Friday, January 13, 2012

Cerpen Perdana


Berikut ini adalah cerpen perdana hasil usaha 'terpaksa' waktu saya 'khilaf' ikutan klab nulis akhir tahun 2009..

PEREMPUAN BERBAJU KUNING KENARI

Aku berjuang menyeret Olin si Motor Lincah, yang entah bagaimana sepertinya berkonspirasi dengan Bapak untuk mencegahku pergi. Bapak terus saja berteriak, sementara Ibu menarik-narik tanganku. Aku berusaha menjelaskan bahwa aku sudah terlambat pergi bekerja, tapi Ibu malah semakin keras menarikku, dan tiba-tiba... Byurr, guyuran segelas air membangunkan aku dari mimpi. Sudah 10 menit Ibu berusaha membangunkanku, usaha yang tampak sia-sia, hingga akhirnya segelas air turun tangan.
Aku pun bergegas sholat Subuh, sarapan, mencuci piring, mengepel, dan mandi, lalu berangkat ke halte tempat bis jemputan biasa berhenti. Olin masih di bengkel, artinya aku harus pergi dengan bis ini hingga akhir minggu.
Tiba di halte, bis belum datang, pekerja lain juga belum datang. Selain aku, hanya ada seorang perempuan muda yang duduk di ujung sana sambil memandangi setiap kendaraan yang lewat. Aku perkirakan usianya sebaya denganku, mungkin plus minus 2 tahun. Dia memakai atasan kuning kenari tanpa lengan dan rok selutut dengan warna senada. Agak tidak lazim, mengingat sekarang masih pagi, sedang musim hujan, dan kami ada di Bandung. Tapi, kupikir mungkin beberapa perempuan memang begitu, mereka rela mengorbankan kenyamanan demi penampilan yang prima. Biar menderita, yang penting gaya.
Perempuan itu, seperti sadar sedang diamati, tiba-tiba menoleh ke arahku. Aku terlambat berpaling dan tatapan kami pun bertemu. Aku tersenyum canggung, tapi dia hanya menatapku. Lantas, dia berdiri dan berjalan mendekat ke arahku. Dia terus menatapku, dan aku terpaku, terlalu terkejut untuk berpaling atau melakukan apapun. Setelah berada dihadapanku, dia membuka mulutnya dan berkata, ”Aku keliatan aneh ya, pake baju kayak gini?”
Hah?? Aku sama sekali tidak menyangka kata-katanya barusan. Aku pikir, dia akan melontarkan kata-kata bernada marah, memaki, atau semacamnya, yang jelas bukan kalimat itu. Lagi-lagi dia mengejutkanku, dan lagi-lagi aku tidak tahu bagaimana harus merespon.
Akhirnya aku hanya bergumam tidak jelas, ”Emmm...wah...yah...”
Dia tersenyum dan berkata, ”Aku tau kok, kamu pasti nyangka aku aneh, kan? Gini ya, aku jelasin deh, hari ini aku mesti pake baju kuning soalnya kata Aki hari ini aku bakal ketemu sama orang yang potensial menjadi pasangan jiwaku. Nah, bajuku yang warnanya kuning ya cuma yang ini. Ngerti?”
OK, jika sebelumnya aku hanya terkejut, sekarang aku benar-benar amat sangat bukan kepalang yakin sekali kalau dia memang tidak biasa. Sekilas aku sempat berpikir mungkin dia agak kurang waras, tapi nada bicara dan pandangan matanya tampak wajar, lagipula penampilannya terlalu terawat untuk seseorang yang kurang waras.
Halte masih sepi dan tampaknya kedatangan bis masih lama, mungkin tidak ada salahnya untuk bersikap ramah.
”Oh? Begitu, ya? Kenapa harus warna kuning?” tanyaku.
”Yah, aku juga nanya gitu waktu itu. Trus, tau nggak jawabannya apa?”
”Apa?” rasa penasaranku terpancing.
Dia pun menarik nafas dan menjawab dengan dramatis, ”Karena kuning adalah warna matahari.”
Aku menatapnya bingung, menunggu penjelasan lebih lanjut, tapi dia malah terdiam dan membalas tatapanku dengan setengah kecewa dan setengah geli.
”Hmfh... aku pikir kamu pinter, tapi kayanya nggak terlalu ya?”
Aku tersenyum, ”Wah, kenapa bisa nyangka saya pinter?”
”Yah, soalnya kamu pake kacamata.”
”Oh, sejak kapan kacamata identik dengan kepintaran?”
Dia berpikir sejenak dan menjawab sambil tersenyum, ”Sejak...mmm...yah, selama ini, semua orang berkacamata yang aku kenal pasti pinter. Kamu pasti anomali deh.”
Orang-orang mulai berdatangan, dua diantaranya adalah teman kantorku. Melihatku mengobrol dengan seorang perempuan, mereka langsung heboh mengacung-acungkan jempol mereka, satu diantara mereka berlagak seperti sedang menelpon. Aku tahu maksud mereka, tanya nomor telponnya. Mereka belum tahu, jangankan telpon, namanya saja aku belum tahu. Aku segan untuk merusak percakapan dengan hal-hal yang remeh seperti nama dan nomor telpon.
Melihat arah pandanganku, dia pun berkata kembali, ”Yah, tapi nggak juga sih, setidaknya kamu pasti lebih pinter dari dua orang itu.”
”Dari mana kamu tau? Kamu kan nggak kenal sama mereka.”
”Yah, aku tau aja. Udah ya, bis aku udah dateng tuh.” Dia bersiap begitu melihat bis Leuwipanjang-Ledeng terseok-seok menembus kepadatan lalu lintas pagi.
“Eh, kamu masih belum jawab tadi,“ ujarku mengingatkan.
“Apa? Oh, nanti lagi aja ya.” Dia melambai sekilas lalu memaksa masuk ke dalam bis yang penuh sudah sesak. Bis pun melaju, meninggalkan kepulan asap hitam knalpot di belakangnya. Dalam hati, aku hanya berharap kalau hari itu dia memakai deodoran yang bagus. Kalau tidak, kasihan sekali orang yang berdiri di sampingnya.
Dan itulah akhir pertemuanku yang pertama dengan perempuan berbaju kuning kenari.


