Thursday, December 29, 2011

Caper Semarang - Bagian Dua


Sebelumnya... Dari TMM, kami menuju Lawang Sewu, gedung seribu pintu!!!

Lawang Sewu berlokasi di sisi timur Tugu Muda Semarang, di persimpangan Jalan Pandanaran dan Jalan Pemuda, dibangun di masa penjajahan Belanda, desainnya dirancang oleh Prof. Jacob F. Klinkhamer (TH Delft) dan B.J. Ouendag di Amsterdam pada 1903, pembangunannya dimulai tahun 1904 dan selesai tahun 1907 menggunakan bahan yang didatangkan dari Eropa, kecuali batu bata, batu alam, dan kayu jati. Pintu dan jendela yang banyak dan lebar (yang mengilhami sebutan Lawang Sewu) dimaksudkan oleh perancangnya untuk menyesuaikan gedung yang dibangun dengan iklim tropis di Semarang. Di masa Belanda, gedung ini digunakan sebagai Het Hoofdkantoor van de Nederlansch Indische Spoorweg Maatscappij (NIS) atau Kantor Pusat Perusahan Kereta Api Swasta NIS, sementara di masa pendudukan Jepang digunakan sebagai benteng pertahanan. (sumber: mas Wiki dan mas pemandu – lupa ngga nanya namanya ;p)
Berpose di Depan Gedung A
Setelah kemerdekaan, gedung ini digunakan sebagai kantor Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI), pernah juga digunakan sebagai Kantor Badan Prasarana Komando Daerah Militer (Kodam IV/Diponegoro) dan Kantor Wilayah Kementerian Perhubungan Jawa Tengah. Sejarah lebih lengkapnya mendingan cari sendiri aja yah, biar cepet ;p

Semenjak kemunculannya di suatu acara televisi, Lawang Sewu mulai dikenal luas dan dijadikan tujuan wisata (meskipun mungkin awalnya buat wisata misteri-misteri begitu). Makanya, ada hikmahnya juga ternyata, untuk lebih menarik minat pengunjung, gedung ini dipugar dan diperbaiki sehingga lebih layak-kunjung dan ngga terkesan terlalu menyeramkan (seperti umumnya bangunan tua yang terbengkalai), alhasil, pemasukan juga tuh buat PT KAI (Persero) – pemilik gedung saat ini.

Untuk berkeliling di Lawang Sewu, tiket masuknya sepuluhribu rupiah per orang, nambah tigapuluhribu lagi kalo mau ditemani pemandu (yang bisa sekalian dimintain tolong buat motret ;p). Kompleks Lawang Sewu terdiri atas empat gedung. Gedung A di bagian depan berbentuk L, saat kami ke sini, sedang dalam proses perbaikan, jadi ditutup. Gedung B memanjang di hadapan Gedung A, di sinilah letak penjara bawah tanah. Seluruhnya ada empat lantai berarti, pertama ada penjara bawah tanah, trus lantai satu dan dua berupa gedung perkantoran, lantai tiganya ngga ada apa-apa siy, berupa bukaan luas di bawah atap (loteng).  Di Gedung C ada museum yang menceritakan proses pemugaran gedung, ada koleksi bagian gedung juga, seperti batu bata penyusun struktur, engsel pintu, dsb., ada yang asli, ada juga yang replika. Gedung D, ngga tau isinya apa, lupa nanya :D

Alur Kunjungan Wisata
Nah, sebenarnya ada berapa banyak pintu di Lawang Sewu? Seribu? Ngga kok, ini cuma kebiasaan orang kita aja yang suka males ngitung, sama kasusnya dengan kaki seribu. Waktu saya tanya jumlah tepatnya, pemandunya cerita, katanya dulu udah ada yang pernah menghitung, tapi hasilnya berbeda, ada yang bilang 523 pintu, ada yang bilang 532 pintu. Katanya ini padahal pintu yang udah dihitung ditandai (jadi rada-rada berbau mistis gitu deeeh ;p). Trus, saya nanya lagi, memangnya udah berapa banyak orang yang menghitung? Dia jawab, dua orang itu aja. Nah loh, kalo secara statistik kan dua data itu tidak bisa diterima.. ngga bisa diambil kesimpulan apa-apa. Bisa aja metode penghitungannya beda, trus definisi pintu yang dihitungnya juga bisa aja beda, jadi banyak faktornya kan?! Kenapa ngga dihitung ulang aja yah dengan beberapa kelompok, trus metodenya jelas, kategori pintunya jelas, pokoknya seilmiah mungkin?! Jadi kan nanti kita bisa tau pasti dan ngga mesti terus-terusan menyerah pada hal-hal ngga logis :) Mungkin orang ngga sepenasaran itu kali ya? (masih banyak hal yang lebih penting buat dipikirkan, ketimbang jumlah pintu Lawang Sewu ;p) Dan lagi, kalo ada unsur misterius kan jadi lebih menjual?! :D 

Pintunya banyak kaan?! 

Dari lantai dua, kami kembali ke lantai satu, Gedung B bagian belakang, di sini adalah pintu masuk menuju ke ruang bawah tanah, di tembok depannya ada peringatan: DILARANG KERAS! MELAKUKAN SEGALA KEGIATAN MISTIS DI GEDUNG LAWANG SEWU DAN LINGKUNGANNYA. Untuk menjelajah penjara bawah tanah (ditemenin pemandu, tentu saja :D), bayar lagi sepuluhribu, kita dipinjemin sepatu bot karet dan senter, soalnya di dalamnya tergenang air sekitar semata kaki dan gelap (meskipun ada lampu juga siy).
Berjalan di lorong bawah tanah yang tergenang air
Menurut pemandu kami, ruang bawah tanah ini fungsi aslinya di zaman Belanda adalah untuk penampungan air, sedangkan orang Jepang menggunakannya sebagai ruang tahanan. Tangga dan pegangan tangga menuju ke bawah terbuat dari kayu dan masih asli (maksudnya struktur asli, belum pernah diganti). Di bawah, kami menelusuri lorong gelap, pada jarak tertentu terdapat bukaan-bukaan semacam pintu kecil. Di dalam bukaan tersebut terdapat petak-petak seperti kolam, tingginya mungkin sekitar 50 atau 60 cm. Katanya ini awalnya untuk penampungan air, kemudian digunakan sebagai penjara jongkok, dimana 5-6 orang tahanan ditempatkan di satu petak dalam keadaan jongkok dan terendam air hingga leher, kemudian bagian atasnya ditutupi dengan jeruji besi. Di bagian lain, ada bekas-bekas kaki meja tempat eksekusi pancung tahanan, dilengkapi dengan bak pasir disebelahnya yang katanya berfungsi untuk menyerap darah yang menetes dari tubuh-tubuh dan kepala yang sudah dieksekusi, potongan tubuh disimpan di sini sebelum dipindahkan ke sejenis bak penghubung ke luar di dinding seberangnya untuk selanjutnya dibuang ke sungai. Di bagian lainnya lagi, ada deretan penjara berdiri, ukurannya mirip toilet, sekitar 1 x 1 m, tiga sisinya terbuat dari tembok dan satu sisinya berupa jeruji besi (tapi jerujinya udah ngga ada), satu petak diisi 5 orang yang berdiri berhimpitan. Terbayangkan bagaimana perlahannya kematian datang pada para tahanan di sini? Mengapa tidak ditembak saja, tanya teman saya. Entahlah, tapi secara logis mungkin pilihan ini adalah yang paling efisien untuk tentara Jepang, kalo ditembak, maka itu artinya mereka menghamburkan peluru yang berharga (buat mereka). Kejam memang. 

bersambung lagi ah... (capee ;p)

Tuesday, December 27, 2011

The Alchemist - edisi geje ;p

Berikut ini adalah bagian dari The Alchemist yang sepertinya relevan dengan saya (terutama saat ini) :p, saya beli buku ini pada 6 Oktober 2007 atas rekomendasi salah satu teman yang terpercaya (selera bukunya OK, jadi kalo dia bilang bagus, biasanya bukunya memang bagus, atau bisa jadi, kadang-kadang otak saya yang terbatas ini tidak bisa menangkap esensi dari ke-bagus-an buku itu). Buku ini diterjemahkan oleh Tanti Lesmana, copy yang saya punya adalah buku cetakan keempat. 

