Berikut ini adalah cerpen perdana hasil usaha 'terpaksa' waktu saya 'khilaf' ikutan klab nulis akhir tahun 2009..
PEREMPUAN BERBAJU KUNING KENARI
Aku berjuang
menyeret Olin si Motor Lincah, yang entah bagaimana sepertinya berkonspirasi
dengan Bapak untuk mencegahku pergi. Bapak terus saja berteriak, sementara Ibu menarik-narik
tanganku. Aku berusaha menjelaskan bahwa aku sudah terlambat pergi bekerja,
tapi Ibu malah semakin keras menarikku, dan tiba-tiba... Byurr, guyuran segelas
air membangunkan aku dari mimpi. Sudah 10 menit Ibu berusaha membangunkanku,
usaha yang tampak sia-sia, hingga akhirnya segelas air turun tangan.
Aku pun bergegas sholat
Subuh, sarapan, mencuci piring, mengepel, dan mandi, lalu berangkat ke halte
tempat bis jemputan biasa berhenti. Olin masih di bengkel, artinya aku harus
pergi dengan bis ini hingga akhir minggu.
Tiba di halte,
bis belum datang, pekerja lain juga belum datang. Selain aku, hanya ada seorang
perempuan muda yang duduk di ujung sana sambil memandangi setiap kendaraan yang
lewat. Aku perkirakan usianya sebaya denganku, mungkin plus minus 2 tahun. Dia
memakai atasan kuning kenari tanpa lengan dan rok selutut dengan warna senada.
Agak tidak lazim, mengingat sekarang masih pagi, sedang musim hujan, dan kami
ada di Bandung. Tapi, kupikir mungkin beberapa perempuan memang begitu, mereka
rela mengorbankan kenyamanan demi penampilan yang prima. Biar menderita, yang
penting gaya.
Perempuan itu,
seperti sadar sedang diamati, tiba-tiba menoleh ke arahku. Aku terlambat
berpaling dan tatapan kami pun bertemu. Aku tersenyum canggung, tapi dia hanya
menatapku. Lantas, dia berdiri dan berjalan mendekat ke arahku. Dia terus
menatapku, dan aku terpaku, terlalu terkejut untuk berpaling atau melakukan
apapun. Setelah berada dihadapanku, dia membuka mulutnya dan berkata, ”Aku
keliatan aneh ya, pake baju kayak gini?”
Hah?? Aku sama
sekali tidak menyangka kata-katanya barusan. Aku pikir, dia akan melontarkan
kata-kata bernada marah, memaki, atau semacamnya, yang jelas bukan kalimat itu.
Lagi-lagi dia mengejutkanku, dan lagi-lagi aku tidak tahu bagaimana harus
merespon.
Akhirnya aku
hanya bergumam tidak jelas, ”Emmm...wah...yah...”
Dia tersenyum dan
berkata, ”Aku tau kok, kamu pasti nyangka aku aneh, kan? Gini ya, aku jelasin
deh, hari ini aku mesti pake baju kuning soalnya kata Aki hari ini aku bakal
ketemu sama orang yang potensial menjadi pasangan jiwaku. Nah, bajuku yang
warnanya kuning ya cuma yang ini. Ngerti?”
OK, jika
sebelumnya aku hanya terkejut, sekarang aku benar-benar amat sangat bukan
kepalang yakin sekali kalau dia memang tidak biasa. Sekilas aku sempat berpikir
mungkin dia agak kurang waras, tapi nada bicara dan pandangan matanya tampak
wajar, lagipula penampilannya terlalu terawat untuk seseorang yang kurang waras.
Halte masih sepi
dan tampaknya kedatangan bis masih lama, mungkin tidak ada salahnya untuk
bersikap ramah.
”Oh? Begitu, ya?
Kenapa harus warna kuning?” tanyaku.
”Yah, aku juga
nanya gitu waktu itu. Trus, tau nggak jawabannya apa?”
”Apa?” rasa
penasaranku terpancing.
Dia pun menarik
nafas dan menjawab dengan dramatis, ”Karena kuning adalah warna matahari.”
