Sebelumnya... lihat di bagian 3
Tidak banyak yang
bisa kami lakukan di puncak saat badai, tapi kami juga ngga mau cepet-cepet
turun, mengingat usaha kami yang lumayan panjang untuk sampai di situ dan kalo
buat saya, saya masih cape dan rasanya ngga kebayang apa masih sanggup untuk
menjaga konsentrasi di perjalanan turun, apalagi dalam kondisi hujan. Jadi,
kami hanya duduk berkumpul dan berusaha saling menghangatkan, entah menunggu
hujan reda atau apa, ngga jelas. Sampai akhirnya seorang Ranger datang dan
menyuruh kami semua untuk turun - akhirnya ada juga yang punya akal sehat ;p Mas-mas
Ranger yang baik ini mengatakan bahwa tetap bertahan di puncak saat badai
sangat berbahaya, kami bisa mati karena hipotermia (kayanya salah satu penyebab
kami ngga turun adalah hilangnya akal sehat kala itu, bisa jadi gara-gara
hipotermia ;p). Alhasil, sekitar jam setengah enam, kami memulai perjalanan turun.
Saatnya pulang.. |
Saat mendaki atau hiking atau sekedar jalan kaki, setelah mencapai tujuan – bisa berupa puncak, air terjun, kawah, dsb. – biasanya semangat saya untuk melanjutkan perjalanan agak berkurang – mungkin karena kelelahan juga sih – yang ada di pikiran adalah keinginan untuk segera pulang, sampe rumah, istirahat, memulihkan diri, hibernasi. Tapi perjalanan turun puncak Semeru ini beda, ngga kalah seru dengan perjalanan naik, malah justru lebih menyenangkan. Untuk turun, kita bisa meluncur – sliding, kaya main perosotan zaman TK, seru-seruan sekaligus menghemat waktu dan energi. Tapi tetep mesti hati-hati, perhatikan rute luncuran, pastikan jarak dengan orang di depan kita ngga terlalu deket, trus peringatkan orang-orang yang ada di depan kalo ada batuan (utamanya yang besar) yang ikut meluncur, supaya mereka bisa menghindar, trus harus rela juga sepatunya kemasukan pasir dan sol sepatu menipis (nasib kalo pake sepatu-bukan-standar-mendaki-gunung kaya saya ;p) Kesenangan turun ini rasanya seperti imbalan yang diberikan atas kegigihan kami tadi malam untuk terus mendaki :)
Saat turun, kami berpapasan dengan beberapa rombongan yang baru akan naik. Melihat banyaknya orang yang naik dan turun, kami tidak merasa sedang berada di gunung, kami ingat suasana pasar, rame!! Saya lupa persisnya kapan, hujan sudah berhenti, langit kembali terang, jadi kami bisa melihat pemandangan dari lereng Semeru.. puncak gunung lain, kepadatan kota di kejauhan, awan yang berarak (sejajar dengan posisi kami, ada juga yang posisinya lebih rendah ;p). Cuaca cerah ini juga menyodorkan pemandangan rute pendakian tadi malam dengan lebih jelas; celah yang cukup dalam hanya beberapa langkah dari trek yang kami tempuh, jurang menganga yang mengapit jalan setapak yang dibatasi tali, membuat saya berpikir betapa beruntungnya kami melakukan pendakian saat malam, rute-rute berbahaya yang harus dilewati jadi ngga keliatan, kalo saya tau dari awal rutenya akan seperti itu, belum tentu saya akan sanggup untuk tetap melangkah (agak) ringan untuk terus mendaki (terbukti kalo tidak tau itu terkadang justru lebih baik ;p)
Pemandangan dalam perjalanan turun |
Oh ya, ada yang lupa, pendakian dilakukan malam tidak hanya demi melihat matahari terbit, tapi waktu untuk berada di puncak memang dibatasi, tidak diperbolehkan untuk berada di puncak pada siang hari, maksimal jam sepuluh atau sebelas pagi kita harus sudah meninggalkan puncak. Siang hari, biasanya berhembus gas beracun (alias Wedhus Gembel) dari kawah Jonggring Saloko.
Perjalanan kembali ke Kalimati relatif lebih singkat dari perjalanan pergi, sekitar jam delapan atau setegah sembilan kami sudah kembali ke tenda, istirahat sebentar (lupa sarapan lagi atau ngga), berkemas, dan segera meninggalkan Kalimati menuju Ranukumbolo. Perjalanan sejak dari Kalimati saya tempuh dengan menggunakan sandal gunung, soalnya sepatu-bukan-standar-mendaki-gunung-nya udah ngga nyaman buat dipake, kemasukan terlalu banyak pasir, sampe-sampe warnanya berubah jadi abu tua (dari warna semula putih), sudah dibersihkan, tapi susah, soalnya pasirnya halus.