Penggalan ini ada di bagian dua, halaman 70-72

Pedagang itu terdiam sesaat. Kemudian katanya, "Nabi telah menurunkan Quran pada kami, dan menyatakan lima kewajiban yang mesti kami penuhi dalam hidup kami. Yang paling penting adalah hanya percaya pada satu Tuhan. Lain-lainnya adalah sembahyang lima kali sehari, berpuasa selama Ramadhan, dan bermurah hati pada orang-orang miskin."

Lalu dia berhenti bicara. Matanya basah oleh air mata ketika dia bicara tentang Sang Nabi. Dia orang yang saleh, dan meski sifatnya tidak sabaran, dia ingin menjalani hidupnya sesuai dengan hukum-hukum Islam.  

"Apa kewajiban yang kelima?" tanya si anak.

"Dua hari yang lalu, kaubilang aku tidak pernah punya impian untuk berkelana," sahut si pedagang. "Kewajiban yang kelima bagi setiap orang Muslim adalah menunaikan ibadah haji. Kami diwajibkan mengunjungi kota suci Mekkah, setidaknya satu kali selama hidup.

"Mekkah jauh lebih jauh daripada Piramida-Piramida itu. Waktu masih muda, aku bercita-cita mengumpulkan uang untuk membuka toko. Kupikir suatu hari nanti aku akan kaya, dan bisa pergi ke Mekkah. Aku mulai berhasil mengumpulkan uang, tapi aku merasa tidak tenang menitipkan toko ini pada orang lain; kristal-kristal itu gampang sekali pecah. Sementara itu, banyak orang melewati tokoku sepanjang waktu, mereka menuju Mekkah. Beberapa dari mereka adalah peziarah-peziarah kaya yang bepergian dalam rombongan karavan dengan pelayan-pelayan dan unta-unta, tapi sebagian besar peziarah ini adalah orang-orang yang lebih miskin daripada aku.

"Semua orang yang pergi ke sana merasa bahagia telah melakukannya. Mereka menaruh lambang-lambang perjalanan ziarah mereka di pintu-pintu rumah mereka. Salah seorang di antaranya, tukang sepatu yang hidup dari memperbaiki sepatu-sepatu bot, berkata dia berkelana hampir setahun melintasi padang pasir, tapi dia jauh lebih capek ketika harus berjalan kaki di jalanan-jalanan Tangier untuk membeli kulit."

"Kalau begitu, mengapa Anda tidak pergi ke Mekkah saja sekarang?" tanya si anak.

"Sebab justru impian hendak pergi ke Mekkah-lah yang membuatku bertahan hidup. Impian itulah yang membantuku menjalani hari-hariku yang selalu sama ini, kristal-kristal bisu di rak-rak itu, serta makan siang dan makan malam di kedai jelek yang itu-itu juga. Aku takut kalau impianku menjadi kenyataan, aku jadi tidak punya alasan lagi untuk hidup.

"Kau punya impian tentang domba-dombamu dan Piramida-Piramida itu, tapi kau berbeda dari aku, sebab kau berniat mewujudkan impianmu. Aku cuma ingin bermimpi tentang Mekkah. Sudah ribuan kali aku membayangkan diriku melintasi padang pasir, tiba di Ka'bah, mengelilinginya tujuh kali sebelum menyentuhnya. Sudah kubayangkan orang-orang yang ada di sampingku, di depanku, dan percakapan-percakapan serta doa-doa yang akan kami panjatkan bersama-sama. Tapi aku takut semuanya mengecewakan, jadi aku memilih mengangan-angankannya saja."

Relevansinya sama saya?? Saya masih bingung, apakah saya ini si pedagang atau Santiago, si anak gembala. Saat mimpi itu rasanya sudah begitu dekat, saya takut... takut semuanya mengecewakan, bagaimana jika saat mimpi mewujud, ternyata bukan itu yang saya inginkan.. Tapi.. bagaimana saya tau? Bagaimana jika ternyata saat mimpi menjadi kenyataan adalah saat yang membuat saya merasa bahagia?!  

Mainstream ;p

Beberapa hari yang lalu, ngobrol dengan salah satu rekan kerja, salah satu pengalaman yang beliau ceritakan adalah mengenai kesan-kesannya saat bekerja dengan lulusan apoteker dan atau lulusan farmasi (demi efisiensi, di sini kita anggap aja sama ya?! ;p), menurut pengamatan beliau katanya kebanyakan lulusan farmasi perfeksionis. Ah masa sih? Jadi, begini salah satu pengalaman beliau di tempat kerjanya dulu, pernah temannya (yang lulusan farmasi, tentu saja ;p) marah-marah gara-gara ada yang minjem tape (radio) dari mejanya, dikembalikan siy, tapi tidak kembali ke posisinya semula. Eh, kok ceritanya familiar ya?! Hihi, jadi pengin ketawa sendiri, soalnya klo mau jujur, saya juga suka begitu (maksudnya, suka kesal karena barangnya ada yang ngotak-ngatik dan ngga dikembaliin ke posisi semula ;p), meskipun setidaknya saya ngga marah-marah. Jadi, saya bisa maklum klo ada orang yang ngga suka barang-barangnya ada yang mengoprek. Kalo gitu, saya mengkonfirmasi pengamatan beliau ya?!

Monday, December 26, 2011

Caper Semarang - Bagian Satu

Saat bercerita tentang rencana kepergian ke Semarang, rata-rata orang (yang saya ajak cerita, tentu saja ;p) menanyakan hal yang sama. 'Ke Semarang? Memang ada apa di Semarang?' Iya ya, ada apa sih di Semarang? Yah, niat awalnya siy memang bukan sengaja mau jalan-jalan di Semarang, tadinya kami cuma mau numpang lewat aja, tujuan kami adalah Karimun Jawa (KarJaw). Tapi naasnya, kami tidak berhasil dapet tiket feri dari Semarang, sementara tiket kereta Bandung-Semarang-Bandung sudah di tangan (btw, OOT, sebenernya, klo mau cari penyebabnya, ini gara-gara provider trip KarJaw yang kurang sigap ngasi kepastian, tapi ya udah.. nasi sudah menjadi bubur, sekalian aja kita buat bubur komplit yang enak :D)

Kembali ke soal Semarang, sepertinya siy kota ini memang tidak seterkenal Jogja atau Bandung sebagai kota tujuan wisata (setidaknya buat saya ;p), jadi objek wisatanya juga ngga terlalu banyak. Kemarin, hari pertama, kami mengunjungi Klenteng Sam Poo Kong, Taman Margasatwa Mangkang, Lawang Sewu dan Tugu Muda, rehat makan di Kampung Laut, trus ke Maerokoco dan Pantai Marina, kemudian sholat Maghrib dan Isya di Mesjid Agung Jawa Tengah. Trus, hari kedua, kami mengunjungi Borobudur, aja - soalnya perjalanan Semarang-Magelang ternyata cukup makan waktu, trus belanja-belanja oleh-oleh dan langsung ke Stasiun setelah mampir sebentar ke Gereja Blenduk. Overall, saya puas jalan-jalan di Semarang :D Nah, itu overviewnya.. di bawah ini cerita lengkapnya (yah, selengkap yang ingatan saya mampu simpan ;p)