Keesokan harinya, aku datang lebih pagi, berharap untuk bertemu lagi dengannya. Aku penasaran dengan jawabannya kemarin. Ternyata halte masih sepi, masih belum kulihat seorang pun di sana. Lima menit kemudian, datanglah sebuah becak yang mengantarkan seorang perempuan beserta sekarung sayuran dan sekeranjang kue basah. Aku membungkuk untuk melihat lebih jelas. Bukan dia. Lantas, beberapa saat kemudian, aku lihat seorang perempuan berjalan mendekat, kemudian menyeberang jalan. Jelas bukan dia juga.
Aku menunduk melihat jam tangan Casio di pergelangan tanganku. Sepuluh menit berlalu, beberapa orang mulai berdatangan. Aku mulai pesimis, sepertinya tidak akan ada pertemuan berikutnya. Dari sudut mataku, aku melihat sepasang kaki bersepatu merah mendekat. Aku menoleh, dan ternyata...itu memang dia. Kali ini berbaju merah maroon.
Tanpa sadar, aku tersenyum, sementara dia cuek saja. Tampaknya dia tidak menyadari keberadaanku, karena dia terus berjalan melewatiku. Selangkah, dua langkah, lima langkah, sampai tiba di tempat di duduk kemarin. Kemudian berbalik, menatapku, dan kembali menghampiriku.
”Hai,” katanya riang.
”Hai,” jawabku singkat, mengantisipasi kemungkinan perkataan mengejutkan yang mungkin menyusul sapaannya barusan. Tapi, kemudian dia diam, tidak berkata apa-apa lagi. Apa dia menungguku mengatakan sesuatu? Mungkin sebaiknya aku mengatakan sesuatu, tapi apa? Yah, sebenarnya aku penasaran, kenapa harus melewatiku lalu berbalik. Sepertinya dia bisa membaca pertanyaan itu dari ekspresi wajahku, karena tiba-tiba dia bicara.
”Aku cuma mau mastiin aja kalo kamu itu cowok yang kemarin. Soalnya kalo dari sebelah kanan keliatannya beda.”
”Hah? Maksudnya beda?”
”Yah, kalo dari kanan kepala kamu keliatan agak lonjong, padahal kemarin waktu aku liat dari kiri, kepala kamu keliatan lebih bundar.”
”Oh?!?” responku bingung, tidak percaya kalau bentuk kepalaku asimetris. Dalam hati, aku berjanji untuk memastikannya pada kesempatan pertama begitu bertemu dengan cermin.
Sejurus kemudian, ponselnya berdering. Sementara dia berbicara cepat di ponsel, aku berdiri diam di sampingnya, mengamati lebih seksama pakaiannya hari ini. Pagi ini dia tampak normal dalam balutan setelan jas dan celana panjang warna merah maroon, senada dengan sepatu, tas, cincin, bahkan jepit rambut di pelipis kirinya. OK, ralat, jelas tidak normal. Matching-isme yang terlalu.
Selesai berbicara di ponsel, dia memergokiku sedang mengamatinya. Dia menampakkan pandangan bertanya.
”Jadi...hari ini merah ya?” tanyaku kikuk.
”Iyaaa.. Dan kamu tau kenapa?” dia bertanya balik.
Entah bagaimana, rasanya aku sudah tahu jawabannya. Jadi, aku pun menimpali, ”Mmmmm...kenapa ya? Pasti atas petunjuk Aki lagi ya?”
”Ya, karenaaa...”, balasnya menyemangatiku.
”Pasti karena merah adalah warna darah, kan?” jawabku puas.
Dia tersenyum, lantas kembali berkata, ”Yah, nggak persis begitu siy kata Aki. Beliau cuma bilang kalo hari ini aku mesti pake baju se-matching mungkin. Nah, koleksi baju dan aksesorisku yang paling komplit ya yang warnanya merah manyun ini.”
”Merah manyun?” ulangku. Aku khawatir aku salah dengar.
”Iya, itu kalo Aki yang bilang, merah manyun. Beliau sudah ompong soalnya, jadi susah buat ngomong ’R’,” jelasnya sabar.
Jujur, penjelasannya malah membuatku heran. Maksudku, kata ’merah’ kan ada huruf ’R’-nya juga. Tapi aku tidak berani berkomentar, takut menyinggung, tampaknya Aki ini orang yang penting dan sangat dia hormati.
Kali ini bisku datang lebih dulu. Aku terpaksa beranjak pergi. Setelah di dalam bis, aku pun menoleh untuk melambai, tapi ternyata dia sudah bergegas menuju bis di belakang. Sekilas kulihat sepatu hak tingginya, mudah-mudahan dalam bis dia melangkah hati-hati. Aku tahu bagaimana sakitnya terinjak hak sepatu 5-cm runcing macam itu.
Dan itulah akhir pertemuanku yang kedua dengan perempuan berbaju kuning kenari yang kali ini berbaju merah manyun, eh, maroon.


