Wednesday, October 31, 2012

omnivora selektif: pilih-pilih seafood


Meskipun tidak dilengkapi dengan naluri berburu sehebat singa, kemampuan berlari secepat cheetah, otot tubuh sekuat dan sepanjang piton, atau bahkan geligi setajam hiu, manusia berada di puncak rantai makanan dan menjadi superpredator. Kenapa superpredator? Karena.. ngga seperti predator lainnya, yang biasanya adalah karnivora dan hanya membunuh demi kepentingan konsumsi untuk keberlangsungan hidupnya, manusia adalah omnivora yang bisa membunuh makhluk lain bukan untuk kepentingan perut saja, misalnya nih.. manusia bisa membunuh gajah demi sepasang gading – dagingnya ngga dimakan kan? atau.. membunuh badak untuk sebuah cula, atau membunuh seekor ular yang sebenernya cuma ngga sengaja numpang lewat, atau menghabisi seekor buaya demi selembar kulit bahan tas/sepatu/sabuk/dompet, atau membunuh nyamuk yang mengganggu tidur, bahkan bisa saja menembak bebek atau burung atau babi hutan semata-mata demi alasan olahraga. Ngerti kan maksud saya?

Sebenernya bukan mau ngebahas itu sih.. kenapa jadi ke sana ya? Beberapa waktu lalu, saya pernah sedikit menyinggung tentang omnivora selektif, meskipun pemakan-segala tapi ngga berarti segala dimakan :D Untuk saya pribadi, sebetulnya hal ini hanya berdasar pada keengganan saya untuk melahap beberapa pilihan makanan yang tidak saya sukai – entah itu rasa, penampakan, tekstur, atau alasan lainnya. Nah, bulan November ini, salah satu artikel NGI (ditulis oleh Siham Afatta) membahas alasan lain (yang lebih sahih dan ilmiah ;p) mengenai pentingnya kita, manusia, untuk menjadi omnivora selektif dan lebih bertanggung jawab atas segala hal yang kita lakukan (dalam hal ini – atas segala hal yang kita konsumsi, terutama hidangan bahari).

Seperti sudah kita ketahui, Indonesia ini adalah negara kepulauan, dimana sebagian besar wilayahnya berupa perairan, laut dengan beragam kedalaman dan biota khas di dalamnya. Karena wilayah perairan yang luas, maka sangat logis jika produk bahari (aneka ikan, udang, kepiting, gurita, cumi, dsb.) yang ditangkap juga cukup besar. Jika kita buat persamaannya, maka variabel yang mempengaruhi pemanfaatan hasil bahari ini diantaranya adalah luas perairan yang dimanfaatkan, jumlah konsumen (perkiraan jumlah penduduk Indonesia saja ditambah penduduk dunia yang menjadi tujuan ekspor produk bahari – baik yang legal maupun ilegal), kemudian jumlah dan kapasitas kapal penangkap ikan yang beredar, metode penangkapan (mulai dari cara tradisional seperti dengan menebar jala, menggunakan joran pancing, hingga metode massal yang tidak ramah-lingkungan seperti penggunaan pukat, peledak, dst.), trus apalagi ya?  

Pemanfaatan hasil bahari secara besar-besaran tanpa pengendalian yang baik berujung pada terancamnya keberadaan biota laut secara keseluruhan. Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2010, 71 persen sumber daya ikan di barat Indonesia sudah dieksploitasi berlebih, sementara di timur 'baru ' mencapai 44 persen. Itu tahun 2010, bagaimana di tahun 2012 ya? Sepertinya sih meningkat ya. Jika praktik penangkapan ikan seperti ini tidak dihentikan, bukan mustahil jika penghabisan ikan akan terjadi. Sekarang saja, katanya ikan-ikan semakin sulit didapat dan kalau pun ada, ukurannya kecil. 