Bandung-Semarang

Kami berangkat ke Semarang menumpang kereta api Harina jam 20.30 dari Stasiun Bandung. Rute kereta cukup unik (buat saya yang jarang naik kereta), soalnya ternyata arahnya ngga langsung ke timur, tapi ke barat dulu, kaya mau ke Jakarta. Begitu sampai di Cikampek, barulah keretanya di arahkan ke timur, tapi ke utara (arah Cirebon, kayanya), bukan ke selatan kaya mau ke Yogya atau Surabaya. Di Cikampek, lokomotifnya dipindah ke ujung yang lain, jadi misalkan dari Bandung ke Cikampek kita bergerak maju, berarti dari Cikampek ke Semarang kita bergerak mundur. Perjalanannya lancar, berhubung malam, jadi ngga ada pemandangan yang bisa dinikmati dari jendela, lagian saya kebagian duduk di kursi lorong, dan mengingat tujuan kami pergi adalah buat jalan, maka perjalanan ini saya manfaatkan buat tidur sebanyak mungkin :)

Semarang, hari pertama

Sekitar jam lima lewat, kereta kami sampai di Stasiun Semarangtawang. Turun kereta, kami mengantri buat pipis di toilet gratis (asiiik!! gratis ;p) dan sholat Subuh. Jam enam, kami sudah meluncur dengan mobil yang sudah kami sewa buat jalan selama di sini. Tujuan pertama adalah mencari sarapan. Pengemudi yang menemani kami namanya Pak Bagyo (atau Bagio, ya?!), bapaknya sudah lumayan berumur, penampakannya kalem dan menurut saya, beliau ini sabar sekali (mengingat kami-kami ini yang harus beliau hadapi ;p). Nah, atas petunjuk beliau, kami sarapan di Jl. Thamrin, di Soto Ayam Pak Darno. Soto Ayam Pak Darno ini disajikan di dalam mangkuk kecil (awalnya saya pikir, kok porsinya kecil amat siy?!), trus di mejanya disediakan lauk seperti sate telur, sate kerang, sate usus, perkedel kentang, tempe goreng, tahu goreng, dan kerupuk. Setelah dimakan, ternyata porsinya memang pas (buat saya ;p), kalo rasanya siy biasa aja, enak, tapi bukan enak banget, ya biasa aja, yang jelas waktu itu cuacanya udah panas (padahal masih pagi), dikombinasi sama makan kuah soto yang panas dan teh panas, ya jadinya panas pangkat tiga.


Soto Ayam Pak Darno
Beres sarapan, sekitar jam 6.45, kami menuju Lawang Sewu, tapi ternyata belum dibuka (bukanya mulai jam 7), maka kami pun menuju Klenteng Sam Poo Kong. Untuk masuk klenteng, tiket masuknya tiga ribu rupiah per orang, itu buat keliling-keliling di lapangan depannya, kalo mau masuk ke klentengnya, mesti bayar lagi duapuluh ribu. Klenteng ini adalah salah satu tempat ibadah orang-orang Kong Hu Cu di Semarang, katanya dulu merupakan tempat persinggahan Laksamana Agung Zheng He (atau yang kita kenal dengan nama Laksamana Cheng Ho). Arsitekturnya keren, warna bangunan yang didominasi warna merah kontras banget dengan warna biru langit yang saat itu cerah ceria, puas deh foto-foto alakadarnya di sini. Saya belum pernah ke klenteng sebelumnya, apalagi ke Cina, jadi saya ngga bisa mendeskripsikan kalo kunjungan ini membuat saya merasa ada di Cina :) Sempet baca papan pengumuman yang memuat informasi jadwal acara sembahyang, trus di situ ada tulisan salah satu acara ritualnya berupa paket sesajen bersama, yang dapat dipesan seharga duaratus ribu per paket. Saya pikir, wah, mahal juga ya, buat beribadah aja mesti bayar. Puas mengambil gambar dan berkeringat sampe berasa dehidrasi (padahal masih jam delapan pagi loh!!), kami bergegas menuju lokasi berikutnya.

Klenteng Sam Poo Kong
Dari Sam Poo Kong, atas saran Pak Bagyo (lagi), kami meluncur ke Taman Margasatwa Mangkang (demi kepraktisan, kita singkat jadi TMM), perjalanan ke sini melewati terminal Mangkang (mungkin Leuwipanjang atau Cicaheum-nya Bandung). Karena cuma lewat, kami hanya bisa melihat bagian depannya saja, kesimpulan kami, terminalnya bagus deh, besar, terawat dan tampak teratur, sangat berbeda dengan terminal di Bandung (biasa lah ya, rumput tetangga selalu lebih hijau ;p). Masuk ke kawasan TMM, tempatnya ngga terlalu rame, di depannya ada keterangan kalo di situ juga ada Waterboom. Kami ngga ke waterboom, tapi ke TMM-nya aja, bayar tiket masuknya cukup limaribu rupiah per orang (tarif ini berlaku sepanjang tahun, kecuali seminggu setelah lebaran, tarifnya jadi tujuhribu limaratus). Murah ya?! Dalam hati udah waspada aja bakal melihat pemandangan mengenaskan binatang-binatang dalam kurungan yang dirawat alakadarnya, di Kebun Binatang Bandung aja, yang tarif masuknya lebih mahal, binatangnya terlihat merana begitu, kok kayanya masa depan mereka suram banget :( [ada buku yang membahas sedikit soal dunia perkebunbinatangan ini, udah baca Life of Pi? Nanti deh saya ceritain terpisah ;D]


TMM ini areanya cukup luas (persisnya? silakan cari tau sendiri ya ;p), koleksi binatangnya ngga terlalu banyak sepertinya, dan ngga banyak yang aneh sih. Jadinya, kunjungannya agak garing (ditambah kenyataan udaranya yang panas banget!!). Di sini kami sempet naik gajah (ceritanya biar berasa di Thailand), cukup bayar limaribu rupiah buat pengalaman menunggang gajah selama kurang lebih lima menit (kayanya). Oh ya, sesuai dugaan, nasib binatang-binatang di sini juga sepertinya ngga terlalu bahagia, sangkar elangnya terlihat kotor dan menurut saya kekecilan (ukurannya mungkin sekitar 5 x 5 x 5 m), kasian deh elangnya, ngga bisa memenuhi fitrahnya untuk terbang tinggi, mereka cuma bisa terbang pendek-pendek begitu, mana seru.. trus ada juga landak yang ditempatkan di semacam bak yang dasarnya berlapis acian semen, ada juga harimau dan singa yang ditempatkan di kandang individual, interior kandangnya minimalis banget, ngga ada benda apa pun yang bisa dijadikan tempat main atau apa gitu (kebayang deh bosennya mereka, hidup di kandang yang begitu). Nah, yang paling ajaib (buat saya) adalah kandang ular, berupa bangunan persegi dengan taman di tengahnya, trus di tiap sudut ada pintu, awalnya saya ngga paham maksud pintu itu, eh, ternyata itu maksudnya kandang ular. Pintu berupa kaca transparan yang agak kucel setinggi pintu normal, saat saya melongok ke dalamnya, ternyata di dalamnya ada ular (kebanyakan siy ular phyton sepertinya), ada yang sendiri, ada juga yang dua atau tiga ekor per kandang. Kandang ular juga sama minimalis dengan kandang harimau, padahal biasanya kan suka ada dahan pohon atau semacamnya buat sang ular pasang aksi, di sini ularnya teronggok begitu saja di lantai semen. Di tamannya ada juga ular atraksi buat foto bareng, bayarnya sepuluhribu. Trus, yang paling ajaib, di pinggir taman, ada semacam gua kecil dari semen yang ternyata dihuni seekor ular, ularnya melingkar begitu saja tanpa pembatas apa-apa. Tempatnya siy memang di pinggir, nggak akan terganggu oleh pengunjung yang hilir-mudik, tapi tetep aja sereem.

