Kata-kata di atas tercetus saat saya dan teman-teman saya ngobrol soal psikolog. Latar belakangnya adalah cerita soal tulisan saya yang rapi itu (bener deh, percayalah :D) yang membuat teman kerja saya (yang dulu merekrut saya) awalnya mengira kalo saya menderita OCD (menurut pengakuannya belum lama ini ;p).
Psikolog sok tau. Benarkah? Terlepas kebenaran atau ketidakbenaran pernyataan itu, mari kita lihat KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia – saya sedang suka dengan buku ini, sangat informatif). Menurut KBBI, psikolog adalah ahli psikologi (kata 4L@y, ea ealaah), sama seperti arkeolog adalah ahli arkeologi, atau ginekolog adalah ahli ginekologi (farmakolog adalah ahli farmasi – bukan ahli farmakologi ;p, biolog ternyata tidak ada di KBBI, dan monolog tentu saja tidak didefinisikan sebagai ahli monologi, dan katalog bukan berarti ahli katalogi – setidaknya untuk saat ini, karena seperti kita semua telah ketahui, bahasa, sebagai produk kebudayaan akan berkembang seiring perkembangan manusia penggunanya, jadi siapa tau di masa depan, akan ada perubahan atau istilah baru :p).
Selanjutnya, mari kita lihat psikologi, arkeologi, dan ginekologi. Psikologi adalah ilmu yang berkaitan dengan proses mental baik normal maupun abnormal dan pengaruhnya terhadap perilaku; atau ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan jiwa. Arkeologi adalah ilmu tentang kehidupan dan kebudayaan zaman kuno berdasarkan peninggalannya, seperti patung dan perkakas rumah tangga; atau ilmu purbakala. Sedangkan ginekologi, menurut KBBI, adalah ilmu kedokteran yang berkenaan dengan fungsi alat tubuh dan penyakit khusus pada wanita.
Perbedaan yang mencolok dari psikologi, dibandingkan dengan ilmu lain, menurut saya, adalah sifat dari objek yang dipelajarinya, yaitu mental atau jiwa manusia, sesuatu yang saya pikir tidak pernah benar-benar dipahami sepenuhnya, bahkan oleh manusia itu sendiri. Dan yang utama, manusia dapat berkomunikasi dan mengungkapkan pikirannya saat penilaian atau observasi terhadap dirinya bertentangan atau sesuai dengan kondisi mentalnya saat itu. Secara sederhana, manusia bisa mengungkapkan protes, keberatan, melawan, atau pun menyetujui penilaian yang disematkan kepadanya.
Lain halnya dengan penyakit, binatang, batuan, langit, laut, gunung, dsb., saat kita mempelajarinya dan menerapkan teori apa pun untuk menjelaskan objek tersebut, salah atau pun benar, objek tersebut tidak akan protes atau setuju. Misalnya, seekor kera bekantan diidentifikasi sebagai siamang, apakah kera tersebut akan protes? Tidak, dia tidak peduli identifikasi manusia atas dirinya, identitas sebagai siamang yang diberikan manusia tidak akan pernah mengganggu ke-bekantan-annya. Atau, batu andesit disebut sebagai batu tuft, itu juga tidak akan memengaruhi ke-andesit-an batu tersebut. Siapakah yang protes? Betul sekali, manusia (selain pelaku identifikasi absurd tersebut). Jadi, intinya, cuma manusia yang bisa protes, hanya manusia yang memiliki kesadaran identitas dirinya sebagai manusia, identitas bekantan, atau identitas batu andesit :D
Manusia, dengan individualitasnya dan cara berpikir yang unik, tidak pernah sama, jangankan dengan orang lain, dengan dirinya sendiri pun, manusia tidak pernah sama, disadari atau tidak, manusia selalu berubah. Terlalu banyak variabel dalam seorang manusia yang membuatnya tidak mungkin untuk disamakan atau diserupakan dengan manusia lain. Dengan kata lain, menurut saya, mental manusia itu mirip phi (π) dalam matematika, tidak ada rumus atau persamaan yang bisa mendefinisikan dengan tepat. Bila diibaratkan sebagai π (mental manusia), semua persamaan (ilmu psikologi) hanya dapat mendekati, bisa saja sangat dekat hingga benar-benar dekat, tetapi tidak pernah mampu untuk menyentuh nilai benarnya. Itulah sebabnya, diagnosis psikologi tidak akan pernah berlaku pada SEMUA manusia. Dan itulah, mungkin, alasan mengapa psikolog dianggap sok tau :)
No comments:
Post a Comment