Aku menatapnya
bingung, menunggu penjelasan lebih lanjut, tapi dia malah terdiam dan membalas
tatapanku dengan setengah kecewa dan setengah geli.
”Hmfh... aku
pikir kamu pinter, tapi kayanya nggak terlalu ya?”
Aku tersenyum, ”Wah,
kenapa bisa nyangka saya pinter?”
”Yah, soalnya
kamu pake kacamata.”
”Oh, sejak kapan
kacamata identik dengan kepintaran?”
Dia berpikir
sejenak dan menjawab sambil tersenyum, ”Sejak...mmm...yah, selama ini, semua
orang berkacamata yang aku kenal pasti pinter. Kamu pasti anomali deh.”
Orang-orang mulai
berdatangan, dua diantaranya adalah teman kantorku. Melihatku mengobrol dengan
seorang perempuan, mereka langsung heboh mengacung-acungkan jempol mereka, satu
diantara mereka berlagak seperti sedang menelpon. Aku tahu maksud mereka, tanya
nomor telponnya. Mereka belum tahu, jangankan telpon, namanya saja aku belum
tahu. Aku segan untuk merusak percakapan dengan hal-hal yang remeh seperti nama
dan nomor telpon.
Melihat arah
pandanganku, dia pun berkata kembali, ”Yah, tapi nggak juga sih, setidaknya
kamu pasti lebih pinter dari dua orang itu.”
”Dari mana kamu
tau? Kamu kan nggak kenal sama mereka.”
”Yah, aku tau
aja. Udah ya, bis aku udah
dateng tuh.” Dia bersiap begitu melihat bis Leuwipanjang-Ledeng terseok-seok
menembus kepadatan lalu lintas pagi.
“Eh, kamu masih
belum jawab tadi,“ ujarku mengingatkan.
“Apa? Oh, nanti
lagi aja ya.” Dia melambai sekilas lalu memaksa masuk ke dalam bis yang penuh
sudah sesak. Bis pun melaju, meninggalkan kepulan asap hitam knalpot di
belakangnya. Dalam hati, aku hanya berharap kalau hari itu dia memakai deodoran
yang bagus. Kalau tidak, kasihan sekali orang yang berdiri di sampingnya.
Dan itulah akhir
pertemuanku yang pertama dengan perempuan berbaju kuning kenari.
Keesokan harinya,
aku datang lebih pagi, berharap untuk bertemu lagi dengannya. Aku penasaran
dengan jawabannya kemarin. Ternyata halte masih sepi, masih belum kulihat
seorang pun di sana. Lima menit kemudian, datanglah sebuah becak yang
mengantarkan seorang perempuan beserta sekarung sayuran dan sekeranjang kue
basah. Aku membungkuk untuk melihat lebih jelas. Bukan dia. Lantas, beberapa
saat kemudian, aku lihat seorang perempuan berjalan mendekat, kemudian
menyeberang jalan. Jelas bukan dia juga.
Aku menunduk
melihat jam tangan Casio di pergelangan tanganku. Sepuluh menit berlalu,
beberapa orang mulai berdatangan. Aku mulai pesimis, sepertinya tidak akan ada
pertemuan berikutnya. Dari sudut mataku, aku melihat sepasang kaki bersepatu
merah mendekat. Aku menoleh, dan ternyata...itu memang dia. Kali ini berbaju
merah maroon.
Tanpa
sadar, aku tersenyum, sementara dia cuek saja. Tampaknya dia tidak menyadari
keberadaanku, karena dia terus berjalan melewatiku. Selangkah, dua langkah,
lima langkah, sampai tiba di tempat di duduk kemarin. Kemudian berbalik,
menatapku, dan kembali menghampiriku.
”Hai,”
katanya riang.
”Hai,”
jawabku singkat, mengantisipasi kemungkinan perkataan mengejutkan yang mungkin
menyusul sapaannya barusan. Tapi, kemudian dia diam, tidak berkata apa-apa
lagi. Apa dia menungguku mengatakan sesuatu? Mungkin sebaiknya aku mengatakan
sesuatu, tapi apa? Yah, sebenarnya aku penasaran, kenapa harus melewatiku lalu
berbalik. Sepertinya dia bisa membaca pertanyaan itu dari ekspresi wajahku,
karena tiba-tiba dia bicara.