Kandang Elang Hitam

Dari TMM, kami menuju Lawang Sewu, gedung seribu pintu!!! 

bersambung... (sequel in process, silakan menunggu kalo penasaran, kalo ngga, ya udah ;p)



Thursday, December 22, 2011

Episode menghibur diri

Saya tidak pandai bercerita, makanya kalo mau nulis, saya selalu bingung mau nulis soal apa. Biasanya, ide-ide buat nulis muncul saat saya sudah bersiap untuk tidur, waktu lagi cari posisi yang nyaman, dan otak secara tidak sadar merangkum kilasan-kilasan kejadian yang sudah dialami hari itu. Jika menuruti kehendak hati, mestinya saya bangun, menyalakan lampu, dan mulai menulis, tapi logika saya mencegah, karena saya tau besok saya harus bangun pagi dan jika saya menuruti keinginan hati, yaitu menulis, saya akan menghabiskan malam dengan begadang. Meskipun begadang boleh saja jika ada perlunya, tapi keperluan saya untuk bangun pagi dan tampak, setidaknya agak, segar di pagi keesokan harinya lebih mendesak. Jadi.. pada akhirnya, saya memutuskan untuk tetap di posisi dan menyimpan ide yang muncul untuk ditulis keesokan harinya atau saat lebih memungkinkan. Sayangnya, ide itu cenderung raib saat saya berusaha mengingatnya, makanya sekarang saya punya strategi baru, saat ide muncul, saya akan mencatat ide itu di ponsel. Eh, tapi ternyata itu juga belum terlalu berhasil, soalnya saat saya baca, saya tetap saja lupa, bagian apa dari ide itu yang awalnya saya mau tulis. Heuuu.. ngga penting ya?! Tapi ini cerita juga kan?! Setidaknya saya sudah menuliskan satu paragraf, jadi bisa dianggap prestasi lah ya, buat pencerita dan penulis amatir macam saya :)

Monday, December 19, 2011

Sok tau!!!

Kata-kata di atas tercetus saat saya dan teman-teman saya ngobrol soal psikolog. Latar belakangnya adalah cerita soal tulisan saya yang rapi itu (bener deh, percayalah :D) yang membuat teman kerja saya (yang dulu merekrut saya) awalnya mengira kalo saya menderita OCD (menurut pengakuannya belum lama ini ;p).

Psikolog sok tau. Benarkah? Terlepas kebenaran atau ketidakbenaran pernyataan itu, mari kita lihat KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia – saya sedang suka dengan buku ini, sangat informatif). Menurut KBBI, psikolog adalah ahli psikologi (kata 4L@y, ea ealaah), sama seperti arkeolog adalah ahli arkeologi, atau ginekolog adalah ahli ginekologi (farmakolog adalah ahli farmasi – bukan ahli farmakologi ;p, biolog ternyata tidak ada di KBBI, dan monolog tentu saja tidak didefinisikan sebagai ahli monologi, dan katalog bukan berarti ahli katalogi – setidaknya untuk saat ini, karena seperti kita semua telah ketahui, bahasa, sebagai produk kebudayaan akan berkembang seiring perkembangan manusia penggunanya, jadi siapa tau di masa depan, akan ada perubahan atau istilah baru :p). 

Selanjutnya, mari kita lihat psikologi, arkeologi, dan ginekologi. Psikologi adalah ilmu yang berkaitan dengan proses mental baik normal maupun abnormal dan pengaruhnya terhadap perilaku; atau ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan jiwa. Arkeologi adalah ilmu tentang kehidupan dan kebudayaan zaman kuno berdasarkan peninggalannya, seperti patung dan perkakas rumah tangga; atau ilmu purbakala. Sedangkan ginekologi, menurut KBBI, adalah ilmu kedokteran yang berkenaan dengan fungsi alat tubuh dan penyakit khusus pada wanita. 

Perbedaan yang mencolok dari psikologi, dibandingkan dengan ilmu lain, menurut saya, adalah sifat dari objek yang dipelajarinya, yaitu mental atau jiwa manusia, sesuatu yang saya pikir tidak pernah benar-benar dipahami sepenuhnya, bahkan oleh manusia itu sendiri. Dan yang utama, manusia dapat berkomunikasi dan mengungkapkan pikirannya saat penilaian atau observasi terhadap dirinya bertentangan atau sesuai dengan kondisi mentalnya saat itu. Secara sederhana, manusia bisa mengungkapkan protes, keberatan, melawan, atau pun menyetujui penilaian yang disematkan kepadanya.

Lain halnya dengan penyakit, binatang, batuan, langit, laut, gunung, dsb., saat kita mempelajarinya dan menerapkan teori apa pun untuk menjelaskan objek tersebut, salah atau pun benar, objek tersebut tidak akan protes atau setuju. Misalnya, seekor kera bekantan diidentifikasi sebagai siamang, apakah kera tersebut akan protes? Tidak, dia tidak peduli identifikasi manusia atas dirinya, identitas sebagai siamang yang diberikan manusia tidak akan pernah mengganggu ke-bekantan-annya. Atau, batu andesit disebut sebagai batu tuft, itu juga tidak akan memengaruhi ke-andesit-an batu tersebut. Siapakah yang protes? Betul sekali, manusia (selain pelaku identifikasi absurd tersebut). Jadi, intinya, cuma manusia yang bisa protes, hanya manusia yang memiliki kesadaran identitas dirinya sebagai manusia, identitas bekantan, atau identitas batu andesit :D

Manusia, dengan individualitasnya dan cara berpikir yang unik, tidak pernah sama, jangankan dengan orang lain, dengan dirinya sendiri pun, manusia tidak pernah sama, disadari atau tidak, manusia selalu berubah. Terlalu banyak variabel dalam seorang manusia yang membuatnya tidak mungkin untuk disamakan atau diserupakan dengan manusia lain. Dengan kata lain, menurut saya, mental manusia itu mirip phi (π) dalam matematika, tidak ada rumus atau persamaan yang bisa mendefinisikan dengan tepat. Bila diibaratkan sebagai π (mental manusia), semua persamaan (ilmu psikologi) hanya dapat mendekati, bisa saja sangat dekat hingga benar-benar dekat, tetapi tidak pernah mampu untuk menyentuh nilai benarnya. Itulah sebabnya, diagnosis psikologi tidak akan pernah berlaku pada SEMUA manusia. Dan itulah, mungkin, alasan mengapa psikolog dianggap sok tau :)

*KBBI yang digunakan di sini adalah KBBIAndroid 2.1 by yuku 2009-2010, www.kejut.com/kbbimobile. Data kamus Hak Cipta © 2008 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, v2.1 (12)

Caper Semeru – edisi nostalgia (bagian 1)


Menjelang akhir tahun 2009, di saat sedang amat sangat bukan kepalang bosan dengan rutinitas pekerjaan yang monoton dan nyaris menjerumuskan saya menjadi pekerja magabut (makan gaji buta) absolut, saya mengukir sejarah dalam hidup, dengan menginjakkan kaki (disertai anggota tubuh lainnya tentu saja ;p) di tanah tertinggi Pulau Jawa, Semeru, 3.676 mdpl. Sebagai informasi, saat itu di kaki Semeru sedang heboh banjir lahar dingin dan cuaca buruk, sehingga diberitakan bahwa Semeru ditutup dari segala kegiatan pendakian.