Di sini digambarkan rantai makanan di laut yang terdiri dari 4 level. Level 1 adalah produsen: fitoplankton, rumput laut, ganggang laut - berfungsi sebagai penunjang kehidupan spesies laut lainnya. Level 2 adalah hewan-hewan herbivora: zooplankton, bulu babi (satu-satunya bagian babi yang halal ;p), kepiting, kerang, udang - memakan 1 kg organisme ini setara dengan memakan 10 kg produsen. Level 3 adalah hewan karnivora/piscivora: cumi-cumi, sarden, lobster, kerapu - memakan 1 kg organisme ini setara dengan memakan 10 kg spesies herbivora. Kemudian, level 4 adalah para predator utama: hiu, tuna, kod, dan ikan-ikan besar lain. Hewan ini cenderung tidak memiliki musuh kecuali manusia - memakan 1 kg organisme ini setara dengan memakan 10 kg spesies karnivora. Artinya... saat kita memakan 1 kg tuna/hiu/kod, itu sama dengan memakan 1000 kg fitoplankton/rumput laut/ganggang laut! Bilang WOW yuk? Kalau begini caranya sih, beberapa tahun ke depan, jangan harap deh masih bisa mengonsumsi hidangan laut. 

Lantas, kalau begitu, mengapa masih menangkap ikan? Mengapa tidak dibuat kebijakan agar ikan yang dikonsumsi berasal dari budi daya? Katanya sih, bagi nelayan Indonesia, budi daya ikan laut itu mahal dan sulit - lagi-lagi alasan ekonomi :( Jadi, tinggal para konsumen yang dapat berperan, caranya ya dengan lebih sadar dan menghindari menyantap spesies yang terancam dan dilindungi. Jika permintaan turun, maka penangkapan diharapkan akan berkurang, sehingga populasi ikan akan memiliki waktu untuk pulih. Meskipun di satu sisi, sebagai masyarakat awam, masih sulit juga sih untuk membedakan produk ikan laut hasil budi daya dan hasil tangkapan. 

Yang pasti, ingatlah ini saat akan menyantap hidangan laut: IKAN-IKAN DI LEVEL TINGGI BUTUH ENERGI JAUH LEBIH BESAR UNTUK HIDUP DIBANDING IKAN YANG BERADA DI LEVEL YANG LEBIH RENDAH. JADI.. MENYANTAP IKAN LEVEL TINGGI AKAN MEMBERIKAN PENGARUH YANG LEBIH BESAR TERHADAP KEBERLANJUTAN KEHIDUPAN LAUT. 

Yuk, jadi omnivora selektif! :D

Sunday, October 28, 2012

pasti ngga pasti

Dulu pernah liat acara bincang-bincang seorang penulis (lupa siapa, Dewi Lestari gitu ya?!), salah satu bahasannya adalah hubungan latar belakang pendidikan dengan profesi menulis. Waktu itu, katanya latar belakang dari ilmu eksak (IPA - yang sebenarnya ngga pasti juga), membantu seorang penulis untuk bekerja secara terstruktur, dibandingkan penulis dengan pendidikan non-eksak, proses penulisan akan berlangsung dengan lebih sistematis, karena mereka lebih terbiasa berpikir sistematis. Iya gitu?!
Jika saya hubungkan menulis sebagai salah satu metode komunikasi, apa artinya orang-orang dari jurusan-jurusan ilmu 'pasti' akan mampu berkomunikasi lebih sistematis? Kalo saya sih... Duh, apa saya ini salah satu pencilan gitu ya?! :D

Published with Blogger-droid v2.0.9

Saturday, October 20, 2012

desaku..

ur·ba·ni·sa·si n 1 perpindahan penduduk secara berduyun-duyun dr desa (kota kecil, daerah) ke kota besar (pusat pemerintahan): pembangunan desa dapat membendung --; 2 perubahan sifat suatu tempat dr suasana (cara hidup dsb) desa ke suasana kota

