Berikut ini adalah bagian dari The Alchemist yang sepertinya relevan dengan saya (terutama saat ini) :p, saya beli buku ini pada 6 Oktober 2007 atas rekomendasi salah satu teman yang terpercaya (selera bukunya OK, jadi kalo dia bilang bagus, biasanya bukunya memang bagus, atau bisa jadi, kadang-kadang otak saya yang terbatas ini tidak bisa menangkap esensi dari ke-bagus-an buku itu). Buku ini diterjemahkan oleh Tanti Lesmana, copy yang saya punya adalah buku cetakan keempat.
Penggalan ini ada di bagian dua, halaman 70-72
Pedagang itu terdiam sesaat. Kemudian katanya, "Nabi telah menurunkan Quran pada kami, dan menyatakan lima kewajiban yang mesti kami penuhi dalam hidup kami. Yang paling penting adalah hanya percaya pada satu Tuhan. Lain-lainnya adalah sembahyang lima kali sehari, berpuasa selama Ramadhan, dan bermurah hati pada orang-orang miskin."
Lalu dia berhenti bicara. Matanya basah oleh air mata ketika dia bicara tentang Sang Nabi. Dia orang yang saleh, dan meski sifatnya tidak sabaran, dia ingin menjalani hidupnya sesuai dengan hukum-hukum Islam.
"Apa kewajiban yang kelima?" tanya si anak.
"Dua hari yang lalu, kaubilang aku tidak pernah punya impian untuk berkelana," sahut si pedagang. "Kewajiban yang kelima bagi setiap orang Muslim adalah menunaikan ibadah haji. Kami diwajibkan mengunjungi kota suci Mekkah, setidaknya satu kali selama hidup.
"Mekkah jauh lebih jauh daripada Piramida-Piramida itu. Waktu masih muda, aku bercita-cita mengumpulkan uang untuk membuka toko. Kupikir suatu hari nanti aku akan kaya, dan bisa pergi ke Mekkah. Aku mulai berhasil mengumpulkan uang, tapi aku merasa tidak tenang menitipkan toko ini pada orang lain; kristal-kristal itu gampang sekali pecah. Sementara itu, banyak orang melewati tokoku sepanjang waktu, mereka menuju Mekkah. Beberapa dari mereka adalah peziarah-peziarah kaya yang bepergian dalam rombongan karavan dengan pelayan-pelayan dan unta-unta, tapi sebagian besar peziarah ini adalah orang-orang yang lebih miskin daripada aku.
"Semua orang yang pergi ke sana merasa bahagia telah melakukannya. Mereka menaruh lambang-lambang perjalanan ziarah mereka di pintu-pintu rumah mereka. Salah seorang di antaranya, tukang sepatu yang hidup dari memperbaiki sepatu-sepatu bot, berkata dia berkelana hampir setahun melintasi padang pasir, tapi dia jauh lebih capek ketika harus berjalan kaki di jalanan-jalanan Tangier untuk membeli kulit."
"Kalau begitu, mengapa Anda tidak pergi ke Mekkah saja sekarang?" tanya si anak.
"Sebab justru impian hendak pergi ke Mekkah-lah yang membuatku bertahan hidup. Impian itulah yang membantuku menjalani hari-hariku yang selalu sama ini, kristal-kristal bisu di rak-rak itu, serta makan siang dan makan malam di kedai jelek yang itu-itu juga. Aku takut kalau impianku menjadi kenyataan, aku jadi tidak punya alasan lagi untuk hidup.
"Kau punya impian tentang domba-dombamu dan Piramida-Piramida itu, tapi kau berbeda dari aku, sebab kau berniat mewujudkan impianmu. Aku cuma ingin bermimpi tentang Mekkah. Sudah ribuan kali aku membayangkan diriku melintasi padang pasir, tiba di Ka'bah, mengelilinginya tujuh kali sebelum menyentuhnya. Sudah kubayangkan orang-orang yang ada di sampingku, di depanku, dan percakapan-percakapan serta doa-doa yang akan kami panjatkan bersama-sama. Tapi aku takut semuanya mengecewakan, jadi aku memilih mengangan-angankannya saja."
Relevansinya sama saya?? Saya masih bingung, apakah saya ini si pedagang atau Santiago, si anak gembala. Saat mimpi itu rasanya sudah begitu dekat, saya takut... takut semuanya mengecewakan, bagaimana jika saat mimpi mewujud, ternyata bukan itu yang saya inginkan.. Tapi.. bagaimana saya tau? Bagaimana jika ternyata saat mimpi menjadi kenyataan adalah saat yang membuat saya merasa bahagia?!
No comments:
Post a Comment