Malam tanggal 23 Desember, saya berjodoh bertemu online dengan seorang teman yang akhir-akhir itu sedang semangat merencanakan perjalanan ke sana. Saya tanya soal rencananya itu – yang ternyata tetep jalan, biarpun katanya tujuan perjalanannya jadi cukup sampe Ranu Kumbolo. Sejak sebelumnya, saya udah pengin banget ikut, jadi waktu dia ngajakin, tanpa ragu saya bilang hayu, meskipun ngga punya cukup persiapan, pengalaman, dan peralatan, mengingat perginya tinggal dua hari lagi.

Setelah positif ikut, saya sempet ngintip-ngintip di web soal pendakian ke Semeru. Agak serem juga waktu baca keterangan soal beberapa orang yang berpulang di sana. Tapi, saya ditenangkan dengan keterangan lain yang menyatakan kalo kematian ini merupakan risiko yang dapat dihindari selama kita melakukan pendakian secara aman dan mengikuti jalur pendakian yang sudah ada.

Jumat malam, saya dan lima teman, kami berenam (empat laki-laki, dua perempuan) berangkat menuju Malang menggunakan kereta api ekonomi dari Stasiun Kiaracondong. Sebelumnya, kumpul dulu di Mesjid Salman, sekalian briefing seperlunya. Bada Maghrib, kami meluncur di tengah hujan deras menuju Stasiun Kiaracondong. Berhubung belum pernah naik kereta api ekonomi, apalagi yang tujuan Jawa, pengalaman berdesakan dan rebutan tempat duduk jadi petualangan tersendiri. Seruuu!!! Kalo mau tau perjalanan sudah sampe mana, kita bisa tau dari bahasa dan logat bapak-ibu-mas-mbak yang berjualan. Trus, mesti banyak berhenti, soalnya kelas ekonomi pasti harus mengalah dengan kereta kelas bisnis dan eksekutif, Indonesia banget lah pokoknya :p Makanya, perjalanan kereta lumayan lama, tengah malam kami baru sampai di Tasik, di sini saya terbangun dengan aroma mie rebus pake telur yang dimakan oleh bapak-bapak yang duduk di depan saya. Pagi, kami tiba di Yogya, berhenti sebentar di stasiun Lempuyangan, bukan di Stasiun Tugu, di sini kami sarapan nasi pecel yang asli murah banget, trus di Kediri (klo ga salah inget) ganti kereta jurusan Malang, dan sekitar jam 4 sore, tibalah kami di Malang. Dari stasiun, kami naik angkot ke Tumpang, lupa jaraknya seberapa jauh, yang jelas, waktu itu saya berpikir lumayan murah juga tarif angkot di Malang, dibanding tarif angkot di Bandung. Di sini ada satu teman lain yang bergabung, jadilah kami bertujuh menuju Tumpang.

Saat tiba di Malang
Kami tiba di Tumpang sekitar Maghrib atau Isya, belanja-belanja lagi bahan makanan, sholat, trus nungguin temen yang sedang tawar-menawar tarif mobil Land Rover yang akan mengangkut kita ke Ranupani, basecamp untuk naik ke Semeru. Sambil nunggu, kami makan martabak telor yang dibeli temen saya, katanya dalam rangka merayakan ulang tahun saya. Hehe, ketauan deh ;p Saat mencari tempat untuk sholat, kami tiba di depan suatu bangunan mesjid yang cukup megah, tapi lampunya mati dan gerbangnya terkunci. Di sini saya baru tau kalo mesjid ternyata dikunci juga ya?! Soalnya kan kalo di film atau sinetron, musafir yang kemalaman di jalan biasanya tidur di mesjid, wah, naifnya diriku.. Akhirnya, kami sholat di mushola kantor kelurahan yang ada di sebelah mesjid itu, untunglah musholanya ngga dikunci juga :) Di sini (Tumpang, maksudnya), kami juga bertemu dengan rombongan mahasiswa dari UPI yang baru turun gunung, senangnya!! Apalagi diantara mereka terselip dua orang perempuan yang berukuran sama dengan saya dan mendengar cerita mereka yang sukses sampai puncak. Saya pikir, kalo mereka bisa, saya juga pasti bisa dong!! Oh, btw, saat itu saya baru tau bagaimana senangnya ketemu dengan orang sedaerah di daerah lain, soalnya pergi ke daerah lain adalah pengalaman yang baru buat saya :) (ngerti ngga?! Kok bahasanya tampak ribet ya?!)

Usai berkemas ulang (temen saya yang berkemas, soalnya carrier bag-nya paling besar, dan secara sepihak, kami mengangkat dia sebagai penanggung logistik – betul, penanggung, bukan penanggung jawab, ;p Jadi bahan makanan yang baru dibeli mayoritas masuk tasnya dia, hehe – di saat seperti ini saya senang jadi perempuan, emansipasi?? apa itu ya? ;p Lagipula, menurut artikel yang pernah saya baca, beban maksimal yang dibawa seseorang sebaiknya tidak melebihi sepertiga berat tubuhnya – justifikasi kedua ;p), perjalanan dilanjutkan, kali ini naik Land Rover. 

Land Rover yang mengantarkan kami dari Tumpang ke Ranu Pani
Awalnya, kami menempuh jalan yang cukup lebar dan menanjak, di sisi kiri dan kanan jalan samar-samar kami lihat banyak pohon apel (oooh.. apel Malang!!). Jalan terus menanjak, berkelok dan menyempit, setelah sekitar satu jam lebih, kami sampai di Ranupani, bongkar-muat ransel dan menuju satu rumah yang sepertinya berfungsi sebagai penampungan para pendaki. Di rumah itu, ada banyak pendaki yang baru turun atau akan naik (seperti kami) berkumpul, kebanyakan sudah tidur, tapi ada juga yang akan berangkat mendaki saat itu juga. Berhubung kami cukup lelah, kami memutuskan pendakian dimulai besok pagi dan sebaiknya segera tidur saja. Maka, setelah membersihkan diri secukupnya, kami mencari area yang cukup luas untuk tempat tidur, buka sleeping bag, dan tidak sadarkan diri dalam sekejap.

Beginilah kami tidur :)
Keesokan paginya…. Setelah melaporkan diri akan melakukan pendakian dengan membayar biaya asuransi dan menyerahkan salinan KTP, teman saya – yang bertindak sebagai pemimpin tidak resmi, menyampaikan kalo perjalanan ini akan ditargetkan untuk sampai ke puncak. Loh?? Kok bisa, bukannya dilarang? Ternyata, memang dilarang sih, tapi kalo mau sampai di puncak dipersilakan saja sama petugasnya, dengan catatan risiko yang terjadi di luar tanggung jawab dari pengelolan Taman Nasional BTS (Bromo Tengger Semeru) begitu kata petugasnya. Jadi, kami sepakat dan setuju untuk menargetkan sampai puncak. Horeee!!! (sambil deg-degan ;p)
Rute Pendakian Semeru

Sunday, December 18, 2011

special agenda

menjelang pergantian tahun masehi, sepertinya kebanyakan orang-orang (setidaknya yang saya kenal), sudah merencanakan kegiatan yang akan mereka lakukan untuk mengisi peristiwa bersejarah yang hanya terjadi satu kali dalam satu tahun itu. acaranya bisa berupa bepergian (ke pantai, ke gunung, dll.) atau mungkin sekadar mengadakan acara makan-makan bersama. 