”Aku cuma mau
mastiin aja kalo kamu itu cowok yang kemarin. Soalnya kalo dari sebelah kanan
keliatannya beda.”
”Hah? Maksudnya
beda?”
”Yah, kalo dari
kanan kepala kamu keliatan agak lonjong, padahal kemarin waktu aku liat dari
kiri, kepala kamu keliatan lebih bundar.”
”Oh?!?” responku
bingung, tidak percaya kalau bentuk kepalaku asimetris. Dalam hati, aku
berjanji untuk memastikannya pada kesempatan pertama begitu bertemu dengan
cermin.
Sejurus kemudian,
ponselnya berdering. Sementara dia berbicara cepat di ponsel, aku berdiri diam
di sampingnya, mengamati lebih seksama pakaiannya hari ini. Pagi ini dia tampak
normal dalam balutan setelan jas dan celana panjang warna merah maroon, senada
dengan sepatu, tas, cincin, bahkan jepit rambut di pelipis kirinya. OK, ralat,
jelas tidak normal. Matching-isme yang terlalu.
Selesai berbicara
di ponsel, dia memergokiku sedang mengamatinya. Dia menampakkan pandangan
bertanya.
”Jadi...hari ini
merah ya?” tanyaku kikuk.
”Iyaaa.. Dan kamu tau kenapa?” dia bertanya balik.
Entah bagaimana,
rasanya aku sudah tahu jawabannya. Jadi, aku pun menimpali, ”Mmmmm...kenapa ya?
Pasti atas petunjuk Aki lagi ya?”
”Ya,
karenaaa...”, balasnya menyemangatiku.
”Pasti karena merah
adalah warna darah, kan?” jawabku puas.
Dia tersenyum, lantas
kembali berkata, ”Yah, nggak persis begitu siy kata Aki. Beliau cuma bilang
kalo hari ini aku mesti pake baju se-matching mungkin. Nah, koleksi baju dan
aksesorisku yang paling komplit ya yang warnanya merah manyun ini.”
”Merah manyun?”
ulangku. Aku khawatir aku salah dengar.
”Iya, itu kalo
Aki yang bilang, merah manyun. Beliau sudah ompong soalnya, jadi susah buat
ngomong ’R’,” jelasnya sabar.
Jujur,
penjelasannya malah membuatku heran. Maksudku, kata ’merah’ kan ada huruf
’R’-nya juga. Tapi aku tidak berani berkomentar, takut menyinggung, tampaknya
Aki ini orang yang penting dan sangat dia hormati.
Kali ini bisku
datang lebih dulu. Aku terpaksa beranjak pergi. Setelah di dalam bis, aku pun
menoleh untuk melambai, tapi ternyata dia sudah bergegas menuju bis di
belakang. Sekilas kulihat sepatu hak tingginya, mudah-mudahan dalam bis dia melangkah
hati-hati. Aku tahu bagaimana sakitnya terinjak hak sepatu 5-cm runcing macam
itu.
Dan itulah akhir
pertemuanku yang kedua dengan perempuan berbaju kuning kenari yang kali ini
berbaju merah manyun, eh, maroon.
Hari ketiga,
kami, aku dan dia, datang ke halte hampir bersamaan dari masing-masing ujung.
Sama-sama kesiangan. Kali ini kami sudah saling mengenali. Kami saling
tersenyum, saling menghampiri, lalu duduk persis di tengah-tengah bangku semen
yang dingin. Kali ini dia
memakai setelan jas dan rok selutut warna biru. Aku perhatikan lebih jauh,
sepertinya kali ini normal, semua tampak sewajarnya dan tidak berlebihan.
Dia diam, sibuk
memainkan gantungan ponselnya.
”Biru untuk
langit?” tanyaku.
Dia melirikku,
lantas menggeleng cepat.
