Sudah lebih dari 4 tahun saya
langganan NGI, awalnya siy tertarik dengan diskon langganan yang cukup besar
ditambah hadiah gratisannya. Dulu diskonnya sama besar, mau langganan 1 tahun,
2 tahun, atau 3 tahun, semuanya diskon 40%. Kalo sekarang siy ngga, untuk yang
3 tahun, diskonnya 33.33%. FYI aja siy, soalnya bukan itu yang mau saya ceritain.
Di awal-awal kemunculannya, artikel-artikel
yang dimuat masih kental dengan nuansa terjemahan, tapi makin ke sini udah
ngga, terjemahannya makin bagus, trus ada artikel-artikel dalam negeri juga,
jadi isu-isu yang diangkatnya lebih Indonesia. Soal isu yang diangkat, ada
beberapa tema yang lebih berkesan dan nyangkut di otak untuk beberapa lama,
misalnya nih..
soal polusi cahaya,
tau kan zaman sekarang gimana hebohnya penerangan di kota, apalagi di kota
besar, dengan banyaknya papan reklame raksasa, gedung pencakar langit, mall,
dsb., kadang-kadang malam hari jadi ngga berasa malam, saking terang
benderang!! Nah, gara-gara ini, rute migrasi ribuan burung jadi terganggu,
banyak juga yang mati.. untuk mengatasi ini, mestinya kita manusia lebih
bertanggung jawab dengan teknologi yang kita gunakan, idenya siy, pencahayaan
yang digunakan boleh terang, tapi tidak mencemari langit.
soal kecerdasan primata,
jadi, ceritanya kan monyet itu dekat kekerabatannya dengan manusia, tapi
para ahli zaman dulu berteori kalo manusia lebih unggul dari monyet karena satu
ciri yang dimiliki manusia dan tidak dimiliki monyet, yaitu manusia bisa
menggunakan perkakas atau alat bantu untuk mendapat makanan. Teori ini bertahan
dan diyakini begitu lama sampe akhirnya ada peneliti simpanse yang membuktikan
bahwa monyet juga bisa menggunakan alat bantu. Keren kan?!
soal krisis pangan, krisis air,
energi alternatif, dan yang paling baru, soal urbanisasi.
Tema di atas sebenernya dibahas sendiri-sendiri, meskipun masih saling berhubungan.
Semenjak angka harapan hidup manusia meningkat secara signifikan berkat
berbagai kemajuan yang terjadi, diantaranya perbaikan sanitasi, penemuan
obat-obatan untuk infeksi, dll., akibatnya, populasi dunia juga makin
bertambah. Pertambahan populasi ini berarti peningkatan kebutuhan pangan, air,
dan energi.
Soal pangan, pertambahan manusia berarti pertambahan kebutuhan pangan,
artinya dunia mesti menyediakan pangan dalam jumlah yang lebih banyak, harus
ada peningkatan produksi. Sementara, di sisi lain, pertambahan manusia juga
berarti pertambahan pemanfaatan lahan untuk aktivitas manusia, akibatnya lahan
untuk produksi pangan jadi berkurang. Paradoks ngga siih?! Jadi, mesti ada
peningkatan produktivitas juga, harus dicari gimana caranya supaya luas lahan
pertanian yang lebih kecil bisa menghasilkan pangan yang lebih banyak. Nah, di
sini juga ada komplikasi lain, sistem pertanian yang sekarang-sekarang berlaku
(klo di Indonesia siy mungkin semenjak masa Orde Baru) juga ternyata punya masalah
sendiri. Kombinasi penggunaan pupuk sintetis dan kecenderungan untuk bertani
sistem monokultur, trus bibit padi hasil rekayasa genetik, awalnya memang
menunjukkan peningkatan produksi, tapi produktivitas ini juga ada masanya.
Setelah periode waktu tertentu, tanah yang diberi pupuk sintetis akan ‘letih’
dan butuh waktu yang tidak sebentar untuk memulihkan diri. Udah gitu,
penggunaan varietas unggul ini juga tidak selalu berarti sesuatu yang baik.
Karena petani umumnya menggunakan varietas rekayasa ini, maka varietas asli
terancam punah, bukan hanya padi, ada juga kentang, tomat, dll., alhasil,
keanekaragaman hayati yang kita miliki jadi berkurang.