bagaimana dengan saya? (ada yang mau tau?!) eh, ternyata ada loh - yang mau tau, maksudnya - jadi terharu ;p meskipun saya tidak tau pasti apa yang mendasari keingintahuan ini. ditanya begini, saya jadi bingung sendiri, memangnya buat menghadapi tahun baru harus punya acara khusus, ya? toh, tahun akan tetap berganti, terlepas apakah kita merayakannya atau tidak.. kan??? ngga tau deh, mungkin saya memang bukan tipe individu yang suka merayakan dan suka keramaian. jadi, tahun baru nanti? buat saya artinya nonton film di tv (yang biasanya suka bagus-bagus) atau mungkin nonton dvd yang masih ngantri atau tidur awal disertai kemungkinan kecil terbangun di tengah malam oleh suara terompet yang ditiup (secara lokasi rumah ada di pemukiman padat) dan terbangun keesokan harinya, trus ganti kalender deh, kalo inget dan melakukan apa pun yang akan dilakukan saat itu, entahlah.. 


episode upik abu

bagi pekerja terikat waktu semacam saya ini, akhir minggu berarti menyelesaikan pekerjaan rumah yang terakumulasi; mencuci dan menyetrika - menjadi upik abu. tadi juga begitu, untungnya kemarin saya diberi kesadaran untuk mencicil cucian setelah pulang kantor, jadi tadi pekerjaan yang tersisa adalah menyetrika. biasanya, saat nyetrika paling enak sambil ngopi ditambah cemilan (kondisional, jika memang sedang ada cemilan) dan nonton tv tentu saja. tadi siang, nonton acaranya edwin lau untuk kedua kalinya, kali ini ngebahas midlife-crisis, yang biasanya terjadi saat seseorang berusia sekitar 40-an. nah, ada bagian paling menarik (buat saya ;p) yang dikatakan sang narasumber - lupa namanya siapa (agak-agak berbau India, wajahnya juga), katanya secara genetik usia manusia itu sampai 140 tahun, jadi sebenarnya usia 40-an itu adalah masa untuk manusia matang dan dewasa secara emosi. itulah, jadi wajar jika usia under-40, kita-kita ini masih naik-turun - meminjam istilah alay yang sedang in, galau ;p

selepas nonton edwin lau, karena setrikaannya masih juga belum selesai - secara banyak selingannya ;p, saya lanjut lagi menonton acara-acara jalan-jalan yang sambung-menyambung. mulai dari acara kuliner di semarang, lanjut nonton acara bisnis kuliner di solo, bertualang di ternate, dan puncaknya, yang membuat saya mupeng, nonton indonesia exploride, acara petualangan keliling indonesia menggunakan sepeda motor. tadi, rutenya mulai dari kilometer 0 di ujung paling barat indonesia, pulau weh, kemudian menyeberang ke sibolga, lanjut menyebrang lagi ke nias (apa sebaliknya ya? lupa ;p), lalu ke bukittinggi dan padang.. dan acara pun berakhir, setelah promo episode selanjutnya mereka akan menyeberang ke kalimantan. sementara itu, setrikaan saya masih belum juga selesai... akhirnya selesai juga sih, menjelang maghrib.. alhamdulillah, hari ini saya merasa produktif :D

Friday, December 16, 2011

The Sequel


Membuat sequel ternyata emang susah ya,, pantesan aja film-film sequel rata-rata sulit menyaingi film pendahulunya, ada ekspektasi untuk melebihi pencapaian sebelumnya. Mungkin ini juga alasan Sadeq Hedayat sang penulis The Blind Owl itu bunuh diri - kalo bukan karena depresi duluan. Lupa siy cerita inti buku ini soal apa, tapi saya inget nuansanya memang gelap dan membuat depresi (makanya saya selesaikan cepet-cepet baca buku itu ;p).

Anyway, menyambung racauan sebelumnya..... 


Energi alternatif (maksud alternatif di sini yang asalnya bukan fosil) sebetulnya sudah dimanfaatkan juga kok, tapi mungkin di negara kita masih belum optimal. Misalnya, energi panas bumi. Posisi Indonesia yang ada di antara tiga lempeng (lempeng Eurasia, Pasifik, dan Indo-Australia) membuatnya berada tepat di sabuk gunung berapi, ga cuma satu, tapi dua sabuk.. Keren ya, Indonesia?! Keberadaan gunung api-gunung api ini berarti potensi panas bumi yang besar. Gimana ceritanya? Kalo ga salah inget, begini.. Masih ingatkah lapisan bumi kita? Inti bumi yang amat sangat bukan main superpanas itu menyebabkan lempeng-lempeng ini bergerak, rata-rata 5-12 cm per tahun, atau setebal rambut per hari. Ketika lempeng tersebut bertabrakan, lempeng yang lebih berat, yaitu lempeng Samudra, akan menghujam ke bawah lempeng Benua - yang lebih ringan. Lempeng Samudra ini di kedalaman tertentu akan mencair (meleleh karena tercelup ke mantel bumi) menjadi apa yang kita sebut magma. Magma tersebut bersama uap air dan gas-gas panas akan naik melalui rekahan vertikal pada kerak bumi, dan menjadi lava saat keluar ke permukaan. Makanya, dengan banyaknya gunung api yang kita miliki, cadangan energi panas bumi Indonesia juga melimpah dan baru dimanfaatkan sekitar 20% (klo ga salah) dari total potensi yang ada.



Lanjut soal urbanisasi, kalo buat saya siy ini semacam kesadaran baru. Apakah urbanisasi itu? Menurut KBBI, urbanisasi adalah perpindahan secara berduyun-duyun dari desa (kota kecil, daerah) ke kota besar (pusat pemerintahan), atau perubahan sifat suatu tempat dari suasana (cara hidup, dsb.) desa ke suasana kota. Dulu, zaman sekolah, saya diajari kalo urbanisasi itu nggak bagus, program pemerintah adalah pemerataan penduduk, makanya ada yang namanya program transmigrasi. Dulu kesan yang saya tangkap adalah pemerataan penduduk artinya pemerataan pembangunan. Tapi.. sekarang pikiran saya berubah. Jadi, apakah urbanisasi itu buruk? Logikanya, saat manusia terpusat pada suatu lokasi, maka segala aktivitasnya juga terlokalisasi, kegiatan manusia yang dilakukan terpusat akan meningkatkan efisiensi. Secara mikro, yah bayangin aja, akan lebih mudah kan kalo dari rumah kita tinggal jalan kaki atau naik sepeda ke tempat kerja, ke tempat hang-out, ke tempat makan, ke tempat rekreasi, dsb. Ini juga artinya lebih hemat energi karena kita ga perlu bepergian pake kendaraan yang pastinya berbahan bakar energi fosil itu, yang artinya akan mengurangi polusi udara juga... truuus, lahan yang digunakan juga menjadi lebih minim. Dengan pertumbuhan penduduk seperti sekarang ini, sementara lahannya segitu-segitu aja, sudah saatnya kalo pembangunan kota tidak lagi berbasis mobil, tapi lift!! Selain itu, yang lebih keren lagi, adalah urbanisasi berarti lokalisasi pencemaran juga, jadi area yang terpolusi akan lebih sedikit. Bagus kan?! Ngga percaya? Nah, contoh nyata yang pernah saya baca, program transmigrasi penduduk Jawa ke Sulawesi menyebabkan danau di Sulawesi yang sebelumnya terpelihara menjadi tercemar. Jadi, sebelum ada transmigran, danau itu dikeramatkan, jadi masyarakat dilarang melakukan aktivitas MCK di danau (di sini juga udah ada kebijaksanaan masyarakat dulu, suatu area dinyatakan keramat atau semacamnya, klo dikaji secara ilmiah kan maksudnya konservasi. Tuh kan, orang zaman dulu aja udah ngerti?!). Dan kemudian, datanglah transmigran-transmigran itu – yang kurang dibekali dengan wawasan lingkungan apalagi penghayatan tradisi lokal, mereka yang jelas-jelas punya latar belakang budaya dan tradisi berbeda dengan masyarakat lokal, tentu saja ngga menganggap pelarangan itu. Transmigran taunya mereka akan mendapat rumah dan dua hektar tanah untuk dikelola sesuka hati mereka masing-masing. Alhasil, mereka gunakanlah air danau itu untuk MCK dan aktivitas sehari-hari, maka sang danau pun tercemar dengan sukses.

