Tuesday, January 3, 2012

Caper Semarang - Bagian Tiga


Menyambung Bagian Satu dan Dua...

Oh ya, info trivia soal Lawang Sewu, kata pemandu kami, di sini sempat dijadikan lokasi pengambilan gambar salah satu adegan film Ayat-Ayat Cinta, itu loh, adegan waktu Maria-nya di rumah sakit. 

Dari Lawang Sewu, kami menyebrang ke taman di tengah persimpangan (Jl. Pemuda – Jl. Imam Bonjol – Jl. Dr. Sutomo – Jl. Pandanaran). Di tengah taman terdapat tugu berbentuk lilin yang dikelilingi kolam air mancur, namanya Tugu Muda. Tugu ini didirikan sebagai monumen peringatan Pertempuran Lima Hari di Semarang, dibangun pada 10 November 1950 dan diresmikan oleh presiden Soekarno pada 20 Mei 1953. Apa sih Pertempuran Lima Hari itu? Lihat sendiri aja ya, di sini. Singkatnya, pertempuran ini adalah serangkaian pertempuran antara rakyat Indonesia di Semarang melawan tentara Jepang. Pertempuran ini berlangsung pada 15 – 20 Oktober 1945 dan merupakan perlawanan terhebat rakyat Indonesia terhadap Jepang pada masa transisi (dari penjajahan Jepang menuju kemerdekaan).

Dari taman, kita dapat melihat gedung-gedung disekeliling, selain Lawang Sewu, ada Museum Manggala Bakti dan Katedral. Taman ini tertata cukup rapi dan bersih, nyaman dan enak buat sekadar duduk-duduk menikmati suasana, pemandangan langit, dan lalu lintas. Kalo saya siy kebayangnya sore-sore ke sini bawa buku dan cemilan pasti seru. Suara air mancur dan kesibukan kendaraan yang lalu-lalang lumayan pas buat jadi suara latar. Makanya, makin sore taman ini semakin ramai didatangi oleh muda-mudi Semarang, ada yang sekadar ngumpul, ada yang pacaran, ada juga yang berfoto (seperti kami ;p).

Tugu Muda
Dari Tugu Muda, kami menuju Kampung Laut buat makan siang (yang telat), tapi sebelumnya mampir dulu di hotel yang sudah kami pesan sebelumnya, buat nyimpen barang-barang dan mandi (secara kami semua belum mandi sejak dari Bandung malem sebelumnya ;p). Kami menginap di Hotel Rahayu, Jl. Imam Bonjol 35 – 37, kalo diliat di peta sih deket kawasan kota lama, jadi lebih deket ke stasiun, lumayan jauh kalo dari Simpang Lima. Di sini, kami menempati dua kamar, satu isi dua orang, satu lagi isi tiga orang. Fasilitasnya biasa aja, ada TV, AC, dan kamar mandi dengan air hangat (tapi pintunya ngga bisa dikunci dan ngga ada gantungan di dalem buat nyimpen handuk dan baju ganti, dsb.), sarapan ngga termasuk (mungkin karena biasanya orang-orang lebih milih cari makan sendiri), jadi pagi-pagi cuma dikasi teh dan kopi (tubruk dan encer) yang disimpen di meja di luar kamar. Selesai bersih-bersih badan, langsung ke Kampung Laut di kawasan PPRP (Pusat Promosi dan Rekreasi Pembangunan). Kampung Laut ini posisinya mengapung di atas kolam, areanya luas, mejanya banyak. Sepertinya di kolamnya juga boleh mancing, trus ada panggung pertunjukan juga di tengah kolam. Makanannya ya hidangan laut, tapi ikan air tawar juga ada (sepertinya, he ;p), rasanya siy biasa aja, harganya juga wajar.

Kolam di Kampung Laut
Dari Kampung Laut, kami beranjak ke Maerokoco, masih di kawasan PPRP juga, di Jl. Yos Sudarso. Maerokoco ini semacam Taman Mini versi Jawa Tengah, di sini terdapat miniatur-miniatur rumah adat dari 35 kabupaten dan kota yang ada di Jawa Tengah, termasuk produksi industri dan kerajinan khas daerah. Buat berkeliling di sini, tiket masuknya limaribu rupiah per orang. Berhubung kami ke sini sore-sore, jadinya sepi, tapi ngga tau juga sih apa siang-siang rame atau sepi juga. Setelah keliling-keliling dan foto-foto sebentar, kami segera meninggalkan Maerokoco dan menuju Pantai Marina.

