Berjalan di tengah padang luas, diantara bukit-bukit, kesunyian alam terasa memabukkan. Kami lebih banyak berjalan dalam diam, merasakan kesunyian sekaligus menghemat energi. Setelah rute naik-turun hari sebelumnya, saya rasa perjalan menuju Kalimati ini relatif lebih ringan (entah karena sudah terbiasa ;p), lebih banyak trek datar yang cukup panjang, menyenangkan!! Kali ini juga kami tidak terlalu sering mengambil jeda, setidaknya seingat saya begitu ;p
Istirahat - sekalian berfoto dulu ;p |
Setengah kilometer menuju Kalimati |
Pemandangan
menuju Kalimati berganti-ganti dari padang ilalang, ke hutan pinus yang semakin
jarang begitu kami mendekati Kalimati. Tanah yang dipijak mulai berganti dengan
pasir halus berwarna hitam, vegetasi didominasi semak-semak yang dari kejauhan
tampak seperti bulatan-bulatan sempurna. Setelah sekitar lima jam, kami tiba di
semacam padang luas, di ujung seberang tampak pondokan dan tenda-tenda diantara
pepohonan. Kami beristirahat sejenak, mendirikan tenda, kemudian beranjak untuk
mengisi persediaan air (kalo ga salah nama tempatnya Sumbermani). Perjalanan mencari mata air membawa kami ke semacam
bekas aliran sungai (sepertinya jalur ini adalah bekas aliran lava), di suatu
titik kami menemukan dinding sungai yang menampakkan lapisan-lapisan tanah yang
sangat jelas.
Kalimati - pos terakhir sebelum pendakian ke puncak |
Persediaan air
kami tidak terlalu banyak (soalnya berat kalo harus bawa air banyak), sejak dari Ranukumbolo kami sudah menggunakan air
danau untuk minum dan masak. Di Sumbermani ini, sumber air sangat jarang, air
yang ada alirannya sangat kecil, jadi kami harus bersabar mengantri menunggu
giliran, kemudian bersabar menunggu air memenuhi botol air yang kami bawa. Air
di Ranukumbolo dan Sumbermani sama-sama jernih dan dingin, buat minum awalnya
kami masak dulu, tapi karena ngga praktis, akhirnya kami meminumnya langsung,
tanpa dimasak. Karena dingin, paling enak kalo airnya ditambahi serbuk minuman
rasa buah, dijamin rasanya sama seperti kalo kita minum air rasa buah dari
kulkas. Segar!!
Mengisi persediaan air - latar belakang: Lapisan pasir dan abu |
Oh ya, di
Kalimati ini suasananya lumayan mencekam (buat saya), hampir sepanjang waktu
kami dapat mendengar suara gemuruh angin yang sangat keras, saya merasa
diperingatkan betapa kecil, tidak berarti, dan tidak berdayanya kami semua.
Betapa dahsyatnya kekuatan alam.
Sore hari, selesai mendirikan tenda, teman-teman saya sempat bersantai dengan bermain kartu. Selepas makan
malam, kami segera tidur. Kami bangun sekitar jam sebelas malam dan
bersiap untuk memulai pendakian yang sesungguhnya. Barang-barang tidak kami
bawa, semua ditinggal di tenda, kami hanya membawa air minum dan makanan
secukupnya.
Istirahat sore sambil main kartu :) |
Perjalanan diawali dengan menuruni lembah, kemudian mendaki dinding bukit, karena sering dilewati, tanah di rute ini menjadi padat dan licin. Tanjakan-tanjakan kali ini lumayan curam kemiringannya, sehingga seringkali saya merasa kalau otot paha saya sungguh mengalami peregangan yang sangat maksimal. Jalan setapak di sini benar-benar setapak, butuh konsentrasi penuh di setiap langkah, salah menjejak mungkin dapat berakibat fatal - saya berusaha untuk tidak memikirkannya. Suhu udara yang dingin membantu seluruh indera tetap waspada.
Di suatu titik, kami melewati semacam tugu peringatan, diatasnya tergeletak sepasang sepatu converse yang sudah agak lapuk dimakan cuaca, saya lupa bunyi persis tulisannya, intinya menerangkan kalau sepatu itu adalah milik pendaki yang meninggal dunia (atau hilang) di lokasi tersebut. Melihat itu, saya jadi sedikit meremang, tapi sekali lagi, saya berusaha untuk tidak memikirkannya, saya berkonsentrasi untuk melewati setiap trek yang semakin lama semakin menantang.