Nah, bagaimana dengan kenyataan kalo kota besar juga bermasalah, mulai dari pemukiman kumuh, pengangguran, kriminalitas, dsb.? Well, masalah-masalah ini sebenarnya bukan akibat dari urbanisasi, tapi tata kelola kota itu sendiri yang ngga mampu menampung penduduk di dalamnya. Jadi, saat urbanisasi menciptakan masalah, itu artinya ada yang salah dengan penyelenggaraan kota tersebut.

Dengan tantangan-tantangan di atas, buat saya, rasanya sulit untuk mencerna kalo manusia itu makhluk yang paling mulia, paling cerdas, khalifah dan pewaris utama dunia ini.. I just feel hopeless and helpless.. Akankah kita mampu menjadikan dunia ini lebih baik?!

*maaf ya kalo udah ada yang cape-cape baca dan tidak mendapatkan pencerahan apapun dari racauan di atas - i've warned you, haven't i????!!!

Wednesday, December 14, 2011

Jangan dibaca!! GTT


Sudah lebih dari 4 tahun saya langganan NGI, awalnya siy tertarik dengan diskon langganan yang cukup besar ditambah hadiah gratisannya. Dulu diskonnya sama besar, mau langganan 1 tahun, 2 tahun, atau 3 tahun, semuanya diskon 40%. Kalo sekarang siy ngga, untuk yang 3 tahun, diskonnya 33.33%. FYI aja siy, soalnya bukan itu yang mau saya ceritain.

Di awal-awal kemunculannya, artikel-artikel yang dimuat masih kental dengan nuansa terjemahan, tapi makin ke sini udah ngga, terjemahannya makin bagus, trus ada artikel-artikel dalam negeri juga, jadi isu-isu yang diangkatnya lebih Indonesia. Soal isu yang diangkat, ada beberapa tema yang lebih berkesan dan nyangkut di otak untuk beberapa lama, misalnya nih..

soal polusi cahaya,

tau kan zaman sekarang gimana hebohnya penerangan di kota, apalagi di kota besar, dengan banyaknya papan reklame raksasa, gedung pencakar langit, mall, dsb., kadang-kadang malam hari jadi ngga berasa malam, saking terang benderang!! Nah, gara-gara ini, rute migrasi ribuan burung jadi terganggu, banyak juga yang mati.. untuk mengatasi ini, mestinya kita manusia lebih bertanggung jawab dengan teknologi yang kita gunakan, idenya siy, pencahayaan yang digunakan boleh terang, tapi tidak mencemari langit.

soal kecerdasan primata,

jadi, ceritanya kan monyet itu dekat kekerabatannya dengan manusia, tapi para ahli zaman dulu berteori kalo manusia lebih unggul dari monyet karena satu ciri yang dimiliki manusia dan tidak dimiliki monyet, yaitu manusia bisa menggunakan perkakas atau alat bantu untuk mendapat makanan. Teori ini bertahan dan diyakini begitu lama sampe akhirnya ada peneliti simpanse yang membuktikan bahwa monyet juga bisa menggunakan alat bantu. Keren kan?!

soal krisis pangan, krisis air, energi alternatif, dan yang paling baru, soal urbanisasi.

Tema di atas sebenernya dibahas sendiri-sendiri, meskipun masih saling berhubungan. Semenjak angka harapan hidup manusia meningkat secara signifikan berkat berbagai kemajuan yang terjadi, diantaranya perbaikan sanitasi, penemuan obat-obatan untuk infeksi, dll., akibatnya, populasi dunia juga makin bertambah. Pertambahan populasi ini berarti peningkatan kebutuhan pangan, air, dan energi.

Soal pangan, pertambahan manusia berarti pertambahan kebutuhan pangan, artinya dunia mesti menyediakan pangan dalam jumlah yang lebih banyak, harus ada peningkatan produksi. Sementara, di sisi lain, pertambahan manusia juga berarti pertambahan pemanfaatan lahan untuk aktivitas manusia, akibatnya lahan untuk produksi pangan jadi berkurang. Paradoks ngga siih?! Jadi, mesti ada peningkatan produktivitas juga, harus dicari gimana caranya supaya luas lahan pertanian yang lebih kecil bisa menghasilkan pangan yang lebih banyak. Nah, di sini juga ada komplikasi lain, sistem pertanian yang sekarang-sekarang berlaku (klo di Indonesia siy mungkin semenjak masa Orde Baru) juga ternyata punya masalah sendiri. Kombinasi penggunaan pupuk sintetis dan kecenderungan untuk bertani sistem monokultur, trus bibit padi hasil rekayasa genetik, awalnya memang menunjukkan peningkatan produksi, tapi produktivitas ini juga ada masanya. Setelah periode waktu tertentu, tanah yang diberi pupuk sintetis akan ‘letih’ dan butuh waktu yang tidak sebentar untuk memulihkan diri. Udah gitu, penggunaan varietas unggul ini juga tidak selalu berarti sesuatu yang baik. Karena petani umumnya menggunakan varietas rekayasa ini, maka varietas asli terancam punah, bukan hanya padi, ada juga kentang, tomat, dll., alhasil, keanekaragaman hayati yang kita miliki jadi berkurang.

Jadi inget, waktu belajar konsep teknologi ada istilah dialektika teknologi, yaitu suatu teknologi akan memiliki kekurangan yang memerlukan teknologi lain untuk menyelesaikannya, dan akan selalu begitu terus-menerus, lupa kata-kata persisnya, tapi kira-kira begitu kurang-lebih.

Makanya kan sekarang mulai gencar lagi (ya ngga ya?!) promosi pertanian sesuai dengan komoditas yang sudah ada di daerah tersebut. Misalnya, kalo ternyata di suatu daerah lebih mudah menanam jagung, ya berarti makanan pokok penduduk di situ ya jagung, ngga perlu dipaksakan harus nasi. Ini juga berkaitan dengan ketahanan pangan, liat kan sekarang, gara-gara penyeragaman (mungkin salah satu faktor penyebab aja sih), Indonesia hampir selalu ketar-ketir buat memenuhi kebutuhan beras nasional, alhasil, di saat produksi dalam negeri tidak cukup, ya sibuk impor deh. Kalo misalnya makanan pokok kita lebih beragam, artinya kita lebih punya banyak pilihan, jadi ngga rentan kalo misalnya ada gagal panen atau apa.

Sama dengan pangan, air juga masalahnya kurang lebih sama, tapi klo kata saya, tampak lebih parah. Air di sini, maksudnya air konsumsi, artinya air tawar. Air yang dipakai untuk kegiatan manusia sehari-hari, buat makan-minum, MCK, dan pertanian. Kalo ga salah inget, air tawar cuma 1% dari total air di bumi, sebagian ada di kutub (yang makin hari makin berkurang). Jadi, kebayang kan betapa sedikitnya air di bumi ini untuk dimanfaatkan oleh tujuh miliar penduduk dunia? Udah gitu, masih harus dikurangi juga dengan air yang tercemar. Air tanah yang dimanfaatkan juga tampak berkurang cadangannya. Air tanah berasal dari air permukaan yang meresap ke dalam tanah. Jadinya di lapisan tanah itu ada semacam reservoir air. Air inilah yang kita manfaatkan. Nah, masalahnya adalah ketika kita memanfaatkan air itu terus-menerus tanpa memikirkan keberlangsungannya. Inilah yang mengerikan menurut saya. Reservoir itu secara alami memang terisi kembali oleh air hujan yang meresap ke dalam tanah, tapi seberapa cepat? Kenyataannya, yang terjadi adalah kecepatan penggunaan lebih besar dari kecepatan reservoir untuk terisi kembali, hal ini juga diperparah oleh kenyataan kalo manusia sendiri, pihak yang paling berkepentingan, justru tidak membantu sama sekali, di lahan yang mestinya jadi area resapan air dibangun struktur-struktur beton yang tentu saja menghalangi air meresap, atau bukit dan gunung yang hutannya mestinya membantu konservasi air, justru digunakan untuk lahan pertanian. Makanya, diprediksi, kalo pada suatu waktu di masa depan (sekarang juga indikasi ke sana sudah ada kayanya), bukan tidak mungkin, perang yang terjadi akan dipicu oleh perebutan sumber air.