Jadi inget, waktu belajar konsep teknologi ada istilah dialektika
teknologi, yaitu suatu teknologi akan memiliki kekurangan yang memerlukan
teknologi lain untuk menyelesaikannya, dan akan selalu begitu terus-menerus,
lupa kata-kata persisnya, tapi kira-kira begitu kurang-lebih.
Makanya kan sekarang mulai gencar
lagi (ya ngga ya?!) promosi
pertanian sesuai dengan komoditas yang sudah ada di daerah tersebut. Misalnya,
kalo ternyata di suatu daerah lebih mudah menanam jagung, ya berarti makanan
pokok penduduk di situ ya jagung, ngga perlu dipaksakan harus nasi. Ini juga
berkaitan dengan ketahanan pangan, liat kan sekarang, gara-gara penyeragaman
(mungkin salah satu faktor penyebab aja sih), Indonesia hampir selalu
ketar-ketir buat memenuhi kebutuhan beras nasional, alhasil, di saat produksi
dalam negeri tidak cukup, ya sibuk impor deh. Kalo misalnya makanan pokok kita
lebih beragam, artinya kita lebih punya banyak pilihan, jadi ngga rentan kalo
misalnya ada gagal panen atau apa.
Sama dengan pangan, air juga masalahnya kurang
lebih sama, tapi klo kata saya, tampak lebih parah. Air di sini, maksudnya air
konsumsi, artinya air tawar. Air yang dipakai untuk kegiatan manusia
sehari-hari, buat makan-minum, MCK, dan pertanian. Kalo ga salah inget, air
tawar cuma 1% dari total air di bumi, sebagian ada di kutub (yang makin hari
makin berkurang). Jadi, kebayang kan betapa sedikitnya air di bumi ini untuk
dimanfaatkan oleh tujuh miliar penduduk dunia? Udah gitu, masih harus
dikurangi juga dengan air yang tercemar. Air tanah yang dimanfaatkan juga
tampak berkurang cadangannya. Air tanah berasal dari air permukaan yang meresap
ke dalam tanah. Jadinya di lapisan tanah itu ada semacam reservoir air. Air
inilah yang kita manfaatkan. Nah, masalahnya adalah ketika kita memanfaatkan
air itu terus-menerus tanpa memikirkan keberlangsungannya. Inilah yang
mengerikan menurut saya. Reservoir itu secara alami memang terisi kembali oleh
air hujan yang meresap ke dalam tanah, tapi seberapa cepat? Kenyataannya, yang
terjadi adalah kecepatan penggunaan lebih besar dari kecepatan reservoir untuk
terisi kembali, hal ini juga diperparah oleh kenyataan kalo manusia sendiri,
pihak yang paling berkepentingan, justru tidak membantu sama sekali, di lahan
yang mestinya jadi area resapan air dibangun struktur-struktur beton yang tentu
saja menghalangi air meresap, atau bukit dan gunung yang hutannya mestinya
membantu konservasi air, justru digunakan untuk lahan pertanian. Makanya, diprediksi,
kalo pada suatu waktu di masa depan (sekarang juga indikasi ke sana sudah ada
kayanya), bukan tidak mungkin, perang yang terjadi akan dipicu oleh perebutan
sumber air.
Sekarang soal energi, tau kan
(tau lah pasti), kalo energi fosil yang sekarang kita gunakan termasuk energi
tak terbarukan, yah terbarukan siy sebenernya, tapi butuh berjuta-juta tahun,
dan kalo dipikir, dengan eksploitasi alam seperti sekarang, belum tentu juga
nanti, berjuta tahun dari sekarang, akan ada fosil yang bisa ditemukan, secara
tumbuhan yang ada sekarang juga sepertinya masih mengkhawatirkan keberadaannya.
Nah, dengan berkurangnya cadangan sumber energi fosil, sekarang sudah mulai
trend pemanfaatan energi alternatif, yang paling umum siy kayanya etanol dari
tumbuhan, istilahnya bioetanol. Ada yang asalnya dari jagung, kentang,
ganggang, dll. Awalnya, saya pikir ini ide yang keren banget, tapi ternyata ga sesederhana
itu. Kalo ga salah, efisiensi produksi etanol itu ngga terlalu baik, jadi mesti
ada banyak percobaan untuk optimasi, ditambah lagi, kalo ternyata hasil
pertanian digunakan sebagai sumber bioetanol, artinya lahan untuk produksi
bahan pangan berkurang, sementara produksi pangan juga kan ngga berlebih!!
*bersambung.. mudah-mudahan ;p*
*bersambung.. mudah-mudahan ;p*
No comments:
Post a Comment