Meskipun masih dalam satu provinsi, saya senang dengan kenyataan kalo saya punya alamat libur :D Orangtua saya tinggal di Bandung Selatan, saya dan kakak-kakak saya berhijrah ke kota saat melanjutkan pendidikan ke SMU. Ngga kerasa sudah lebih dari satu dekade sejak saya hijrah ke kota :D
Melihat lingkungan kampung saya sekarang, banyak sekali yang berubah.. Sekarang, beberapa persawahan di pinggir jalan bertransformasi menjadi showroom dealer sepeda motor, deretan ruko, kebun strawberry petik-sendiri, rumah makan khas Sunda, dll.
Daerah saya termasuk salah satu tujuan wisata utama di Bandung Selatan, jadi pas musim libur biasanya suka macet, volume kendaraan yang lewat ngga sebanding dengan jalan kecil yang hanya mampu menampung dua jalur kendaraan. Hari biasa (bukan musim libur) juga rame sih, banyak sepeda motor seliweran, jauh lebih banyak dibanding dulu (ea ealaah :p). Dulu, kakak saya bisa main badminton di jalan depan rumah, karena kendaraan ngga begitu banyak lalu-lalang. Sekarang? Jangankan main di jalan, nyebrang aja udah agak susah.
Dari sisi penduduk, di desa saya ternyata lumayan banyak juga pendatang.. Temen-temen saya yang seumuran kebanyakan ngga tinggal di sini..
Bagaimanapun..ga ada tempat senyaman rumah, biarpun sekarang lebih gersang, lebih rame, lebih banyak restoran dan hotel, orang-orang lebih gaul dan sepertinya juga lebih materialistis, saya masih seneng kok pulang le rumah :D

Published with Blogger-droid v2.0.9

Wednesday, October 17, 2012

wonder

don't judge a book boy by its cover his face


Kuharap, setiap hari adalah Halloween. Kita semua bisa memakai topeng setiap saat. Lalu kita bisa berjalan-jalan dan saling mengenal sebelum melihat penampilan kita di balik topeng. - August (Auggie) Pullman

Kesini-sini, bertambah umur, semakin banyak interaksi sama orang lain, mau ngga mau kita mesti banyak kompromi,  kita ngga bisa selalu mendapatkan apa yang kita inginkan. Idealisme yang ada dalam diri kita tidak selamanya selaras dengan idealisme yang ada dalam pikiran orang lain. Lantas, saya suka bingung, kapan sih saya harus bertahan dengan idealisme saya dan kapan saya harus sedikit (kadang banyak) berkompromi? 

Saat terpaksa berkompromi dan 'mengalah', meski tidak suka, saya ngga bisa menunjukkan ketidaksukaan itu secara terbuka (meskipun mungkin sebenernya tetap keliatan pada ekspresi dan bahasa tubuh yang sulit untuk disamarkan ;p). Apakah ini artinya saya tidak jujur? Apakah ini artinya saya munafik? Duh, susahnya hidup di dunia dewasa :D 

Semakin lama hidup, saya semakin sering merindukan masa kanak-kanak saya dulu. Rasanya waktu masih kecil (jika dipikirkan sekarang), hidup tuh lebih banyak asiknya, ngga ribet, sederhana, kita lebih jujur pada diri sendiri dan orang lain, dan lebih bebas mengekspresikan diri. Karena waktu ngga bisa berjalan mundur, kompensasi yang bisa saya lakukan adalah membaca buku anak-anak atau buku tentang anak-anak. Terakhir, saya baca WONDER, bukunya R.J. Palacio yang terjemahannya diterbitkan oleh Penerbit Atria - Imprint Penerbit Serambi Ilmu Semesta.

Buku ini bercerita tentang seorang anak berumur 10 tahun. Apa istimewanya? Anak yang bernama August Pullman ini sebetulnya ngga beda jauh sama anak-anak lain yang sebaya; dia lucu, cerdas, pemberani, konyol, seperti kebanyakan anak pada umumnya. Dia berbeda karena lahir dengan kelainan Mandibulofacial Dysostosis, secara lengkap diceritakan oleh Via (kakaknya Auggie) di halaman 146:

'... August mengalami sesuatu yang disebut sebagai "jenis mandibulofacial dysostosis tak dikenal yang disebabkan oleh mutasi autosomal resesif pada gen TCOF1, yang terletak pada kromosom 5, diperumit oleh karakteristik  hemifacial microsomia pada spektrum OAV." Kadang-kadang mutasi seperti ini terjadi selama kehamilan. Kadang-kadang ini diwariskan dari salah seorang orangtua yang membawa gen dominan. Kadang-kadang disebabkan oleh interaksi dari banyak gen, kemungkinan dikombinasikan dengan faktor lingkungan. Mereka menyebutnya penurunan multifaktor. Dalam kasus August, para dokter sanggup mengidentifikasi salah satu "mutasi penghapusan nucleotide tunggal" yang bertentangan di wajahnya.'

Hal inilah yang membuat August menjadi tidak biasa. Buku ini menceritakan pengalaman pertamanya menjadi murid di sekolah umum, bagaimana dia mendapatkan teman, menghadapi tatapan-tatapan takut dan jijik dari orang lain, mengerjakan proyek sekolah, melakukan perjalanan sekolah pertamanya, dan hal-hal normal lain yang biasa dialami anak seusianya.

Intinya sih, cerita biasa yang dialami oleh anak biasa bertampang sangat tidak biasa. Di akhir.. jadi diingatkan juga, seringkali saya masih banyak ngga bersyukur dengan keberlimpahan yang sudah dimiliki, padahal kalo melihat lagi ke sekitar, banyak sekali orang lain yang hidupnya ngga beruntung.

Ada bagian lain yang bagus di halaman 408 - 409, penggalan pidato kepala sekolah - ceritanya sih diambil dari buku The Little White Bird karangan  J.M. Barrie:

'Maukah kita membuat sebuah aturan baru dalam hidup ... selalu berusaha untuk lebih berbaik hati dari yang seharusnya? Kalimat ini mengingatkan bahwa umat manusia, tidak hanya memiliki kesanggupan untuk berbaik hati, melainkan pilihan untuk berbaik hati.'

Bagaimanapun.. saya merasa.. hidup ini ngga mudah, jadi saya sepakat sama pedomannya Auggie:

Seharusnya semua orang di dunia ini mendapatkan sorak sorai penghormatan setidaknya satu kali dalam hidupnya, karena kita semua berhasil menghadapi dunia. - August (Auggie) Pullman

Thursday, October 11, 2012

tadi...

Di perlintasan kereta dalam perjalanan pulang tadi, laju angkot yang saya tumpangi terhenti karena ada kereta yang lewat. Daaan...melihat kereta, saya jadi kangen naik kereta jarak jauh..
Corat-coret nih (alih bahasa ngomong-ngomong versi tertulis), di antara moda transportasi yang pernah saya gunakan, rasanya kereta api adalah moda transportasi favorit saya :D
Naik pesawat - cepet, tapi ribet kalo buat saya, mesti udah nyampe bandara jauh sebelum waktu keberangkatan, lewat pintu keamanan beberapa kali, dst.
Nyebrang pulau pake kapal laut atau feri sih belum pernah, tapi saya takut ngeliat berita-berita kapal tenggelam. Pake bis, mungkin ngga ribet, tapi kalo di musim libur, hampir pasti kena macet kayanya..
Huuhuu... Pengin naik kereta!!! :p

Published with Blogger-droid v2.0.9

Monday, October 8, 2012

the truth is out there.. isn't it?!

Kebenaran itu nisbi.. Adakah kebenaran yang absolut?
Karena indra kadang mudah terbuai dan tertipu, bukan hanya ditipu, tapi seringkali justru ototipu (maksudnya menipu-diri :p).. Lantas, bagaimana kita tau bahwa suatu hal adalah benar sebenar-benarnya benar dan bukannya ilusi yang sangat ingin kita yakini sebagai kebenaran?
Seringkali saya ingin sekali mendapatkan kebenaran sejujur-jujurnya, tapi kemudian saya takut.. Bagaimana jika setelah mengetahuinya, ternyata kebenaran itu bukanlah sesuatu yang saya ingin ketahui? Bagaimana jika ternyata mengetahui kebenaran justru membawa pada kesedihan?
Apakah lebih baik jika saya tidak tau dan tetap berada dalam ilusi yang saya percaya sebagai kebenaran, meski tetap - jauh di dalam hati, saya masih bertanya-tanya.. Adakah yang saya yakini ternyata ilusi? :D