Hari ketiga, kami, aku dan dia, datang ke halte hampir bersamaan dari masing-masing ujung. Sama-sama kesiangan. Kali ini kami sudah saling mengenali. Kami saling tersenyum, saling menghampiri, lalu duduk persis di tengah-tengah bangku semen yang dingin. Kali ini dia memakai setelan jas dan rok selutut warna biru. Aku perhatikan lebih jauh, sepertinya kali ini normal, semua tampak sewajarnya dan tidak berlebihan.
Dia diam, sibuk memainkan gantungan ponselnya.
”Biru untuk langit?” tanyaku.
Dia melirikku, lantas menggeleng cepat.
”Biru untuk laut?” tanyaku kembali, kali ini dicemari sedikit rasa penasaran.
Dia menarik nafas, lalu menjawab singkat, ”Bukan.”
Aku berpikir kemungkinan lain, sesuatu yang direpresentasikan dengan warna biru, tapi otakku macet, tak ada satu pun ide yang kudapat. Dia benar, aku tidak terlalu pintar. Akhirnya, beberapa saat kemudian, dia membuka suara.
”Mestinya sih hari ini aku pake baju warna ungu.”
”Terus, kenapa jadi biru? Oh, aku tau, baju ungu kamu lagi dicuci ya?” balasku ingin tahu, aku heran kenapa kali ini dia mengabaikan petunjuk Aki-nya itu.
”Ih, sok tau deh. Tau nggak, kombinasi sok tau dan agak pintar itu nggak bagus!” ujarnya kesal.
Mestinya aku tersinggung dengan kata-katanya barusan, tapi aku cuma nyengir. Rasanya kalimat itu lebih tepat untuk dirinya sendiri, maksudku, justru dia yang sudah sok tahu dengan mengasumsikan bahwa aku pintar hanya gara-gara aku berkacamata.
”Kamu nggak punya baju ungu?” lanjutku jahil.
”Bukan. Hari ini hari seragam. Semua orang di kantorku mesti pake baju seragam, ya baju biru ini. Tadinya aku udah mau pergi pake baju ungu, tapi dilarang sama Bapak, katanya karyawan baru pantang membangkang,” akunya.
Bisnya sudah datang. Dia berdiri, merapikan atasannya dan mengambil tasnya dari bangku semen.
“Apa kata Akimu?” tanyaku.
“Oh, beliau nggak bilang apa-apa. Waktu aku pergi, beliau lagi jalan-jalan.” ucapnya setengah menyesali.
Dia melangkah menuju bis, kali ini langkahnya lambat.
Dan itulah akhir pertemuanku yang ketiga dengan perempuan berbaju kuning kenari yang kali ini berbaju biru tapi berhati kelabu.