Personil lengkap ^_^ |
Oro-Oro Ombo |
Tiba di Ranukumbolo sore hari, para pria mendirikan tenda,
kami memasak ransum yang masih tersisa, seingat saya kali ini kami agak
bermewah-mewah. Awalnya, kami berhemat makanan karena khawatir ngga cukup. Sekarang,
karena sudah mau pulang, kami berusaha sebisa mungkin untuk mengurangi beban di
ransel, jadi porsi makan diperbanyak, daripada mesti berat bawa pulang lagi
bahan makanan :)
Di sini, teman saya yang termuda udah mulai homesick, inget
mamanya terus, dia bilang kapok naik gunung, katanya selanjutnya dia mau ke
pantai aja, dia hanya mau ke gunung kalo ada akses angkotnya (kayak ke
Tangkuban Parahu atau Galunggung ;p) – yang tentu saja cuma bualan sesaat.. :)
Naik gunung itu kayak makan keripik setan atau main sudoku atau latian aikido
(ga bisa mengibaratkan kayak candu – soalnya ngga pernah nyandu ;p), bikin
ketagihan.. meskipun capek, ribet, cedera macem-macem, kulit terbakar, pada
akhirnya, kita akan selalu kembali.. :D (belum tentu ke gunung yang sama sih –
maksudnya, kembali naik gunung lagi ;p)
Bermalam lagi di Ranukumbolo, keesokan harinya kami kembali
merapikan tenda dan berkemas, saatnya menuju Ranupani!!! Saat ini, agak sedih
juga sih, soalnya tripnya udah mau selesai, keasyikan bertualang akan berakhir,
waktunya kembali ke dunia nyata – dalam artian kembali ke rutinitas. Tapi, kalo
dipikir lagi, keasyikan petualangan seperti ini justru karena waktunya yang
singkat, kalo terlalu lama, jadi ngga asyik lagi karena kegiatan ini nantinya
akan berubah menjadi rutinitas.
Di sini, efek samping juga mulai terasa, kulit muka mulai
terasa perih, bibir mulai pecah-pecah (meskipun bawa pelembap wajah dan bibir,
saya ngga menyempatkan untuk menggunakannya dari awal, jadi ya gitu deh,
kulitnya jadi korban ;p).
Berhubung tiga diantara kami masih akan melanjutkan
petualangan ke Pulau Sempu, sementara empat lainnya akan langsung kembali ke
Bandung, di sini juga kami menyelesaikan utang-piutang, menentukan siapa bayar
berapa, dsb., kemudian membuat semacam ‘acara penutup’, mencantumkan tanda
tangan masing-masing dan satu puisi (dari teman yang homesick itu ;p) di
bendera Palestina yang dibawa teman saya (ngga tau maksudnya dia apa dengan
membawa bendera itu ;p)
Seperti sebelumnya, perjalanan pulang ngga begitu
terasa, tau-tau kami sudah sampai Ranupani.. (yah, ngga juga sih, tapi yang
jelas perjalanannya terasa lebih mudah, meskipun sudah lelah, tapi terbantu
dengan beban yang sudah agak berkurang). Siang hari, di tengah hujan yang cukup deras, kami tiba di pos Ranupani. Kami
bersyukur baru bertemu hujan saat itu, ngga kebayang deh kalo ketemu hujan
sejak kami baru akan mendaki. Selesai bersih-bersih, mandi, ganti baju, isi
ulang baterai ponsel, bertukar nomor telpon, dsb., kami meneruskan perjalanan
menuju Tumpang menggunakan Land Rover. Pemandangan yang kami lalui menuju
Tumpang juga menakjubkan (sebelumnya ngga keliatan, soalnya waktu pergi kita
berangkat malam kan?!), jalan yang kami lalui berada di antara dua lembah, di
kejauhan (yang ngga begitu jauh – pohon di hutan terlihat cukup jelas,
gerumbulnya tampak seperti brokoli) terlihat gunung-gunung (yang kami tidak tau
namanya apa ;p), pohon-pohon apelnya juga terlihat jelas, ngga samar-samar
seperti sebelumnya. Sekitar Maghrib, kami sampai di Tumpang, berpisah jalan
dengan kelompok Sempu, lantas naik angkot menuju kota (kalo saya ngga salah, ke
area sekitar kampus Universitas Brawijaya). Tujuan kami adalah rumah yang akan
menampung kami malam itu. Rumah ini sebenarnya semacam asrama (terpisah antara
laki-laki dan perempuan) untuk mahasiswa dan mahasiswi yang mendapatkan
beasiswa dari suatu lembaga (Republika, klo ga salah).
Setelah bertemu
dengan mahasiswa Unbraw temennya temen saya itu (yang lumayan lucu –
tampangnya, bukan tingkahnya ;p), diantar ke rumah tujuan, nyimpen barang dan
beramah-tamah sebentar dengan penghuni asrama, kami pergi makan malam di
lesehan pinggir jalan deket gang, menunya nasi ayam goreng dilengkapi
tahu-tempe-lalap-sambal. Kenyang makan, kami kembali ke asrama dan
langsung tidur dengan pulasnya.