Published with Blogger-droid v2.0.9

Sunday, October 7, 2012

teman jalan baru :D

Beberapa pekan yang lalu saya berkesempatan untuk bertualang lagi ke gunung, kali ini ke Gunung Guntur di Garut. Karena ke gunung -bekas gunung api pula- maka alas kaki yang saya pakai adalah sepatu -sepatu veteran yang sudah ikut berkelana entah sejak kapan (lupa waktu tepatnya ;p)- yang jelas, sepatu Tomkins putih ini sudah berandil dalam menorehkan masa-masa bersejarah dalam hidup saya. 

Sebetulnya, dari penampakannya sih sepatu ini sepertinya ditujukan untuk jalan-jalan ringan atau mungkin lari-lari di perkotaan atau trek yang biasa, bukan untuk hiking, apalagi ke gunung dengan trek-trek yang heboh. Trus kenapa juga masih saya pake? Jawabannya.. karena sepertinya di dunia penciptaan alat-alat teknis pendukung petualangan, orang-orang berukuran relatif kecil seperti saya tidak dipertimbangkan sebagai salah satu sasaran konsumen. Ngga tau pasti juga sih, saya juga ngga segitu niat mencari sepatu, jaket windproof, celana PDL, dan sejenisnya. Yang jelas, dulu saya pernah cari sepatu hiking ke beberapa toko perlengkapan outdoor, dan ukuran terkecil sepatu yang ada adalah 39, kata temen saya sih ada yang 37, tapi kalo pun ada juga, tetep aja masih terlalu besar buat saya. Duh, diskriminasi sekali ya?! 

Nah, perjalanan ke Guntur kemarin adalah perjalanan terakhir sepatu saya tersayang, karena di tengah perjalanan mendaki, sobekan di sepatu sebelah kiri membesar dan bertambah parah dengan semakin hebohnya trek yang dilewati. Untungnya... saya bawa sandal, maka berlanjutlah perjalanan dengan menggunakan sandal hingga akhirnya kembali pulang. 

Berikutnya... pencarian sepatu baru pun dimulai.. Kemudian, setelah akhirnya bertemu sepatu pengganti, maka tibalah waktunya untuk menguji kemampuan sang sepatu baru... Kemana ya? :D

Thursday, October 4, 2012

diagram tiga fase dan liofilisasi

Mencoba sedikit ilmiah..
Dulu... waktu masih kuliah, salah satu hal yang menakjubkan buat saya adalah diagram tiga fase..

File:Phase-diag2.svg
diagram tiga fase dari wikipedia :D


Sekarang.. ternyata saya masih bersinggungan juga sama diagram ini. Tapi jangan salah, meskipun udah kenal dari kuliah, saya masih ngga paham-paham sama diagram ini.. 

Biasanya, diagram ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana kita dapat memanipulasi wujud suatu materi (biasanya sih contohnya air) dengan mengubah suhu dan tekanan. Prinsip inilah yang digunakan dalam proses liofilisasi atau yang dikenal juga dengan istilah beku-kering (freeze-dry). Proses ini biasanya dimanfaatkan untuk meningkatkan stabilitas suatu bahan yang mudah terurai atau rusak dengan keberadaan pelarut (yang biasanya air) dan tidak tahan suhu yang tinggi. Jadi.. untuk menjaga stabilitasnya, pelarut harus dihilangkan, tapi karena tidak tahan pemanasan, molekul pelarut tidak bisa dihilangkan dengan penguapan, maka..molekul pelarut dibuat untuk menyublim. Contoh bahan dengan sifat seperti ini diantaranya bahan biologis seperti vaksin.

