diperkuat dengan bukti-bukti di lapangan yang kami temui, yaitu keberadaan kolam-kolam air asin yang berada di area Sangiran. Air asin ini merupakan air laut purba yang terperangkap dan keluar saat erupsi gununglumpur, kasus yang serupa dengan yang kami jumpai di Lumpur Sidoarjo.

Dilihat dari lokasinya, sama seperti Sidoarjo, Sangiran ini termasuk zona Depresi Kendeng. Apa itu? Depresi Kendeng merupakan sistem elisional yang ideal yang dicirikan oleh: sedimen lempungan dengan sisipan pasiran sangat tebal yang diendapkan dalam waktu singkat, sehingga tidak terkompaksi sempurna, labil, overpressured, transformasi mineral lempung smektit ke ilit yang intensif; mempunyai gradien geotermal yang tinggi akibat berbatasan dengan jalur gunungapi di sebelah selatan; dan terkompresi kuat sehingga membentuk jalur antiklinorium. Sejumlah gununglumpur yang ditemukan di sepanjang depresi Kendeng dari Purwodadi sampai Selat Madura, di bekas wilayah Majapahit dan Jenggala (misalnya: bledug Kuwu, bledug Kesongo, Gunung Anyar, Kalang Anyar, Pulungan, LUSI) membuktikan efektivitas sistem elisional depresi Kendeng yang telah aktif sejak Plio-Pleistosen.

Pusing? Sama :D Berhenti dulu deh ya..

No comments:

Post a Comment