Meskipun tidak dilengkapi dengan naluri berburu sehebat singa, kemampuan
berlari secepat cheetah, otot tubuh sekuat dan sepanjang piton, atau bahkan
geligi setajam hiu, manusia berada di puncak rantai makanan dan menjadi
superpredator. Kenapa superpredator? Karena.. ngga seperti predator lainnya,
yang biasanya adalah karnivora dan hanya membunuh demi kepentingan konsumsi
untuk keberlangsungan hidupnya, manusia adalah omnivora yang bisa membunuh
makhluk lain bukan untuk kepentingan perut saja, misalnya nih.. manusia bisa
membunuh gajah demi sepasang gading – dagingnya ngga dimakan kan? atau..
membunuh badak untuk sebuah cula, atau membunuh seekor ular yang sebenernya
cuma ngga sengaja numpang lewat, atau menghabisi seekor buaya demi selembar
kulit bahan tas/sepatu/sabuk/dompet, atau membunuh nyamuk yang mengganggu
tidur, bahkan bisa saja menembak bebek atau burung atau babi hutan semata-mata
demi alasan olahraga. Ngerti kan maksud saya?
Sebenernya bukan
mau ngebahas itu sih.. kenapa jadi ke sana ya? Beberapa waktu lalu, saya pernah
sedikit menyinggung tentang omnivora selektif, meskipun pemakan-segala tapi ngga
berarti segala dimakan :D Untuk saya pribadi, sebetulnya hal ini hanya berdasar
pada keengganan saya untuk melahap beberapa pilihan makanan yang tidak saya
sukai – entah itu rasa, penampakan, tekstur, atau alasan lainnya. Nah, bulan November
ini, salah satu artikel NGI (ditulis oleh Siham Afatta) membahas alasan lain (yang lebih sahih dan ilmiah
;p) mengenai pentingnya kita, manusia, untuk menjadi omnivora selektif dan lebih
bertanggung jawab atas segala hal yang kita lakukan (dalam hal ini – atas
segala hal yang kita konsumsi, terutama hidangan bahari).
Seperti sudah
kita ketahui, Indonesia ini adalah negara kepulauan, dimana sebagian besar
wilayahnya berupa perairan, laut dengan beragam kedalaman dan biota khas di
dalamnya. Karena wilayah perairan yang luas, maka sangat logis jika produk
bahari (aneka ikan, udang, kepiting, gurita, cumi, dsb.) yang ditangkap juga cukup besar. Jika
kita buat persamaannya, maka variabel yang mempengaruhi pemanfaatan hasil
bahari ini diantaranya adalah luas perairan yang dimanfaatkan, jumlah konsumen (perkiraan jumlah penduduk Indonesia
saja ditambah penduduk dunia yang menjadi tujuan ekspor produk bahari – baik
yang legal maupun ilegal), kemudian jumlah dan kapasitas kapal penangkap ikan
yang beredar, metode penangkapan (mulai dari cara tradisional seperti dengan
menebar jala, menggunakan joran pancing, hingga metode massal yang tidak
ramah-lingkungan seperti penggunaan pukat, peledak, dst.), trus apalagi ya?
Pemanfaatan
hasil bahari secara besar-besaran tanpa pengendalian yang baik berujung pada
terancamnya keberadaan biota laut secara keseluruhan. Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2010, 71 persen sumber daya ikan di barat Indonesia sudah dieksploitasi berlebih, sementara di timur 'baru ' mencapai 44 persen. Itu tahun 2010, bagaimana di tahun 2012 ya? Sepertinya sih meningkat ya. Jika praktik penangkapan ikan seperti ini tidak dihentikan, bukan mustahil jika penghabisan ikan akan terjadi. Sekarang saja, katanya ikan-ikan semakin sulit didapat dan kalau pun ada, ukurannya kecil.
Di sini digambarkan rantai makanan di laut yang terdiri dari 4 level. Level 1 adalah produsen: fitoplankton, rumput laut, ganggang laut - berfungsi sebagai penunjang kehidupan spesies laut lainnya. Level 2 adalah hewan-hewan herbivora: zooplankton, bulu babi (satu-satunya bagian babi yang halal ;p), kepiting, kerang, udang - memakan 1 kg organisme ini setara dengan memakan 10 kg produsen. Level 3 adalah hewan karnivora/piscivora: cumi-cumi, sarden, lobster, kerapu - memakan 1 kg organisme ini setara dengan memakan 10 kg spesies herbivora. Kemudian, level 4 adalah para predator utama: hiu, tuna, kod, dan ikan-ikan besar lain. Hewan ini cenderung tidak memiliki musuh kecuali manusia - memakan 1 kg organisme ini setara dengan memakan 10 kg spesies karnivora. Artinya... saat kita memakan 1 kg tuna/hiu/kod, itu sama dengan memakan 1000 kg fitoplankton/rumput laut/ganggang laut! Bilang WOW yuk? Kalau begini caranya sih, beberapa tahun ke depan, jangan harap deh masih bisa mengonsumsi hidangan laut.
Lantas, kalau begitu, mengapa masih menangkap ikan? Mengapa tidak dibuat kebijakan agar ikan yang dikonsumsi berasal dari budi daya? Katanya sih, bagi nelayan Indonesia, budi daya ikan laut itu mahal dan sulit - lagi-lagi alasan ekonomi :( Jadi, tinggal para konsumen yang dapat berperan, caranya ya dengan lebih sadar dan menghindari menyantap spesies yang terancam dan dilindungi. Jika permintaan turun, maka penangkapan diharapkan akan berkurang, sehingga populasi ikan akan memiliki waktu untuk pulih. Meskipun di satu sisi, sebagai masyarakat awam, masih sulit juga sih untuk membedakan produk ikan laut hasil budi daya dan hasil tangkapan.
Yang pasti, ingatlah ini saat akan menyantap hidangan laut: IKAN-IKAN DI LEVEL TINGGI BUTUH ENERGI JAUH LEBIH BESAR UNTUK HIDUP DIBANDING IKAN YANG BERADA DI LEVEL YANG LEBIH RENDAH. JADI.. MENYANTAP IKAN LEVEL TINGGI AKAN MEMBERIKAN PENGARUH YANG LEBIH BESAR TERHADAP KEBERLANJUTAN KEHIDUPAN LAUT.
Yuk, jadi omnivora selektif! :D
No comments:
Post a Comment