Terdapat trek-trek yang sebenarnya cukup berbahaya (kalo saya pikir sekarang, kok kelompok kami ini sepertinya nekat sekali ;p), ada trek seperti pematang yang hanya ditandai dan dibatasi dengan tali rafia, disertai peringatan agar jangan sekali-kali menjadikan tali itu sebagai pegangan (dalam artian, sebagai tumpuan), di beberapa bagian kadang-kadang treknya, selain sempit, juga menanjak atau menurun. Kalau saya ingat lagi, mengerikan juga, ditambah dengan kenyataan kami ini sebenarnya tidak begitu siap secara perlengkapan - tidak ada satu pun dari kami yang membawa tali, nekat kan?!
Mendaki menuju Arcopodo |
Sekitar tengah malam, sampai di Arcopodo (batas vegetasi terakhir), kami memulai pendakian Semeru yang sesungguhnya. Udara malam yang dingin dan mulai menipis mulai membuat saya mengantuk. Lereng gunung makin curam begitu kami semakin mendekati puncak, saya jadi lebih sering beristirahat, saya tertelungkup di atas pasir yang dingin, rasanya sungguh nikmat. Saat itu sedang musim hujan, pasirnya jadi lebih berat dan tidak begitu longgar, sehingga lumayan membantu memudahkan kami untuk mendaki, tapi tetap saja, saat dipijak, pasir itu terburai dan kami pun meluncur turun kembali. Saat kami melangkah maju tiga langkah, maka kami mundur lagi dua langkah. Malam itu langit cerah, saat kita memandang ke bawah, kita dapat melihat cahaya lampu kota yang menakjubkan, sepertinya saya bisa saja duduk di sana berjam-jam menikmati pemandangan. Tapi, semakin sering kita berhenti, pendakian akan semakin terasa melelahkan. Makanya, sedapat mungkin saya terus melangkah, berusaha menetapkan tujuan sementara, melangkah terus sampai batu besar di depan, kemudian mendaki lagi sampai ke balik batu besar lainnya. Semakin lama, berjalan normal menjadi semakin sulit akibat kombinasi pasir pijakan yang labil dan lereng yang curam. Akhirnya, saat melangkah semakin sulit, saya menggunakan lutut dan kedua lengan untuk bertumpu, perlahan merangkak naik. Saat itu, terngiang perkataan seorang ustadzah yang kami temui dalam perjalan dari Yogya menuju Kediri, setelah mendengar tujuan perjalanan kami, beliau berkomentar - kurang lebih, begini: 'Yah, seperti perjalanan menuju surga, perjalanan mendaki gunung itu pasti tidak mudah, penuh perjuangan, tidak seperti perjalanan menuju neraka.' Maka, untuk menyemangati diri kami sendiri, kami mengulang perkataan ustadzah tersebut, 'Ini adalah perjalanan menuju surga!!'
Dan akhirnya, setelah sekitar enam jam, jam lima pagi kami sampai di surga, eh, puncak! Akhirnya, tidak ada lagi pasir di depan kaki saya yang harus saya lewati. Saat melewati batu besar yang terakhir, rasanya masih tidak percaya kalo ini adalah puncak Semeru, sebidang tanah berbatu yang cukup luas, seperti permukaan bulan yang digambarkan di film-film :)
Belum lama kami di puncak, cuaca mulai mendung, lenyap sudah kesempatan melihat matahari terbit dari puncak Semeru. Kemudian hujan pun turun, disertai angin kencang, dengan kata lain, badai. Kami menggelar ponco sebagai alas dan ponco lain digunakan sebagai atap pelindung dari hujan. Kami berjejalan berusaha menghangatkan diri karena udara dan air hujan yang dingin mulai terasa menusuk, tau kan rasanya kedinginan saat mencelupkan tangan ke dalam air es? Pertama-tama terasa kebas, kemudian perih seperti tertusuk-tusuk puluhan jarum. Sambil hujan badai begitu, kami membuka bekal roti isi meses cokelat yang kami bawa, sedapat mungkin menggigit potongan roti diantara gigilan dan gemeretuk gigi ;p
Sesaat setelah sampai di Puncak - disambut badai!! |
bersambung lagi.. next: perjalanan turun yang seru!! :D
No comments:
Post a Comment