Sekarang soal energi, tau kan (tau lah pasti), kalo energi fosil yang sekarang kita gunakan termasuk energi tak terbarukan, yah terbarukan siy sebenernya, tapi butuh berjuta-juta tahun, dan kalo dipikir, dengan eksploitasi alam seperti sekarang, belum tentu juga nanti, berjuta tahun dari sekarang, akan ada fosil yang bisa ditemukan, secara tumbuhan yang ada sekarang juga sepertinya masih mengkhawatirkan keberadaannya. Nah, dengan berkurangnya cadangan sumber energi fosil, sekarang sudah mulai trend pemanfaatan energi alternatif, yang paling umum siy kayanya etanol dari tumbuhan, istilahnya bioetanol. Ada yang asalnya dari jagung, kentang, ganggang, dll. Awalnya, saya pikir ini ide yang keren banget, tapi ternyata ga sesederhana itu. Kalo ga salah, efisiensi produksi etanol itu ngga terlalu baik, jadi mesti ada banyak percobaan untuk optimasi, ditambah lagi, kalo ternyata hasil pertanian digunakan sebagai sumber bioetanol, artinya lahan untuk produksi bahan pangan berkurang, sementara produksi pangan juga kan ngga berlebih!!

*bersambung.. mudah-mudahan ;p* 

Caper - catatan perjalanan - Dieng (bagian satu atau bagian satu-satunya, we'll see ;p)



Minggu lalu, saya ikut komunitas Geotrek Indonesia jalan-jalan ke Dieng, setelah sekian lama absen ga ikut Geotrek. Dieng – soal tempat ini, awalnya saya cuma tau klo ini nama dataran tinggi, tapi saya nggak tau lokasi persisnya di mana, saya taunya pasti ada di Jawa, Jawa Tengah atau Jawa Timur ;p Sekarang, saya tau, Dieng itu ada di Wonosobo, Jawa Tengah :)

Berhubung sudah lumayan lama ga jalan-jalan jauh, ditambah penasaran sama tempat tujuan – iming-iming via foto sangat berhasil membuat saya mupeng tingkat tinggi, alhasil, saya daftar deh buat ikut, ga peduli daftarnya sendiri aja dan ga usaha buat nyari temen jalan juga :) Setelah beberapa kali ikut jalan-jalan begini sendiri, jadi terbiasa juga, toh pada akhirnya pas kegiatan, semua jadi saling kenal, setelah ketawa bareng, foto bareng, makan bareng, dsb.

Rombongan kami berangkat dari Balai Kota jumat malam, jadwalnya siy jam 8, tapi realisasinya sekitar jam 9. Saya datang pas-pasan jam 8, jadi waktu diminta milih tempat duduk di bis, saya kebingungan, tempat duduknya udah pada ditandain dengan tas dan barang-barang milik peserta, saya ngga tau mana kursi yang masih kosong atau yang sebenernya udah ada yang punya tapi ngga ditandain sama pemiliknya. Akhirnya, saya dapet kursi menjelang berangkat, setelah semua peserta masuk bis, saya kebagian kursi di deret paling belakang, tepat menghadap lorong, jadi ngga ada tempat buat ‘menggantungkan’ kaki. Sebelum berangkat, dapet makan malem, menunya mie goreng. Sebenernya siy ngga laper, tapi kayanya sayang kalo ga dimakan saat itu, soalnya ntar pasti bakal dapet makanan lain kan?! Kayanya kalo ga dimakan, pasti akhirnya dibuang. Makanya, pas bis baru nyampe Pasteur, wadah makanannya udah kosong – padahal ceritanya ga laper :)

Berhubung saya terbiasa tidur di kendaraan, jangankan yang rutenya antarkota antarprovinsi, yang di dalam kota aja saya seringnya tidur, jadinya ya hampir sepanjang perjalanan saya tidur. Sekitar tengah malam, bis berhenti di Banjar, saya terbangun trus turun bis deh buat pipis. Sebenernya siy ngga pengin banget pipis, tapi kalo lagi di perjalanan begini, buat saya mendingan memanfaatkan kesempatan sebaik-baiknya, daripada repot minta berhenti di tengah perjalanan gara-gara pengin pipis, not cool ;p

OOT sebentar soal pipis, kalo lagi musafir begini, suka kepikiran deh betapa ‘berharga’nya aktivitas ini. Padahal kalo di rumah, saya siy ngga begitu mikirin, kalo mau pipis ya pipis aja. Beda dengan di rest area (dalam hal ini, yang toiletnya berbayar, bukan yang gratis), toilet itu mesti bayar, ya di rumah juga sama siy, harus bayar air, tapi kan dihitungnya kumulatif, bukan per-pipis ;p Di tempat istirahat begini, umumnya tarif satu kali pipis seribu rupiah. Ngeliat jumlah orang di antrian dan jumlah toilet yang disediakan, ditambah frekuensi dan jumlah bis yang berhenti, kebayang ngga siy pendapatan pengusaha toilet rest area dalam sehari?! Kok kayanya gede ya?! Sementara investasinya kan sepertinya ngga besar, lahannya juga ngga perlu luas, yang penting lokasi – di rest area dong, tempat bis-bis berhenti, toiletnya juga ga usah bagus-bagus amat, yang penting bersih, trus suplai airnya mencukupi. Wow, sepertinya bisnis pipis ini prospektif banget ya?!

Anyway, perjalanan dilanjutkan dan begitu pun tidur saya.


Luntang Lantung

Hari ini ajaib sekali, sejak pagi, saya sudah luntang-lantung, bingung mau mengerjakan apa. Aneh juga rasanya, ga ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan, biasanya dokumen-dokumen itu datang beramai-ramai, menuntut agar segera diselesaikan. Dan sekarang.. krik..krik.. dokumen datang secara terpisah, satu per satu, tidak berombongan, dan bahkan tidak setiap hari. Alhasil, lebih banyak waktu luang untuk mengerjakan hal lain. Saya tahu, mestinya waktu luang ini dimanfaatkan seluas-luasnya untuk menambah pengetahuan dan kompetensi, banyak baca referensi, belajar sebanyak-banyaknya. Makanya, saya berusaha baca, bener deh, saya usaha kok. Tapi, bukan salah saya kan kalo ternyata bahan bacaannya malah sukses menjerumuskan saya ke dalam buaian Morpheus. Biasanya, kejadian ini bisa ditangkal oleh ransum cemilan, yang membuat mulut saya sibuk dan mungkin menambah asupan oksigen ke otak. Tapi hari ini saya sedang tidak makan. Jadi, tidak ada metode pengalihan kantuk selain dengan melakukan hal-hal yang tidak begitu penting dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan pekerjaan, semacam yang sedang saya lakukan sekarang ini :D Kalo begini, bisa dikategorikan korupsi juga ga ya?!