Pertama, manipulasi suhu. Suatu larutan atau suspensi dibekukan hingga suhu tertentu pada kecepatan tertentu untuk memungkinkan molekul pelarut membeku dan membentuk kristal dengan ukuran tertentu. Ini adalah perubahan dari fase cair ke fase padat. Selanjutnya, manipulasi tekanan. Tekanan sistem diturunkan hingga nilai tertentu, sehingga kristal pelarut yang terbentuk di awal proses berubah menjadi uap (fase gas) tanpa melalui fase cair. Garis besarnya sih begitu, tapi teknisnya lebih rumit.. itu juga kalo ngga salah :D kalo salah, ya maaf :p

tentang maut - bukan hal serius :p

Sabtu kemarin, terjadi kecelakaan tragis terjadi di Bandung Air Show, sebuah pesawat jatuh dan menewaskan kedua awaknya. Saya ngga begitu mengikuti beritanya, cuma tau penggalan berita yang tidak lengkap, diantaranya, sang pilot purnawirawan yang sekaligus dokter mata, dan kecintaan beliau untuk terbang. Sebetulnya kejadian ini tragis ya, tapi terlepas dari semua itu, saya jadi kepikiran bagaimana beruntungnya orang-orang yang menjemput maut saat melakukan hal yang menjadi kecintaannya. Entah kenapa, saya pikir itu adalah suatu hal yang romantis dan indah.. meninggalkan dunia ini dalam perasaan bahagia.. ngga tau juga sih kenyataannya.. tapi itulah kesan yang saya tangkap.

Ngomong-ngomong soal maut nih, beberapa waktu lalu sempet liat sinetron yang judulnya 'Ibu untuk Anakku' (kalo ngga salah). Dari judulnya udah tau kan jalan ceritanya? Meskipun ngga nonton sampe satu episode utuh, kita akan sangat mafhum inti ceritanya: seorang ibu yang hidupnya divonis tidak lama lagi berakhir akibat penyakit parah (biasanya kanker), trus mencoba menemukan 'ibu pengganti' untuk anaknya. Klise ya ceritanya? Selain klise, buat saya cerita ini adalah cerita seorang yang 'control-freak', bagaimana dia ingin tetap mengendalikan orang-orang di sekelilingnya, bahkan setelah dia mati. Tapi yah, rasanya memang ngga bisa berharap banyak dari cerita sinetron :D 

Jadi.. apa intinya? ngga ada sih, seperti biasanya :p


belajar dari aron ralston

Pelajaran utama yang bisa saya ambil dari pengalaman tragis seorang Aron Ralston: saat bepergian, terutama sendirian, pastikan seseorang tau kemana dan berapa lama kita pergi. Selain itu, saya juga jadi bertanya-tanya, kalau saya ada di posisi dia (amit-amit ;p), apakah saya akan mampu untuk melakukan hal yang dia lakukan untuk bertahan hidup?

Pertama tau ceritanya dari film 127 Hours yang dibintangi James Franco. Filmnya seru, cukup menarik dan ngga membosankan untuk film dengan banyak adegan solo. Kebayang kan, sepanjang film didominasi dengan adegan-adegan bagaimana si tokoh utama mencoba berbagai usaha membebaskan diri dari himpitan batu. Untuk melengkapi cerita, sejak beberapa minggu yang lalu sedang berusaha menyelesaikan memoarnya yang berjudul Between a Rock and a Hard Place: 127 Jam Terjepit di Angkara Cadas, terjemahannya diterbitkan oleh Elex Media Komputindo. Sampai sekarang, saya baru sampai di bab satu. Nanti deh cerita lengkapnya, kalo saya inget dan ngga males.

Garis besar ceritanya, Ralston bertualang sendirian ke Canyonlands, Utah. Di suatu ngarai, sebongkah batu bergeser, lepas, dan kemudian menghimpit lengan kanannya ke dinding ngarai. Nah, film dan buku tersebut menceritakan apa saja yang terjadi selama 127 jam Ralston terjebak dan bagaimana dia berhasil menyelamatkan diri.