Akhir minggu kemarin, 08 Januari 2012, saya khatam baca novel Hafalan Shalat Delisa, penulisnya Tere Liye, penerbitnya Republika, cetakan keenam, Januari 2008. Versi audio-visualnya sekarang-sekarang sedang beredar di bioskop-bioskop. Saya sih ngga terlalu antusias buat cari tau ceritanya, tapi berhubung ada yang minjemin bukunya, ya udah, dibaca deh. Buku ini bercerita tentang kehidupan seorang gadis 6 tahun bernama Delisa yang tinggal di Lhok Nga, Aceh, dan perjalanannya menghafal bacaan shalat dengan latar belakang tsunami tahun 2004 yang lalu.
Secara keseluruhan, ceritanya bagus, mengharukan, sampe-sampe saya terpaksa mengusap air mata di beberapa bagian (tapi mungkin sayanya aja yang lagi sensi ;p), makanya saya berusaha menyelesaikan bukunya cepet-cepet. Menurut saya, emosi dan pikiran anak 6 tahun yang digambarkan sudah sesuai, meskipun ngga tau juga ya, di beberapa bagian kok rasanya terlalu dewasa buat anak 6 tahun (mungkin argumennya, di sini situasinya khusus, ada faktor luar biasa berupa tsunami itu).
Beberapa hal yang membuat saya sedikit terganggu adalah penggunaan bahasa Indonesia yang kurang tepat, yaitu pemakaian kata ‘bergeming’, misalnya, ‘Aisyah tetap tak bergeming.’ Trus kenapa? Well, tau ngga, bergeming itu artinya tidak bergerak sedikit juga, atau diam saja. Jadi, kalimat contoh di atas akan bermakna ‘Aisyah tetap tak diam’, padahal kan maksudnya bukan itu, kalimat yang seharusnya adalah, ‘Aisyah tetap bergeming.’ Kesalahan ini sepertinya memang sudah telanjur meluas, sampe-sampe banyak orang yang ngga sadar bahwa ini adalah pemakaian kata yang tidak tepat (pemborosan kata, sama seperti ‘sangat senang sekali’ yang sebenarnya cukup ditulis ‘sangat senang’ atau ‘senang sekali’ ;p). Hal kedua yang mengganggu adalah salah eja untuk kata kruk (penyangga kaki untuk berjalan; terjemahan dari crutch – sepertinya), di buku itu ditulisnya, kurk, dengan cetak miring. Saya ngga tau apa buku ini ada editornya atau gimana, soalnya ngga ada keterangan yang dicantumkan. Ngga tau juga apa di cetakan yang lebih baru kesalahan ini sudah dikoreksi :) Terakhir, saya ngga ngerti maksud catatan kaki yang mengomentari cerita di beberapa bagian. Narasinya, kalo saya ngga salah, diceritakan dari sudut pandang orang ketiga (asumsi saya, biasanya penulis kan?!), nah trus dikomentarin lagi.. sama siapa??!! Ada yang tau dan bisa memberi pencerahan??!! :P [apakah itu dimaksudkan untuk mewakili pertanyaan pembaca???]
Oh ya, cerita tentang kehilangan juga membuat saya berpikir (iya, saya juga suka mikir kok kadang-kadang, ngga usah kaget ;p). Wajar kan kalo saat kita kehilangan (dalam hal ini kehilangan anggota keluarga), kita kemudian merasa sedih, tapi sebenarnya apa sih alasan kita bersedih? Saat kita menangis, apa sih sebenarnya yang kita tangisi? Apa kita menangisi almarhum atau diri sendiri? Buat saya pribadi, sepertinya, kesedihan itu lebih ditujukan buat diri sendiri, saat ditinggalkan, kita akan merasa sendirian, dan pada dasarnya kita takut sendirian, maka kita bersedih - menangisi kesendirian. Rasanya, kita bersedih murni karena alasan yang egois, mungkin kita juga takut pada kematian itu sendiri, karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada diri kita setelah kita mati, atau kita takut tidak mampu untuk hidup tanpa orang yang telah meninggalkan kita.. entahlah..
No comments:
Post a Comment