Keesokan harinya, setelah mengucapkan terima kasih, kami
berpamitan dan segera menuju stasiun kereta. Untuk ke Bandung, saat itu, kami
harus naik kereta dulu ke Kediri, maka Kediri-lah tujuan kami berikutnya.
Kereta ekonomi Malang-Kediri tiketnya enam ribu, penumpangnya padat, banyak
pedagang asongan yang pintar sekali membaca situasi, di siang hari yang panas,
banyak penjual minuman dingin dan cemilan, ada juga yang jualan sabuk, buku
menggambar dan mewarnai, buku resep, atlas, dsb., trus ada juga grup pengamen
yang membawa instrumen berupa biola, perkusi, dan bass berdiri. Hebooh!!!
Menjelang tengah
hari, kami tiba di Kediri. Kereta menuju Bandung berangkat sekitar jam dua atau
jam tiga siang, maka setelah kami membeli tiket, kami memutuskan untuk mengisi
waktu menunggu dengan sedikit menjelajah Kediri. Kesan saya tentang Kediri: panas!!!
(bisa jadi diperparah dengan pakaian saya waktu itu – kaos dan celana training
;p, yang kalo dipikir sekarang, aneh banget ya keliling-keliling di
kota panas siang hari dengan celana training?!). Awalnya kami bertanya pada bapak
pengemudi becak soal tempat yang kira-kira bisa kami kunjungi, beliau
mengarahkan kami untuk melihat mall – maka kami memutuskan buat cari makan
siang saja dan kemudian cari mesjid buat sholat sekalian tidur.
Menu makan siang saya waktu itu adalah nasi soto ayam dan
susu soda gembira, tempatnya di toko serba ada, pemiliknya keturunan Cina, di
dinding toko banyak gambar-gambar masakan Cina yang sepertinya berkhasiat obat,
mengingatkan saya dengan film seri Korea Jewel in the Palace. Nasi soto-nya
enak, tapi kayanya itu karena saya lagi laper, susu sodanya juga segar :)
Selepas makan, kami beranjak ke mesjid (lupa nama mesjidnya), bangunannya
lumayan besar, cukup bersih dan terawat. Di samping mesjid ada area pemakaman,
sepertinya ada tokoh yang cukup berpengaruh dimakamkan di sini (kyai atau imam
atau sejenisnya), soalnya ada rambu-rambu soal peziarah dsb. di gerbangnya. Hal
yang paling memuaskan dari mesjid ini adalah kebersihan kamar mandinya, di sini
saya sempat berlama-lama di kamar mandi (berkat susu soda gembira!!),
kompensasi waktu di kamar mandi yang tidak saya dapatkan selama di Semeru ;p
Pada waktunya, kami berangkat dari Kediri menuju Bandung,
berhubung lelah, kami lebih banyak menghabiskan waktu dengan tidur. Setelah
sekian jam kaki ini terjuntai-juntai, sandal saya terasa seperti mengecil,
ternyata kaki saya bengkak – retensi cairan! Kereta kami tiba di Kiaracondong pagi keesokan harinya, hari pertama di
tahun 2010. Turun kereta, keluar stasiun, kami saling berpamitan dan
menuju ke rumah masing-masing.
Dalam perjalanan ke rumah, di angkutan kota, saya merasa
penumpang lain memandangi saya, saya pikir mungkin karena saya keliatan kucel
setelah perjalanan seharian, jadi saya sok cuek aja. Tiba di rumah, naik ke
kamar, saat bercermin saya dikagetkan dengan kulit muka saya yang terbakar,
warnanya belang, mengelupas di sana-sini, terutama di area hidung dan pipi di
bawah mata, mengerikan!! Pantesan aja orang-orang ngeliatin!! Tidak hanya
wajah, warna kulit punggung tangan saya juga menua, oleh-oleh perjalanan ini
butuh berminggu-minggu untuk kembali seperti semula. Walaupun begitu, tetap
saja saya tidak sabar menanti hingga pendakian berikutnya.. kemana yaaa???!!! Doakan semoga tahun ini bisa ke
Rinjani!! Amiin!! :D
ps1. tips untuk
mempercepat pengelupasan kulit wajah yang terbakar: ambil tomat yang matang, belah
sesuai kehendak hati (dan tangan ;p). Gosokkan potongan tomat pada area yang
terbakar, kemudian bilas dengan air – wajahnya loh yang dibilas, bukan tomatnya
;p (pps. rasanya emang perih, tapi beneran membantu kok :D)
ps2. selalu ingat prinsip utama dalam bertualang ke alam: tidak membunuh apapun kecuali waktu, tidak mengambil apapun kecuali foto, dan tidak meninggalkan apapun kecuali jejak. Ingat untuk selalu menjaga kebersihan yaa, apalagi di gunung, bawa kembali sampah-sampah anorganik untuk dibuang sepantasnya..
-end, at last ;p-
No comments:
Post a Comment