Miniatur Candi Sewu di Maerokoco

Masuk ke Pantai Marina ini juga bayar, lupa tapi harga tiketnya berapa ;p Di sini pemandangannya ya laut, kapal-kapal di kejauhan, pasangan-pasangan yang pacaran, atau keluarga yang sedang piknik. Suara ombak yang membentur batuan di tepi pantai lumayan pas banget buat mengiringi suasana hati kalo lagi galau atau merana ;p

Jalan Sore di Tepi Pantai Marina

Seusai menunggu matahari terbenam (yang ngga keliatan, soalnya pantainya kan ngga menghadap ke Barat ;p), kami beranjak menuju Mesjid Agung Provinsi Jawa Tengah untuk sholat Maghrib dan Isya sekalian jalan-jalan, biar efektif waktu kami di Semarang ini. Info lengkap tentang mesjid dan menaranya bisa diliat sendiri di sini yaa :D Berhubung kami ke sininya malam, jadi foto-foto yang diambil ngga begitu bagus (secara kameranya alakadarnya ;p). 

Mesjid tampak depan
Keistimewaaan mesjid ini diantaranya adalah keberadaan enam payung hidrolik yang mengadaptasi teknologi di Mesjid Nabawi di Madinah, Arab Saudi. Selain itu, terdapat Menara Asmaul Husna (atau Menara Al Husna) dengan tinggi 99 meter - merepresentasikan 99 Asmaul Husna - yang merupakan menara tertinggi di Semarang, di lantai satu ada lobby dan loket pembelian tiket, di lantai dua dan tiga ada museum perkembangan Islam, di lantai 18 ada resto putar yang buka sampai jam setengah sembilan malam, sementara di lantai 19, kita bisa menikmati pemandangan kota Semarang secara langsung atau pun dengan menggunakan teropong (waktu kami ke sana teropongnya sedang dalam pemeliharaan, jadi ngga bisa dipakai ;p). Untuk naik ke lantai 19 kita mesti membayar limaribu rupiah per orang. Menara ini dibuka dari jam delapan pagi sampai jam sembilan malam dengan dua kali istirahat pada jam setengah duabelas sampai setengah satu dan jam setengah enam sampai setengah tujuh.

Kami naik sekitar jam delapan malam, dan begitu sampai di atas, rasanya tidak berlebihan kalo dibilang perjalanan kami hari itu ditutup dengan spektakuler - pemandangan lampu kota sejauh mata memandang membuat saya kehilangan kata-kata. Saran saya, supaya dapet view mesjidnya dengan pencahayaan maksimal, datanglah sekitar bada Ashar, trus tunggu sampai setelah Maghrib atau Isya buat naik ke menara, supaya dapet view kota Semarang di malam hari.

Mesjid dengan latar belakang lampu kota dilihat dari Menara Al Husna
Untuk menutup perjalanan hari pertama, dari mesjid kami berburu makan malam di sekitar kampus Undip (ga tau area persisnya, yang jelas kami melewati tugu yang bertuliskan Universitas Diponegoro). Kawasan ini  lumayan rame (mungkin karena waktu itu malem minggu), setelah kami muter-muter, kami akhirnya memutuskan untuk makan di salah satu tempat makan dan memesan pecel koyor. Saya sebenernya ngga tau koyor itu apa, tapi kata Pak Bagyo, potongan daging sapi, eh, ternyata koyor itu urat sapi. Berhubung saya ngga begitu suka makanan yang aneh dan kenyal-kenyal gitu, akhirnya koyornya ngga saya makan (cuma dicobain satu atau dua potong, dan ngga diterusin, soalnya rasanya kaya makan lilin) ;p Pas bayar, kami dikagetkan dengan harga satu porsi pecel koyor yang ajaib, duapuluh duaribu rupiah, entah harganya emang mahal karena koyornya mahal atau kami ini korban pedagang oportunis (yang pasti tau kami ini turis, soalnya saya sadar kami cukup mencolok dan memperlihatkan ke-turis-an kami ;p). Oh ya, bumbu pecelnya pedes loh, kayanya sih buat saya bakal lebih enak kalo makan nasi pecelnya aja, ngga pake koyor ;p

Pecel koyor ajaib
Habis makan, sekitar jam setengah sebelas atau jam sebelas, kami kembali ke hotel dan segera terlelap. Demikianlah petualangan hari pertama (panjang banget ya, sampe tiga bagian?! ;p). 

Berikutnya, kalo masih mau ngikutin, saya ceritain petualangan hari kedua. Sampe ketemu yaa, doakan saya konsisten buat nulis terusannya dan semoga menjadi bagian terakhir dari caper Semarang ini :D


  

No comments:

Post a Comment