”Biru untuk
laut?” tanyaku kembali, kali ini dicemari sedikit rasa penasaran.
Dia menarik
nafas, lalu menjawab singkat, ”Bukan.”
Aku berpikir
kemungkinan lain, sesuatu yang direpresentasikan dengan warna biru, tapi otakku
macet, tak ada satu pun ide yang kudapat. Dia benar, aku tidak terlalu pintar.
Akhirnya, beberapa saat kemudian, dia membuka suara.
”Mestinya sih
hari ini aku pake baju warna ungu.”
”Terus, kenapa
jadi biru? Oh, aku tau, baju ungu kamu lagi dicuci ya?” balasku ingin tahu, aku
heran kenapa kali ini dia mengabaikan petunjuk Aki-nya itu.
”Ih, sok tau deh.
Tau nggak, kombinasi sok tau dan agak pintar itu nggak bagus!” ujarnya kesal.
Mestinya aku
tersinggung dengan kata-katanya barusan, tapi aku cuma nyengir. Rasanya kalimat
itu lebih tepat untuk dirinya sendiri, maksudku, justru dia yang sudah sok tahu
dengan mengasumsikan bahwa aku pintar hanya gara-gara aku berkacamata.
”Kamu nggak punya
baju ungu?” lanjutku jahil.
”Bukan. Hari ini
hari seragam. Semua orang di kantorku mesti pake baju seragam, ya baju biru
ini. Tadinya aku udah mau pergi pake baju ungu, tapi dilarang sama Bapak,
katanya karyawan baru pantang membangkang,” akunya.
Bisnya sudah datang.
Dia berdiri, merapikan atasannya dan mengambil tasnya dari bangku semen.
“Apa kata Akimu?”
tanyaku.
“Oh, beliau nggak
bilang apa-apa. Waktu aku pergi, beliau lagi jalan-jalan.” ucapnya setengah menyesali.
Dia melangkah
menuju bis, kali ini langkahnya lambat.
Dan itulah akhir
pertemuanku yang ketiga dengan perempuan berbaju kuning kenari yang kali ini
berbaju biru tapi berhati kelabu.
Hari keempat, dia
sudah duduk di ujung bangku, sama seperti ketika pertama kali aku melihatnya.
Aku berjalan mendekat, dia tersenyum, menunggu hingga aku sampai di sebelahnya.
Semakin dekat, aku bisa melihat jelas matanya yang berbinar-binar. Kali ini dia
memakai celana jeans dan blus berbahan kaos. Warnanya? Hari ini warnanya hijau.
‘Hijau?” tanyaku.
Dia menarikku
duduk, lalu mulai mengoceh.
”Iya,” sahutnya.
”Tau nggak sih, kali ini aku heran sama Aki,” dia melanjutkan. Hmmm..sudah
saatnya, pikirku.
”Hijau kan warna
favoritku, jadinya ada macam-macam hijau di lemari bajuku.”
”Memangnya kamu
punya berapa macam baju hijau?” tanyaku ingin tahu.
“Yah, aku punya warna
hijau daun muda, hijau daun tua, hijau tentara, hijau stabilo, hijau botol,
hijau hutan, hijau laut, hijau-kuning, hijau pucat, hijau lumut, hijau apalagi
ya?”
Jawabannya sungguh membuatku menyesal telah bertanya. Aku
cepat-cepat memotong.
“Terus, kenapa
heran?” ujarku, berusaha mengembalikan topik pembicaraan.
”Jadi, yah..”
katanya dramatis. Dia menelan ludah, lalu melanjutkan, ”Aki, secara spesifik
nyuruh aku pake warna hijau lampu lalu lintas.”
”????”, untuk
kesekian kalinya, aku terkejut. Mestinya sih, aku sudah terbiasa, tapi tetap
saja, aku terperangah.
”Apa maksudnya
kali ini? Boleh jalan?” timpalku asal. Dia menatapku seolah tak percaya dengan
apa yang baru didengarnya.
”Yah,
begitulah...” ujarnya malu-malu.
No comments:
Post a Comment