Hari keempat, dia sudah duduk di ujung bangku, sama seperti ketika pertama kali aku melihatnya. Aku berjalan mendekat, dia tersenyum, menunggu hingga aku sampai di sebelahnya. Semakin dekat, aku bisa melihat jelas matanya yang berbinar-binar. Kali ini dia memakai celana jeans dan blus berbahan kaos. Warnanya? Hari ini warnanya hijau.
‘Hijau?” tanyaku.
Dia menarikku duduk, lalu mulai mengoceh.
”Iya,” sahutnya. ”Tau nggak sih, kali ini aku heran sama Aki,” dia melanjutkan. Hmmm..sudah saatnya, pikirku.
”Hijau kan warna favoritku, jadinya ada macam-macam hijau di lemari bajuku.”
”Memangnya kamu punya berapa macam baju hijau?” tanyaku ingin tahu.
“Yah, aku punya warna hijau daun muda, hijau daun tua, hijau tentara, hijau stabilo, hijau botol, hijau hutan, hijau laut, hijau-kuning, hijau pucat, hijau lumut, hijau apalagi ya?”
Jawabannya sungguh membuatku menyesal telah bertanya. Aku cepat-cepat memotong.
“Terus, kenapa heran?” ujarku, berusaha mengembalikan topik pembicaraan.
”Jadi, yah..” katanya dramatis. Dia menelan ludah, lalu melanjutkan, ”Aki, secara spesifik nyuruh aku pake warna hijau lampu lalu lintas.”
”????”, untuk kesekian kalinya, aku terkejut. Mestinya sih, aku sudah terbiasa, tapi tetap saja, aku terperangah.
”Apa maksudnya kali ini? Boleh jalan?” timpalku asal. Dia menatapku seolah tak percaya dengan apa yang baru didengarnya.
”Yah, begitulah...” ujarnya malu-malu.

No comments:

Post a Comment